MARI BOENG REBOET KEMBALI..!!
Sebait Sikap Tentang Nasionalisme dan Kemerdekaan Seutuhnya
Oleh: Ferdinand Hutahean
Mari Boeng Reboet Kembali adalah sepotong kalimat yang menjadi sebuah adigum tua yang pernah menjadi kalimat heroisme sekitar tahun 1946 ketika tanggal 24 Maret 1946 tentara Jepang menyerah kepada tentara Sekutu. Sekutu dan NICA mulai menguasai kota Bandung secara defacto. Pada saat itu Tentara Rakyat Indonesia dipaksa mundur hingga radius 11 Km, maka Majelis Persatuan Perjuangan Priangan memutuskan membakar kota untuk mencegah Sekutu menggunakan instalasi penting kota. Sungguh luar biasa pengorbanan kala itu rela mengorbankan nyawa harta benda demi kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Dengan slogan Mari Boeng Reboet Kembali seperti lagu karangan Ismail Marzuki dengan judul Halo – halo Bandung tahun 1946 yang sering dinyanyikan para masa orde baru menjadi lagu wajib di apel sekolah-sekolah.
Masyarakat Priangan waktu itu tidak ingin negerinya yang sudah merdeka atas Proklamasi yang dibacakan Soekarno tanggal 17 Agustus 1945 dikuasai dan dijajah kembali oleh bangsa asing. Karena memang untuk itulah Indonesia dimerdekakan, untuk mengurus dirinya sendiri dan bebas dari jajahan bangsa asing tanpa terkecuali. Ini Indonesia Bung…. mungkin kira-kira begitulah semangatnya kala itu hingga Negara ini dimerdekakan dengan segala pengorbanannya.
Saat ini setelah 71 tahun Indonesia merdeka, semboyan Mari Boeng Reboet Kembali menjadi sangat penting digelorakan, mengingat bangsa ini hampir jatuh lagi kedalam tangan penjajahan bangsa asing. Kalau dulu yang menjajah adalah bangsa Belanda, Jepang dan Sekutu serta Portugis dibeberapa daerah, sekarang kita dijajah secara masif melalui penguasaan ekonomi, budaya dan politik oleh bangsa asing terutama Cina, Amerika dan sekutu eropanya.
Ada yang berbeda dari pola penjajahan ekonomi, budaya dan politik yang dipraktekkan oleh Amerika dan sekutu eropanya dengan pola yang dilakukan Cina. Pola yang sama dalam ekonomi, namun berbeda dalam budaya dan politik. Dalam ekonomi mereka menjajah lewat pola yang sama yaitu pinjaman dan penguasaan sumber daya alam kita. Namun berbeda dengan politik, ketika Amerika dan sekutunya lebih kepada restu dan mengontrol penguasa bangsa ini, akan tetapi Cina bahkan lebih ekstrim dengan berupaya menempatkan warganya menjadi pemimpin dinegara ini. Inilah yang mungkin sangat ditakutkan oleh para pendiri bangsa hingga mencantumkan kata INDONESIA ASLI didalam Konstitusi UUD 45 yang kemudian diporak porandakan lewat amandment yang menghasilkan Konstitusi UUD 2002 yang menjadikan bangsa ini tidak lagi sama dengan bangsa Indonesia yang didirikan oleh para pendiri bangsa.
Atas dasar kondisi diatas, saya merasa perlu menegaskan sikap bahwa pemimpin di negara ini tidak boleh warga negara asing. Ahok contoh ekstrim dari penjajahan bangsa ini. Ahok yang Cina adalah bentuk invasi penjajahan baru bagi bangsa Indonesia dimana Jakarta ibu kotanya. Cina menganut Ius Sanguinis yaitu Dwi Kewarganegaraan, selain Ahok punya KTP Indonesia, dia juga tetap bangsa Cina. Maka itu, Jakarta harus gelorakan semangat Mari Boeng Reboet Kembali, Jakarta harus kembali ketangan Kaum Boemi Putra apapun caranya demi kemerdekaan seutuhnya. Saya tidak perduli kalaupun dituduh dengan julukan nasionalisme sempit, tapi saya tetap meyakini nasionalisme sesungguhnya adalah kemerdekaan sejati dimana bangsa ini diurus kaum pribumi, dipimpin oleh pribumi.
Saya tidak berharap kejadian Mari Boeng Reboet Kembali di Bandung yang jadi lautan api harus terulang dan terjadi di Jakarta, saya ingin menggugah nasionalisme kaum pribumi bahwa bangsa ini harus merdeka seutuhnya seturut dengan cita cita pendiri bangsa. Asing dan Aseng harus tau diri bahwa Indonesia milik kaum Boemi Poetra.
Jakarta, 26 Juni 2016
- Ilustrasi Boeng ajo Boeng karya Affandi foto dokumen oleh Dgi.or.id