Oleh Dr. H. Syahganda Nainggolan, MT. Asian Institute for Information and Development Studies *)
Ada 3 fenomena penting yang dicatat sejarah tentang Habib Rizieq dalam beberapa waktu ini. Pertama, saya mendengar kabar dalam pengajian di rumah Hasyim Muzadi, pak Kyai ini mengatakan bahwa Habib Rizieq dan FPI adalah kelompok Ahlussunnah Waljamaah yang sama dengan NU. Kyai Hasyim mengatakan kepada Banser NU agar tidak melakukan gerakan berseberangan dengan FPI. Kedua, Habib Rizik menjadi tokoh sentral yang digandrungi ummat Islam ketika baru baru ini menjadi tokoh utama dalam melawan kebangkitan Komunisme. Dan tokoh utama, dalam melawan Kompas yang melakukan propaganda anti Islam via “warung Saeni”. Hal ini bisa dilihat banyaknya pujian dan pembicaraan di dunia maya tentang Rizieq. Yang ketiga, sesuatu yang cukup menakjubkan saya adalah tokoh2 sebuah group diskusi WA, WAG PN1, yang berisikan kelompok sekuler dari kalangan akademis, politikus, dpr, dan tentara pensiunan memberi apresiasi terhadap langkah-langkah Habib Rizik belakangan ini dan bahkan ingin menjalin silaturahmi dengan beliau.
Menguatnya ketokohan Habib Rizik sehingga masuk memengaruhi kalangan elit nasionalis, bukan hanya kelompok agama, merupakan pencapaian baru bagi kelompok FPI. Menarik untuk melihat terjadinya hal ini lebih jauh. Beberapa hal berikut bisa jadi pertimbangan sebab musababnya. Pertama, secara objektif rakyat Indonesia menghadapi turbulensi dg adanya keinginan rezim Jokowi mengkerdilkan supermasi Islam dalam memproduksi peradaban bangsa kita. Beberapa peradaban lama di mana Islam, secara kultural, dianggap puncak kebudayaan, saat ini secara intensif dikontestasikan dg nilai nilai Jawa, pluralisme, nilai-nilai China, sekularisme, dan bahkan terakhir, kasus “bangkitnya komunisme dan Warung Saeni” seakan2 mendesak agar Islam menjadi “secondary”, bukan “primary”, sebagai sumber peradaban. Kasus “Warung Saeni”, selain dipersepsikan menghantam Islam, juga dimainkan untuk menghancurkan semua perda perda yang berbau Syariah (Local Wisdom). Keadaan turbulensi ini membuat rakyat dalam kebingunan dan ketiadaan pegangan yang pasti. Situasi ketidak pastian ini memberi peluang bagi kelompok ideologis militan seperti Rizik menjadi alternatif yang menjanjikan ketenangan.
Kedua, setelah FPI berusia 15 tahun dan Rizik memasukkan, misalnya, ketua LBH, Munarman dalam jajaran petinggi organisasinya, kelihatannya merupakan sinyal Rizik sedang membangun “jembatan” kepada kelompok “luar”. Dan ini membuat adanya peluang kelompok nasionalis sekuler memberi perspektif berbeda kpd FPI, yakni dari strategi tanpa dialog menjadi strategi bisa dialog. Selain bentuk dialog FPI dg Luhut Binsar Panjaitan dalam kasus Bangkitnya Komunisme, FPI juga berhasil mulus berdialog dengan Koran Katolik Kompas, soal isu “Warung bu Saeni”. Dialog dalam kosakata modernis adalah sebuah common sense, Rasional.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah perubahan bangsa ini akan mengikuti arah Riziq atau arah rezim Jokowi atau arah lainnya? Pertanyaan ini mungkin bisa jadi sangat prematur. Tapi dalam sebuah sejarah bangsa, kekosongan arah dapat dimanfaatkan oleh kelompok2 yang sedang berpikir strategis, seperti Rizik vs Rezim Jokowi.
(Persoalan kekosongan arah ini tentu sudah menjadi pengetahuan bersama kita, ketika reformasi sejak 1998 sampai saat ini belum berhasil menstabilkan politik nasional dan kesejahteraan rakyat terabaikan.)
Sampai saat ini, situasi kita memang terjebak diantara peradaban Islam vs peradaban sekuler. Peradaban sekuler ini ditandai dengan keinginan menghancurkan nasionalisme lama dengan kehidupan globalism, di mana Indonesia hanyalah sebuah negara kapitalis pinggiran. Keberhasilan Bung Karno dalam masa dulu adalah mencari sintesis yang tepat dengan memunculkan persatuan nasional dan nasionalisme plus Islamisme. Jalan Bung Karno ini yang belum terlihat jalannya.
Lalu bagaimana kontestasi ini akan berakhir? Perubahan sosial saat ini dapat menemui 3 kemungkinan sebagai berikut: 1) Rezim Jokowi mampu memenangkan kontestasi. Indonesia akan menjadi negara kapitalis peripheral, di mana pluralisme anti agama akan menjadi Sumber peradaban baru. 2) Arah bangsa menjadi Islam militan. Mengikuti garis Pakistan atau Turki. 3) bangsa ini terjebak dalam ketidakpastian berkelanjutan, seperti Afganistan dan Aljazair.
Selama kita belum mendapatkan tokoh sekaliber Bung Karno dengan tesis persatuan nasional dan mensintesakan Islam dan nasionalisme, maka belum ada harapan kemungkinan baru, dari pilihan diatas.***
*) Tulisan ini sengaja diangkat di situs ini atas seijin penulisnya.