RELAWAN PRA/PASCABAYAR
Calon independen menang Pilkada sudah lama ada. Pengumpulan KTP untuk calon independen, bahkan oleh non-incumbent yang tak diunggulkan, juga bukan kali pertama terjadi. Pun di DKI. Secara teknis, semuanya merupakan pekerjaan politik besar, melibatkan personalia dan sumber daya yang pastinya tidak sedikit dan murah. Tak ada yang istimewa dengan semua itu.
Namun, seperti halnya diktum pemasaran, bahwa “Products are made in the factory, but brands are created in the mind,” dua pasta gigi yang secara teknis sebenarnya diproduksi secara identik pasti akan menimbulkan persepsi yang berbeda sesudah dilabeli “Pepsodent” dan “Ciptadent”. Pasta gigi adalah produk, sementara “Pepsodent” dan “Ciptadent” adalah ‘brand’, alias merek, yang akan dipersepsikan secara berbeda oleh benak konsumen.
Jadi, kalau kita kaitkan dengan soal politik yang sedang aktual, apa sih bedanya “relawan” dengan “aktivis partai”, sehingga bisa muncul glorifikasi sedemikian rupa atas posisi para “relawan” belakangan ini?
Dari sisi “produk”, kita bisa menjawab sebenarnya tidak ada. Baik aktivis partai maupun relawan, yang terlibat dalam sejumlah momen politik, pasti sama-sama membutuhkan bekal logistik. Begitu juga halnya dengan soal nilai. Bukan hanya para relawan, aktivis partai juga sama-sama bekerja atas dasar panduan dan demi sebuah nilai, atau keyakinan. Itu sebabnya banyak orang tak mudah menggeser afiliasi politik-alirannya, karena hal itu memang menyangkut soal keyakinan yang kompleks.
Kesimpulannya jelas: menganggap bahwa relawan lebih “value laden”, sementara aktivis partai lebih “value free” adalah sangkaan yang bermasalah.
Itu dari sisi produk.
Nah, yang membedakan keduanya, “aktivis partai” dengan “relawan”, adalah soal merek tadi. Dan merek memang diproduksi di benak, melalui iklan, propaganda, kampanye, dan berbagai medium produksi persepsi lainnya.
Dua buah produk yang sebenarnya sama dan sebangun pada akhirnya bisa dipersepsikan sangat berbeda tergantung iklan dan caranya dipropagandakan. Di situlah konsep “relawan”, apakah namanya “Relawan Pulan”, “Teman Ngopi”, atau “Turun Kaki”, kemudian dipersepsikan seolah berbeda dari “aktivis partai”, meskipun sebenarnya keduanya sama-sama merupakan alat untuk meraih kekuasaan.
Jadi, sesudah pengakuan yang tak mengejutkan dari bekas relawan berbayar kemarin itu, jika masih ada yang menganggap “relawan” lebih tinggi derajatnya daripada “aktivis partai”, ia pasti adalah sejenis konsumen korban iklan yang mempercayai bahwa tindakannya untuk lebih memilih “Indomie” daripada “Sarimie” adalah merupakan sejenis kehendak bebas. Ia tidak pernah berpikir jika kehendak bebas yang diklaimnya itu sebenarnya hanyalah merupakan kreasi para produsen yang sedang jualan belaka.
Bagaimana, masih berpikir jika kartu pra-bayar lebih jelek daripada pasca-bayar?!
Sebagai konsumen, janganlah mudah tertipu. Sebab ada pedagang yang sedang menjual “susu basi” sebagai “susu fermentasi”.
sumber dari akun FB Tarli Nugroho