PRIBUMI – Catatan Wayan Agus Purnomo, wartawan Tempo yang viral di Facebook.
Bila tak mampu membantah substansi persoalan, maka bunuhlah karakter sang pembawa pesan. Soal teori ini, saya teringat dengan dua film. Pertama The Insider yang dirilis pada 1998 dan Kill The Messenger yang dirilis dua tahun lalu.
The Insider diangkat dari artikel di Vanity Fair berjudul The Man Who Knew too Much pada Mei 1996. Artikel ini bercerita tentang pemecatan Jeffrey Wigand, seorang eksekutif di Brown and Williamson perusahaan rokok di Amerika. Kisah ini kemudian diangkat menjadi film oleh Michael Mann tiga tahun setelah artikel terbit.
Wigand sadar pemecatannya tak cuma soal buruknya komunikasi, tetapi karena dia tahu manipulasi yang dilakukan perusahaannya. Salah satu manipulasi itu terjadi dalam peristiwa Tujuh Kurcaci, saat tujuh bos perusahaan rokok di Amerika bersumpah di hadapan Kongres.
Wigand tahu, perusahaannya berbohong soal kandungan zat adiktif dalam rokok. Para bos perusahan rokok itu bersumpah, zat itu tak bakal membuat perokok kecanduan. Sebaliknya, Wigand yang merupakan ahli kimia tahu, zat di dalam rokoh bakal membuat perokok merasa kecanduan dan sulit berhenti merokok.
Pemecatan mempertemukan Wigand dengan Lowell Bergman, seorang produser di stasiun televisi CBS. Bergman baru saja mendapatkan dokumen dari sebuah sumber anonim soal manipulasi perusahaan rokok. Si produser ingin Wigand berbicara kepada publik terkait manipulasi ini.
Di sisi lain, Brown and Williamson tak tinggal diam. Mereka mengupayakan berbagai cara untuk mengancam Wigand. Mengancam, membuntuti, hingga memberi teror. Karena yakin tak bisa membantah subtansi kesaksian Wigand, mereka menyewa konsultan untuk mengungkap rekam jejak Wigand.
Kehidupan masa lalu Wigand dikuliti, perceraiannya pun diumbar ke sejumlah orang. Intinya, Brown and Williamson ingin menghancurkan kredibilitas Wigand agar orang tak lagi percaya apapun yang dia katakan.
Si jurnalis sempat mangkel Wigand tak sepenuhnya jujur soal masa lalunya. “Ini bakal menyulitkan saya melindungi kamu,” kata Bergman. Adapun Wigand merasa, kehidupan masa lalunya tak berhubungan dengan kesaksiannya soal manipulasi perusahaan rokok.
Membunuh karakter pemberi pesan juga dilakukan terhadap seorang jurnalis San Jose Mercury News, Gary Webb. Kisah jurnalis peraih Pulitzer ini diangkat menjadi film Kill The Messenger yang rilis pada 2014. Webb menyelidiki keterlibatan jaksa federal dalam sindikat perdagangan narkotika di Amerika Tengah. Dia menemui banyak sumber, masuk ke penjara, hingga melihat langsung penyelundupan narkotika.
Webb kemudian membangun hipotesis, ada keterlibatan intelejen Amerika Serikat dalam kasus culas ini. Apalagi saat itu, Amerika sedang getol melawan komunis. Mereka membantu tentara pemberontak di Nikaragua dengan menyuplai senjata. Webb menulis hasil investigasinya secara berseri dengan judul Dark Alliance.
Tak semua orang menerima investigasi Webb. Lagi-lagi musuh politiknya menerapkan teori kill the messenger. Persoalan pribadinya dikuliti. Hidupnya ditelanjangi. Keluarganya dibuntuti. Karena hidupnya penuh masalah, demikian hipotesisnya, maka produk jurnalistik yang dihasilkan Webb pun bermasalah dan tak layak dipercaya.
Beberapa saat setelah artikel Webb terbit, media lain di Amerika membuat liputan tandingan yang membantah semua reportase Webb. Webb stress dan memilih bunuh diri pada 2004. Kisah kematian Webb kemudian ditulis Nick Schou, jurnalis LA Weekly dua tahun berikutnya dengan judul Kill the Messenger: How the CIA’s Crack-Cocaine Controversy Destroyed Journalist Gary Webb.
Di Indonesia, model membunuh pembawa pesan bukannya tak terjadi. Mantan wartawan Tempo Metta Dharmasaputra suatu ketika mendapat pesan ada karyawan Asian Agri yang mengetahui dugaan penggelapan pajak di perusahaan tersebut. Eks pegawai itu, Vincent Amin Sutanto.
Persoalannya, Vincent baru saja menggelapkan uang perusahaan. Keinginan damai ditolak. Lalu dia membawa data kecurangan perusahaan ke mana-mana. Kisah manipulasi pajak dan drama di sekitarnya telah dibukukan Metta ke dalam buku Saksi Kunci.
Ada juga kasus lain yakni pengadaan alat untuk ujian mengemudi di Korlantas Polri. Saksi kunci simulator SIM, Sukotjo S Bambang bukanlah orang yang sepenuhnya bersih. Dia ikut andil korupsi karena menjadi penggarap proyek. Belakangan, kongsi Sukotjo dengan Budi Susanto, pengusaha yang dekat kepolisian pecah. Sukotjo dianggap gagal menyelesaikan pekerjaannya.
Sukotjo pun bernyanyi ke mana-mana, menyeret banyak jenderal. Tentu saja, pihak yang diserang Sukotjo pun mengeluarkan argumen, ngapain percaya sama maling, orang yang ingkar dengan kontrak kerja sama. Apalagi si Sukotjo ketika itu sudah dipenjara karena penipuan. Kampanye untuk membunuh karakter Sukotjo dilakukan setelah kasus ini mulai mencuat ke publik.
Pertanyaannya: apa yang mempertemukan orang seperti Wigand, Webb, Vincent hingga Sukotjo? Mereka menjadi pembawa pesan atas kebobrokan sebuah sistem. Cuma hidup mereka penuh persoalan. Ini kemudian digunakan oleh lawan-lawan mereka untuk menyerang karakter mereka. Karakter si pembawa pesan dibunuh. Tujuannya, agar orang tak percaya dengan perkataan mereka. Meskipun pada akhirnya mereka yang bernyanyi, yang dibunuh karakternya, berhasil membuktikan kesaksian mereka.
Berkat kesaksian Wigand, perusahaan rokok di Amerika mengakui adanya zat adiktif dalam rokok dan menebus biaya kesehatan untuk pecandu rokok. Dalam kasus Gary Webb, CIA pada akhirnya mengakui mereka membekingi pemberontakan di Nikaragua meskipun membantah terlibat perdagangan narkotika. Kesaksian Vincent berhasil mengungkap skandal pajak terbesar di Indonesia. Atas nyanyian Sukotjo, KPK berhasil membongkar kasus korupsi terbesar di kepolisian yang menyeret perwira polisi paling bersinar saat itu Djoko Susilo.
Soal pembunuhan karakter pembawa pesan juga terjadi beberapa waktu lalu. Tempo menulis tentang kontribusi tambahan terkait reklamasi Teluk Jakarta. Tempo menggunakan sumber anonim untuk memberitakan pengakuan Ariesman kepada penyidik KPK. Tempo menulis, pengembang wajib membangun fasilitas publik setelah mendapat proyek di ibukota. Tempo menggunakan istilah barter: izin pemerintah ditukar dengan kewajiban kontribusi.
Awalnya, Ahok dan pendukungnya mempersoalkan kata barter. Padahal, kata barter telah digunakan Ahok dua tahun sebelumnya. Jadi istilah tukar izin dengan kontribusi berasal dari Ahok sendiri. Protes kemudian bergeser, mempersoalkan sumber anonim Tempo. Dasarnya adalah semua pihak, baik Ariesman maupun KPK membantah telah membocorkan hasil pemeriksaan. Mereka menyebut Tempo memfitnah Ahok karena tidak ada sumber resmi yang membenarkan data Tempo.
Setelah gagal membantah substansi dan mempertanyakan prosedur, para pendukung Ahok mulai melakukan hal yang seperti dilakukan terhadap Jeffrey Wigand dan Gary Webb: menghancurkan kredibilitas si pembawa pesan. Akun Kurawa membeberkan persoalan keuangan Tempo.
Si pendukung ini membangun argumentasi, Tempo hendak nginjek pengembang dan juga pengen dapetin iklan dari Pemprov DKI. Karena tujuan Tempo tak sukses, maka turunlah berita soal barter reklamasi. Sampai sejauh ini, penjelasan Kurawa terasa masuk akal. Apalagi buat pendukung teori konspirasi, mereka yang memang malas berpikir dan enggan mencari tahu. Strategi Kurawa mungkin manjur di pendukungnya. Mereka ramai-ramai mengeluarkan tanda pagar ?#jatuhTempo? di Twitter.
Soal kondisi keuangan Tempo itu bukan persoalan baru. Publik bisa melihat sendiri datanya sebab Tempo perusahaan terbuka. Tetapi mengaitkan itu dengan pemberitaan, tentu saja itu pikiran picik, meskipun itu sah-sah saja. Untuk membolak-balik logika publik mereka lagi-lagi memainkan teori politik: kill the messenger.
Pekan ini, Tempo menulis soal dugaan aliran dana ke Teman Ahok dari pengembang reklamasi. Salah satu narasumbernya adalah eks pegawai Cyrus Network yang dipecat karena dituduh menggelapkan uang perusahaan. Bos Cyrus menyebut sumber ini sebagai maling. Karena maling, demikian nanti hipotesis yang dibangun, seluruh keterangannya tak layak dipercaya. “Kalau lo tulis, gue tuntut,” demikian ancaman Hasan Nasbi, bos Cyrus.
Lewat sejumlah informasi, saya tahu Teman Ahok bukan gerakan yang lahir ujug-ujug. Gerakan ini by design, disiapkan oleh konsultan politik dan staf khusus Ahok Sunny Tanuwidjaja serta disokong dana besar. Artinya ini gerakan yang sifatnya top down, bukan bottom up seperti yang digembar-gemborkan selama ini.
Bahwa ada anak-anak muda pecinta Ahok, yang kesal dengan tersumbatnya proses di partai politik, yang pada akhirnya dimanfaatkan, itu benar. Bertemulah mereka di satu titik sehingga lahir gerakan ini. Gerakannya membesar karena didukung banyak pesohor. Apakah mereka ikutan bersalah? Ya nggak. Mereka cuma naif aja. Banyak pendukung Teman Ahok yang polos memang. Buat wartawan yang memiliki akses ke banyak sumber informasi tahu gerakan ini tak seindah yang digaungkan.
Nah, balik lagi ke berita Tempo pekan ini. KPK telah memeriksa sumber ini dan mendapatkan sejumlah informasi penting. Tempo pun mengecek sejumlah keterangannya, yang ternyata sahih. Kami pun konfirmasi ke sejumlah orang yang dituduh dan membenarkan sejumlah rangkaian peristiwa.
Saya yakin, pendukung Ahok memainkan teori yang sama, bunuhlah karakter pembawa pesan. Karena dia dianggap maling oleh bekas bosnya, maka jangan sesekali percaya keterangannya. Karena Tempo sedang kesulitan keuangan, maka mereka menyebarkan fitnah demi dapat pengiklan. Padahal, cek saja fakta-fakta yang disampaikan. Bantah apa yang salah.
Jadi, mari kita menyimak hestek #jatuhTempo di linimasa Twitter sembari menunggu persidangan kasus reklamasi di pengadilan tipikor. Nanti bakalan kebuka semua kok…
Catatan Wayan Agus Purnomo, wartawan Tempo yang viral di Facebook dan sejumlah WAG.