PRIBUMI – Berikut Nota Keberatan (Eksepsi) yang baru saja saya bacakan pada sidang kasus Tabloid Obor Rakyat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat:
Bismillahirrahmaanirahiim
Assalamu’alaikum Wr Wb.,
Salam Sejahtera Untuk kita semua
Yang Mulia Majelis Hakim
Yang Saya hormati, Team Jaksa Penuntut Umum
Yang Saya hormati, Hadirin, khususnya kepada rekan-rekan sejawat, insan Pers Indonesia, yang dengan sabar selalu mengawal pemberitaan terkait Tabloid Obor Rakyat.
Ijinkan selaku terdakwa, saya membacakan Nota Keberatan (Eksepsi), yang berjudul:
“BERSATULAH INDONESIA !”
Yang Mulia Majelis Hakim, dan hadirin yang berbahagia,
Kita tahu Indonesia kini menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa, dan Produk Domestik Brutto (PDB) mencapai lebih dari Rp 10.500 triliun/tahun, kita menjelma menjadi negara demokrasi yang diperhitungkan dunia. Dan kita baru saja memperingati datangnya era Reformasi, yang menjadi pintu gerbang demokrasi. Salah satu penanda penting demokratisasi di Indonesia yakni dibukanya keran kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat — baik secara lisan maupun tulisan.
Dan salah satu turunan utama prinsip dasar demokrasi itu yakni lahirnya UU nomor 40/tahun 1999 tentang Pers. Bukan suatu kebetulan, Penasihat Hukum saya, Bapak Dr. Hinca Pandjaitan adalah salah satu konseptor yang mendapat tugas dari Presiden RI ke-3, Bapak Prof. B.J. Habibie, untuk menyusun UU Pers tersebut. Undang-Undang inilah yang saat ini menjadi ’kitab suci’, menjadi rujukan bagi insan Pers di tanah air dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Yang Mulia Majelis Hakim, dan hadirin yang berbahagia,
Mengingat agenda sidang saat ini adalah pembacaan eksepsi, tentu saja saya tidak patut terlalu menukik pada detil pokok-pokok perkara yang didakwakan oleh Team Jaksa Penuntut Umum. Saya akan mengurai secara detil menyangkut materi perkara, dengan mengundang para saksi ahli, jika sidang ini dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Namun saya berharap sidang ini tak perlu dilanjutkan.
Ada beberapa dasar yang bisa saya sampaikan:
PERTAMA,
Tabloid Obor Rakyat adalah karya jurnalistik. Saya dan Darmawan Sepriyossa adalah insan pers Indonesia. Saya mulai menggeluti dunia jurnalistik sejak masih di kampus pada tahun 1990. Saya mengikuti pelbagai pelatihan jurnalistik sejak masih di bangku kuliah. Dan saya pun secara aktif ikut menerbitkan pelbagai produk Pers Kampus. Setelah itu, saya mulai menjadi wartawan profesional, dalam pengertian mendapat gaji resmi dari institusi pers, sejak 1996. Dan pasca reformasi, Saya berjumpa dengan Saudara Haji Darmawan Sepriyossa (yang juga terdakwa pada sidang Tabloid Obor Rakyat) pada September 1998. Saat itu kami berdua menjadi wartawan di Majalah TEMPO.
Bertahun-tahun kami berdua berkerja di Majalah TEMPO. Saya, juga Darmawan, kemudian pindah ke institusi pers lainnya. Saya pernah bekerja di Tabloid Paron, Wapemred Majalah Eksekutif News dan Dirut Senopati Media. Sementara Darmawan juga bertahun-tahun bekerja sebagai wartawan di pelbagai intitusi lainnya, antara lain: Majalah Panji, Koran Republika, Koran Suara Karya dan inilah.com. Dengan rendah hati, saya ingin mengatakan bahwa Saya dan Darmawan sangat mengerti bagaimana cara wartawan bekerja — mengumpulkan informasi, dan mengolahnya menjadi karya jurnalistik yang siap disajikan kepada publik.
Sebagai karya Jurnalistik, jika ada yang berkeberatan atas tulisan di Tabloid Obor Rakyat, tentu seharusnya mengacu pada UU 40/1999 tentang Pers. Dan seperti diatur dalam undang-undang tersebut, jika ada narasumber atau ada pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan Obor Rakyat, sepatutnya menggunakan mekanisme “hak jawab”. Sejak awal kami membuka pintu lebar-lebar, Jika Pak Jokowi (yang saat ini menjadi Presiden RI ke-7), atau siapapun yang merasa dirugikan dengan pemberitaan Obor Rakyat, untuk menggunakan hak tersebut.
Yang harus kita pahami bersama, wartawan bekerja dengan prinsip-prinsip jurnalistik standar. Dan prinsip kerja wartawan itu bisa saja berbeda dengan prinsip hukum positif. Kebenaran (fakta) media bisa jadi tidak sama dengan fakta hukum.
Sebagai contoh:
Dalam kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta, banyak media yang menyimpulkan telah terjadi korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 191 miliar. Angka itu didapat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang beredar di kalangan wartawan. Hasil liputan media, dengan mengutip pelbagai sumber itulah lantas menjadi kebenaran atau fakta media. Persoalannya, apakah fakta media tersebut sama dengan fakta hukum? Belum tentu sama. Itu sebabnya hingga kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berpendapat tak ada tindak pidana korupsi dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Saya dapat memberikan banyak contoh lainnya. Tapi, dari satu contoh ini saja saya menunjukan bahwa kebenaran atau fakta media itu tidaklah selalu sama dengan fakta hukum. Itu sebabnya kita sepatutnya tak memperlakukan wartawan dengan pendekatan hukum pidana biasa. Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), misalnya, tak perlu menggugat para wartawan yang menyebut telah terjadi korupsi. Sebab, jika misalnya Ahok mengadukan wartawan karena berita RS Sumber Waras ke polisi, dan laporannya dianggap memenuhi unsur pidana, maka profesi wartawan dalam ancaman besar. Jika kita menerapkan pasal-pasal KUHP tentang ”penghinaan, fitnah atau perbuatan tak menyenangkan”, untuk karya jurnalistik, setiap hari akan ada wartawan yang masuk penjara.
KEDUA,
Tabloid Obor Rakyat terbit saat Pemilihan Presiden 2014 lalu. Dari sisi konten Obor Rakyat berisi pelbagai informasi seputar Capres Jokowi-JK. Dan realitas yang tak bisa dipungkiri, yang pertama kali melaporkan Tabloid Obor Rakyat ke Bareskrim Mabes Polri adalah Tim Kuasa Hukum Pasangan Capres Jokowi-JK. Para tokoh di Koalisi Indonesia Hebat, koalisai pengusung Jokowi-JK, juga menyebut Tabloid Obor Rakyat sebagai black campaign (kampanye hitam) yang menyerang Pasangan Capres Jokowi-JK. Semua fakta tersebut menunjukan bahwa sesungguhnya kasus Tabloid Obor Rakyat adalah perkara yang menyangkut Pemilu. Oleh karenanya, seandainya pun Tabloid Obor Rakyat akan diproses secara hukum, seharusnya menggunakan delik pidana Pemilu. Penetapan kami sebagai terdakwa yang melanggar pasal 310 dan 311, JO pasal 55 ayat (1) KUHP adalah tidak tepat.
Lagipula, dalam Pilpres, soal “saling serang politik” adalah hal biasa saja. Ini bagian tak terpisahkan dalam suatu pesta demokrasi. Pada Pilpres 2014 lalu, Capres Prabowo Subianto juga banyak sekali mendapat serangan. Saat Prabowo membeberkan potensi kebocoran penerimaan negara kita dalam Debat Capres, misalnya, Prabowo mendapat julukan “Bocor” dari kubu sebelah. Nama Prabowo diplesetkan pihak lawan sebagai “Prabocor”. Ada lagi yang lain. Ada seseorang yang membuat kartun (meme) gambar Prabowo menggunakan seragam NAZI. Bahkan wajah Prabowo ditambah kumis ala Hitler. Foto meme itu ingin mengkonotasikan Prabowo sebagai sosok yang kejam dan fasis. Puncaknya, Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono, tokoh di petinggi Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Jokowi-JK menggulirkan pernyataan bahwa Prabowo adalah seorang psikopat yang berbahaya. Secara ilmiah, psikopat diartikan sebagai “orang gila berdarah dingin”. Apakah Prabowo lantas mempidanakan orang yang menyerangnya? TIDAK. Sebagai negarawan, dia sadar hal-hal seperti itu adalah pernak-pernik berdemokrasi yang harus diterima dengan hati yang lapang. Banyak hal yang lebih penting dan urgent bagi bangsa ini ketimbang menghabiskan waktu untuk memperkarakan para lawan politik.
KETIGA,
Kita semua tahu bahwa Pilpres 2014 hanya diikuti dua pasangan Capres, yakni: Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Dengan kondisi seperti itu, secara politik sangat wajar jika saat Pilpres berlangsung terjadi kontestasi politik yang dengan tensi yang tinggi. Bahkan saat Pilpres masyarakat kita seperti “terbelah”. Terjadi polarisasi. Hal itu sangat terasa di jagad social media, seperti facebook, twitter dan lain-lain. Begitupun di media massa, baik cetak, online, radio atau televisi. Bahkan, pembicaraan di warung-warung kopi pun saat Pilpres 2014 berlangsung tak lepas dari pelbagai informasi seputar calon presiden. Ada yang pro, dan ada yang kontra.
Dan demam Pilpres 2014 juga merasuki kalangan wartawan Indonesia. Baru kali ini saya menyaksikan suasana yang begitu bersemangat. Masing-masing pasangan Capres memiliki media pendukung masing-masing. Pasangan Prabowo-Hatta didukung TV One, Grup MNC, Koran Sindo, Okezone.com dan lain-lain. Sedangkan Jokowi-JK didukung penuh oleh Metro TV, Grup Tempo, Media Indonesia dan lain-lain. Singkat kata, saat Pilpres 2014 lalu hampir semua media di Indonesia berpihak. Ini fenomena baru di Indonesia. Dan dalam dunia demokrasi modern hal seperti itu adalah keniscayaan belaka.
Bagaimana posisi Obor Rakyat? Seperti juga media mainstream, Obor Rakyat mencoba mengambil peran dalam Pilpres 2014. Momen itu merupakan ajang pesta rakyat yang patut disemarakan. Dan sebagai warga negara yang berhasrat untuk berpartisipasi dalam Pilpres, Saya dan Darmawan menerbitkan Obor Rakyat. Kami mengambil ceruk berita yang tak diambil media mainstream. Dalam dunia jurnalistik, setiap wartawan harus mampu menyajikan berita dengan sudut pandang (angle) yang berbeda. Persaingan pers yang sangat ketat mengharuskan wartawan kreatif dan pandai mencari angle yang eksklusif.
Tapi, Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon itu seperti partai final pertandingan sepakbola. Dalam laga 2 x 45 menit, kedua kesebelasan harus bersungguh-sungguh dalam menggocek bola di lapangan. Mereka berlomba mencetak gol ke gawang lawan. Bisa jadi terjadi benturan fisik. Tak jarang ada pemain yang cidera. Tapi kita tahu, jika wasit telah meniup pluit panjang tanda pertandingan usai, jika sudah ada pemenang, maka para pemain harus bersikap sportif. Mereka sebaiknya bersalaman, berpelukan, atau saling bertukar kostum. Tak boleh ada dendam, apalagi tawuran pasca pertandingan usai. Itulah nilai-nilai spotifitas yang bisa kita petik dalam pertandingan sepak bola.
Dan alhamdulillah, meskipun Pilpres berlangsung dengan tensi yang tinggi, bangsa ini berhasil menunjukan kedewasaan dalam berpolitik. Meskipun dalam Pilpres lalu saya mendukung Prabowo-Hatta, namun saat Mahkamah Konsitusi menyatakan Jokowi-JK sebagai pemenang Pilpres, saya termasuk orang pertama yang menuliskan status ucapan selamat bagi pasangan Jokowi-JK di akun social media. Dan saya pun begitu bahagia menyaksikan Presiden Terpilih Jokowi bertemu dengan Prabowo, bergandengan tangan, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Jokowi-JK sebagai pemenang. Pada hakikatnya Bangsa Indonesia telah berhasil membuktikan sebagai bangsa yang besar, yang mampu menyelenggarakan Pilpres yang ketat secara damai.
Sekarang, dua tahun setelah Pilpres usai, saya sungguh terkejut karena menerima panggilan sidang Tabloid Obor Rakyat. Dalam pandangan saya, setelah kedua kesebelasan sepak bola usai bertanding, kedua team dan para suporternya tak perlu melanjutkan “pertandingan” di luar lapangan rumput. Dan saya pun telah kembali menjalin silaturahim dengan banyak tokoh yang dulu menjadi petinggi di Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Jokowi-JK. Konteks saat ini pun rasanya menujukan polarisasi politik seperti pada saat pilpres sudah tak lagi relevan. Tak ada teman atau musuh abadi dalam politik. Dan sejatinya musuh kita bukanlah sesama anak bangsa. Musuh bersama kita saat ini adalah kemiskinan dan keterbelakangan yang masih dirasakan jutaan rakyat kita. Kita harus bergandengan tangan, merapatkan barisan, melawan musuh bersama itu.
***
Yang Mulia Majelis Hakim, dan hadirin yang berbahagia,
Tak ada gading yang tak retak. Terlepas dari ketiga pemikiran di atas, saya menyadari bisa saja pemberitaan Tabloid Obor Rakyat menimbulkan ketidak-nyamanan, atau mungkin kemarahan, bagi beberapa pihak. Tentu saja khususnya bagi Bapak Jokowi yang menjadi saksi pelapor. Dari hati yang paling dalam, saya meminta maaf jika sekiranya ada pemberitaan yang dianggap keliru atau kurang tepat. Momentum bulan suci Ramadhan 1437 Hijriah ini pun rasanya menjadi saat yang tepat untuk kita semua saling bermuhasabah, mengevaluasi diri. Indonesia akan menjadi bangsa besar yang terhormat jika kita semua saling mensinergikan segenap potensi yang ada. Saya senantiasa berdoa semoga Indonesia semakin baik, dan segera dapat mensejajarkan diri dengan negara besar lainnya. Insya Allah.
Akhirnya, ijinkan saya menutup eksepsi ini dengan mengutip Voltaire (1694 – 1778), Filsuf Prancis ternama. Pemikiran Voltaire kemudian menjadi dasar berdemokrasi di seluruh dunia. Kata Voltaire: “Bisa jadi saya tak setuju dengan yang Tuan katakan. Tapi, saya akan membela sampai mati hak Tuan untuk mengatakan hal itu.”
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.,
Jakarta, 9 Juni 2016
Pemimpin Redaksi Obor Rakyat
Setiyardi.
Catatan ini kami muat seutuhnya . –RED