Oleh Surya Darma Hamonangan Dalimunthe *)
Dalam sebuah tulisan berjudul ‘Indonesia Dalam Bahaya Besar’, disebutkan bahwa “Warga Republik Rakyat Cina (RRC) yang hampir 2 milyar membutuhkan tempat untuk dijadikan koloni. Indonesia dipilih karena luas, subur, dan penduduknya kurang terdidik sehingga relatif gampang dibodohi.”
Antara strategi menjadikan Indonesia sebagai koloni adalah:
1) Membuat kompleks-kompleks perumahan sepanjang pantai Jawa yang bisa berfungsi sebagai basis peyelundupan barang dan orang serta basis pertahanan bila terjadi kerusuhan. Desain rumah kompleks yang memiliki kolong tempat bersandarnya kapal cepat (speed boat) seperti di Pluit, Pantai Indah Kapuk, Pantai Mutiara, dan Ancol, memungkinkan hal ini terjadi;
2) Mengubah Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal tentang Presiden harus dari ‘pribumi’ menjadi cukup ‘warga negara Indonesia’. Orang-orang Cina Indonesia pun berpeluang menjadi presiden Indonesia.
Singapura dijadikan contoh dalam tulisan tersebut sebagai tempat yang berhasil dijadikan koloni oleh warga RRC dengan menjadikan suku Melayu sebagai warga negara ‘kelas 2’. Tulisan tersebut menegaskan bahwa wilayah ‘Jabodetabek’ sedang ‘diSingapurakan’ antara lain melalui langkah-langkah berikut:
1) Jabodetabek dirancang menjadi ‘megapolitan’ yang serba mahal sehingga orang pribumi tidak sanggup bermukim di sana. Kalaupun sanggup, mereka hanya menjadi pembantu rumah, pesuruh kantor (office boy/girl), penjaga keamanan (satpam), dan pengemudi kendaraan (supir). Salah satu bukti adalah perencanaan penggusuran 130 titik pemukiman pribumi di Jakarta oleh Gubernur saat ini, Ahok. Kemudian,
2) Menjual atau menggadaikan aset-aset penting Indonesia kepada RRC; dan
3) Membiarkan kapal induk RRC bersandar di Natuna (Laut Cina Selatan).
Memang, kalau dibaca sepintas, tulisan di atas ada benarnya. Strategi Jokowi yang mengutamakan pembangunan infrastruktur sebagai program utama pemerintahannya meniscayakan ketergantungan kepada RRC yang sepertinya sedang menggantikan Amerika Serikat sebagai negara ‘adidaya’ abad ini. Namun, jika ditinjau lebih mendalam, yang harus dikritik lebih utama di samping orangnya, adalah programnya, yaitu pembangunan infrastruktur itu sendiri.
Dalam sebuah artikel berjudul ‘Public Private Partnership: Financing Infrastructural Development or Rent Seeking’, Osaze Omoragbon memaparkan bahwa praktek peminjaman uang untuk membangun infrastruktur di Afrika secara besar-besaran telah menjadi sarana untuk para elite lokal memburu rente, antara lain dengan cara merampas lahan (land grab) secara langsung atau tidak langsung. Contoh yang dikemukakan Omoragbon dalam artikelnya tentang pengusiran paksa masyarakat Makoko dan Badia di Nigeria hampir persis seperti pengusiran paksa yang dilakukan Ahok terhadap masyarakat Luar Batang sekarang, atau pemberian izin reklamasi di berbagai pulau di Indonesia.
Begitu juga dengan kutipan yang berbunyi, “Kenapa pemerintahan yang terpilih secara demokratis mengkhianati hak warganya untuk memenuhi kehendak pemodal dari Amerika, Eropa, atau Cina?” Seharusnya, pemerintah yang terpilih secara demokratis memenuhi kehendak warganya yang ingin hidup aman, damai, cerdas, dan sejahtera, sebagaimana yang dirancang para pendiri bangsa dan negara dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Seharusnya Jokowi mempertimbangkan dominannya golongan tertentu dalam struktur ekonomi sekarang, dan membuat kebijakan untuk mengurangi dominasi tersebut, seperti memulai gerakan ‘pampasan’ atau ‘reparasi’ (reparation), di mana warga Indonesia yang terbukti menjadi kaya karena memburu rente (contoh: dekat dengan penguasa untuk mendapatkan ‘konsesi’ atau ‘kemudahan’) dan melanggar hukum dipaksa untuk memberikan semua hasil kekayaannya kepada negara untuk digunakan membangun infrastruktur.
Jadi, tidak perlu menghabiskan dana APBN atau berhutang ke luar negeri. Seorang teman pakar politik berkata, mayoritas warga Indonesia pasti siap mendukung kebijakan pampasan Jokowi. Jika tidak, dengan bertambah dominannya golongan tertentu dalam struktur ekonomi Indonesia sekarang, ditambah lagi dengan mulainya golongan ini mendominasi sistem politik, ‘revolusi permanen’ di masa depan Indonesia mungkin tidak bisa dihindarkan.
Untuk sekarang, memang para warga ini hanya bisa menyindir secara halus, dengan memanggil presiden yang diharapkan berpihak kepada mayoritas warga Indonesia sebagai ‘Joko Wie’!
*) Penulis adalah Penerjemah Pusat Pengembangan Bahasa UIN Sumatera Utara, alumnus Teknik Sipil Universitas Nasional Singapura.