PRIBUMI – ACARA di Auditorium Jaya Suprana School of Performing Art MOI Kelapa Gading ini adalah talkshow Kelirumologi yang digelar JAMU JAGO Kali ini menampilkan Taipan Moctar Riady sang pelopor LIPPO inilah ulasannya yang dapat pandangan dari ekonom dan Buru Besar Selamat menyimak…
@INDONESIA FACTOR
by: Ken Ken
Rabu, 15 Juni 2016, sebagaimana tabiat pebisnis ulung, Pa Mochtar Riady datang on time di Auditorium Jaya Suprana School of Performing Art.
Bagi saya, ini adalah diskusi penting. Bila ada tokoh yang saya anggap sebagai Indonesian Overseas Chinese’ tribal chieftain maka Mochtar Riady adalah orangnya.
Deretan kursi sudah diisi Prof. Emil Salim, Christianto Wibisono, Bpk Agus (Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kroasia), HS Dillon dan Ibu Drupadi, I Sandyawan Sumardi dan Ibu Vera, Romo Simon Cahyadi (Rektor Universitas Driyarkara), Lieus Sungkarisma, Jenderal Saorip Khadi dan Ibu Justiani Liem, Daeng Mansur dari Masjid Luar Batang, Ibu Musda Mulia, Bpk Sulis (Sinarmas) dan sebagainya.
Host, Herr Jaya Suprana, hari ini mengenakan batik Singkawang. Entah apakah ini disebabkan karena kehadiran Mantan Walikota Singkawang Hasan Karman (Bong Sau Fan) yang duduk di sebelah kiriku.
Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan iringan musik kolintang.
Pa Mochtar memulai diskursusnya dengan selayang pandang kronikal evolusi teknologi dan world shift yang dimulai Amerika.
Pasca PD II, sekitar tahun 1947 Amerika mengembangkan mikro elektronik bercabang dua: analog dan digital. Derivasi teknologi digital adalah sistem komunikasi dan penemuan komputer.
Penemuan teknologi digital ini, bikin Amerika memasuki information society. ‘Labor intensive’ dialihkan ke Jerman dan Jepang. 15 tahun kemudian Jepang menjadi anggota ‘information society’. Labor intensive dialihkan ke Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura. 20 tahun kemudian, ke 4 negara ini menjadi “macan asia”. Akhirnya, mereka pun masuk jajaran ‘information society’. Lalu labour intensive pindah ke Tiongkok dan Asia Tenggara. Negara-negara di kawasan ini, termasuk Indonesia, mulai masuk era information technology, loncat dari peradaban pertanian. Pusat ekonomi global pindah dari Atlantik ke Pasific basin.
Stabilitas Pasific basin terganggu dengan kemunculan Tiongkok sebagai raksasa ekonomi baru menghadapi dominasi Amerika.
Kebetulan posisi geografis Indonesia menjadi pintu masuk dari Amerika ke Asia. Posisi itu menjadi bertambah strategis dengan melimpahnya sumber daya alam, penduduk berusia aktif dalam jumlah banyak dan iklim yang baik.
Sejumlah ahli ekonomi barat menyatakan bahwa Tiongkok sedang memasuki fase “middle income threat country” yaitu negara dengan rata-rata GDP 5-10 ribu dollar. Tenaga buruh jadi mahal. Ke bawah, Tiongkok jadi sulit bersaing dengan kantong tenaga kerja seperti Vietnam, Indonesia. Ke atas Tiongkok menghadapi Amerika. Dengan kata lain, Tiongkok berada dalam posisi dilematis. Istilah Pak Mochtar: posisi gawat.
Pak Mochtar tidak sependapat dengan analisis barat tersebut. Malahan dia menilai Tiongkok sudah masuk jajaran elit “international information society.” Di situ landasan Indonesia Factor menjadi krusial. Karena alur perpindahan labor intensive akan beralih ke Indonesia. Sehingga pemerintah perlu menyiapkan diri dengan pembangunan infrastruktur dan regulasi yang memungkinkan meminimalisir cost of production.
Dalam kesempatan limited ini, Pak Mochtar memaparkan beberapa fakta yang menjadi alasan argumentasi bahwa Tiongkok telah menjadi anggota “information society.”
Ada empat variabel yang tak bisa dipisahkan dari teknologi digital: software, hardware, infrastruktur sistem telekomunikasi, konten. Menurut Pa Mochtar, “konten” dibagi ke dalam tiga hal berbeda yaitu data flow, money flow, merchandise flow.
Di Amerika, perusahaan IT adalah penguasa ekonomi. INTEL memegang monopoli hak paten “microchip”. Silicon merupakan bahan dasar membuat chip. Menurut Mochtar, saat ini di dalam laboratorium Huawei, sudah dikembangkan bahan pengganti silicon yang memiliki kapasitas jauh di atas silicon based microchip.
Dipastikan, sebentar lagi Huawei akan menggantikan posisi INTEL dalam teknologi microchip.
Pa Mochtar juga mengingatkan bahwa mayoritas hardware diproduksi di Tiongkok.
Bila bicara soal infrastruktur sistem telekomunikasi maka Cisco adalah penguasa infrastruktur sistem komunikasi. Menurut Pak Mochtar, 15 tahun lalu Cisco berusaha menggugat Huawei dengan tuduhan mencuri teknologi.
Namun beberapa tahun belakangan, justru Cisco berusaha merangkul Huawei sebagai patner. Beberapa hari yang lalu, Huawei menggugat apple dan samsung dengan delik mencuri teknologi mereka.
Belakangan, microsoft tidak lagi menciptakan inovasi baru. Namun Tiongkok memiliki Baidu sebagai tandingan google di samping ada Alibaba sebagai pesaing Amazon.
Sebelum menjadi presiden, Xin jinping pernah menyatakan kepada Presiden Barrack Obama bahwa Tiongkok telah memiliki teknologi roket yang sanggup meluncurkan 20 satelit sekaligus.
Di samping telah menguasai high speed railway, Pak Mochtar juga mencatat Tiongkok telah menjual nuclear power kepada Ingris. Di dunia ini, hanya ada dua negara yaitu Amerika dan Tiongkok yang memiliki kapal selam dengan kesanggupan menembus kedalaman 7 ribu meter di bawah permukaan laut tanpa mengalami gangguan komunikasi.
Semua fenomena ini, bagi Pa Mochtar, merupakan variabel yang menempatkan Tiongkok sebagai negara anggota ‘club technology’ dan bukan sebagai negara “middle income society threat”.
Perkembangan Tiongkok ini akan berdampak pada Indonesia.
Menurut Pa Mochtar, Indonesia akan memainkan peran penting. Sejak 1 Januari 2016, dunia memasuki era baru AEC (Asian Economy Community). Selain itu, di bulan Januari juga Amerika menginisiasi TPP (Trans Pasific Patnership), ditanda-tangani di New Zeland. Indonesia dan negara-negara ASEAN mesti mempertimbangkan untuk bergabung dengan TPP ini. Perubahan dinamika global dan regional ini, bagi Pa Mochtar, merupakan sinyalemen dimulainya era “persaingan bebas.”
Perubahan dunia dari “dinamo motor” menjadi “economy chip” dengan frame “free competion” ini mesti direspon Indonesia.
Pa Mochtar berpendapat bahwa Indonesia memiliki potensi besar menjadi “economic power house”.
Tanpa sadar, Indonesia memiliki enam kawasan industri ‘super padat’ di dua kabupaten yaitu Bekasi dan Karawang. Kawasan industri seluas 200km persegi ini menghasilkan sejuta mobil dan 10 juta motor setahun. Inilah kawasan industri terpadat di seluruh Asia Tenggara.
Berangkat dari pengalaman Tiongkok, Pa Mochtar merekomendasi sebuah “starting point” sebagai fokus awal.
Tiongkok tidak memulai pembangunan industri dari Shanghai, the old industrial city. Namun membuka enam zona khusus ekonomi di tahun 1980-an. Zhenzhen adalah kota pesisir pertama. Setelah itu baru kemudian Zhuhai, Shantou dan Xiamen dibuka. Dan bagi Pa Mochtar, kawasan Bekasi dan Karawang merupakan “starting point” yang cocok sebagai fokus awal. Di situ, pemerintah Jokowi mesti memusatkan diri.
Selain itu, pemerintahan Indonesia mesti benar-benar menyadari dominasi teknologi informasi.
Pak Mochtar memberi contoh bagaimana perusahaan taxi konvensional blue bird yang menguasai arena selama puluhan tahun dipukul goyah hanya dalam waktu setahun oleh penggunaan teknologi digital Uber dan Grab Taxi.
Dengan sangat piawai, Pa Mochtar menggambarkan kronologi evolusi penemuan terbesar umat manusia: “alat pembayaran”. Di sini, Pa Mochtar memperlihatkan kalibernya sebagai “bagawan”.
Ia memulai dengan diambil-alihnya monopoli standar pembayaran oleh negara yaitu pada masa PM Shanyang di era Qin Dynasty. Kemudian Dinasti Qin (as state autority) mengeluarkan “uang kertas”. Disusul dengan metamorfosis chek & giro. Pa Mochtar meramalkan bahwa emoney akan menjadikan kartu ATM dan credit card menjadi “barang rongsokan.”
Setelah kultum dari Ibu Musda Mulia, acara diskusi Indonesia Factor ditutup dengan penampilan pianis istimewa, Michael.
Ulasan Prof. Dr. SRI EDI SWASONO
Lalu Prof. Dr. SRI EDI SWASONO memandang apa yang diungkakan Moctar Riadi itu dengan sejumlah pemikiran yang sangat cerdas. Berikut tulisannya yang kami kutip dari WAG dan beredar.
Ya inilah polapikir kapitalistis: bersaing, bersaing dan bertarung dengan ruthless gladiators (leviathan homo-economicus) . Seolah-olah bisa saja “the end of nation-states”, “the borderless-world” dan “the end of history” yg imaginer imperialistik itu bisa terjadi lancar tanpa sanggahan dan tentangan politik, ideologi, dan moral-etikal.
Suatu respon kekuatan tandingan yang akan membentuk keseimbangan baru berdasar the essence of the global moral & ethical values (justice, mutual respect and peaceful co-existence) akan muncul bertalu-talu. Bodo banget membiarkan globalization be taken for granted as abolition of nation’s sovereignties.
Inggris pengin keluar dari Uni Eropa karena the glory of being sovereign.The weak and less developed nations will and resposively unite to fight against the ruthless capitalistic-imperialistic super powers. The future of world’s prosperity, global happiness and peace (terwujudnya rahmatan lil alamin – yang baldatun, toyib, ghofur) bukanlah dengan “free fight competition” yg kapitalistik-imprialistik begitu, tapi dengan “cooperation” (traktat, aliansi2, mutualities).
Maka akan kembali kecenderungan alamiah: proteksi dan subsidi terhadap kepentingan nasional dan nasib bangsa sendiri adalah sah secara moral dan etikal.
Setiap masyarakat dan bangsa memang wajib hidup dinamis, produktif dan efisien tanpa menunggu disaingi. Persaingan yang membantai atau mematikan pihak lain yg lemah adalah kejahatan kemanusiaan. Persaingan harus dibatasi dan direduksi menjadi “perlombaan” (concours), artinys yang kalah berlomba wajib di-empowered.
PBB sebagai lembaga jerjasama dunia berkewajiban menjaga kebersamaan dan persaudaraan global (global mutuality and brotherhood) global. Our war is a sacred worldly war against barbarism, indignity and poverty.
Tidak hanya negara2 Barat yang imperialis, Tiongkok pun sejak dulu melakukan imperialisme terarah. SriEdi. –AEME/PRIBUMINEWS