Catatan mudik lebaran 2016:
MUDIK “HOROR” LEBARAN 2016
Catatan Kecil Perjalanan Mudik Idul Fitri 1437 H
Oleh: Hafidz Abdurrahman
Saya sebenarnya tidak tertarik untuk menuturkan kisah ini kepada orang lain. Tetapi, melihat sikap penguasa yang cenderung arogan, tidak merasa bersalah, dan bahkan cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat, maka hati saya terusik untuk menceritakan pandangan mata dan pengalaman selama mudik lebaran tahun ini.
Saya berangkat dari Bogor menuju kampung halaman isteri di Malang, pukul 08.15 WIB. Kebetulan, hari Senin, 4 Juli 2016 itu saya masih ada jadual mengisi Kuliah Subuh di Bogor, maka saya harus menunaikan amanah ini, baru kemudian berangkat mudik. Kira-kira pukul 08.15 WIB, kami meninggalkan rumah, karena ada putri teman yang juga jamaah saya sedang sakit, dan dirawat di RS Hermina, maka kami menyempatkan diri membesuknya. Kebetulan jaraknya tidak jauh dari rumah. Setelah itu, kami benar-benar berangkat mudik, ke kampung halaman isteri.
Kami mengendarai mobil Honda CRV, 2000 cc. Kami meniggalkan tol Sentul City, menuju tol Cikampek via Lingkar Luar, sekitar pukul 09.00 WIB. Perjalanan dari Bogor via Cipali benar-benar lancar. Tetapi, begitu melewati Exit Tol Kuningan, dan mulai masuk Kanci, kemacetan itu benar-benar tak terelakkan. Ribuan orang dengan mobilnya harus antri, berdesak-desakan, ditambah pemandangan ribuan manusia menepi di bahu-bahu jalan. Waktu itu panas menyengat, karena sudah tengah hari. Jalur tol yang terpanjang itu tidak dilengkapi dengan rest area yang memadai, dengan fasilitas MCK, dan pom bensin. Maka, ada buang air di bahu jalan, ada yang membuat bedeng-bedeng sederhana untuk MCK, ada yang terpaksa harus memandikan anaknya yang masih kecil karena panas dengan air kemasan.
Kami pun berencana menjamak qashar shalat Dhuhur-Ashar di waktu Ashar, tetapi karena kondisi panas dan mobil yang sudah kelelahan, terlebih tidak bisa diprediksi, akhirnya kami harus menepi. Mobil kami istirahatkan, sekaligus mengistirahatkan badan. Kami akhirnya shalat jamak qashar, Dhuhur-Ashar di waktu Dhuhur, sekitar pukul 14.00 an. Sambil menggelar gelaran alakadarnya, kami shalat berjamaah dua gelombang dengan anak-anak. Karena kami tidak membatalkan puasa, termasuk anak kami yang paling kecil, Salma, yang masih duduk di SD Tahfidz al-Qur’an, kelas 1, maka kami pun melanjutkan perjalanan kembali.
Melihat kondisi kemacetan yang parah itu, ditambah tidak adanya rest area, maka kami terpaksa harus menahan tidak buang air. Begitu waktu buka puasa tiba, kami hanya bisa makan dan minum secukupnya, dengan air, kurma dan roti Lapis Bogor. Selebihnya, makan nasi dan rendang yang sudah disiapkan dari rumah terpaksa ditahan dulu. Sekaligus “menjamak” buka hari ke-29, dan sahur untuk puasa hari berikutnya, ke-30. Kira-kira pukul 22.oo WIB, saat benar-benar sudah mulai lapar dan lelah, kami pun menepi dan makan, untuk buka yang tertunda, sekaligus sahur. Kebetulan putra pertama saya, Mas Falah, sudah bisa nyetir, sehingga bisa menggantikan saya. Kira-kira sekitar 4 jam, setelah dilakukan rekayasa Kontra-flow, kepadatan itu mulai terurai. Kira-kira pukul 02.00 WIB, kami tiba di Exit Tol Brebes Timur. Berharap bisa segera keluar, ternyata harus rela macet. Yang lebih membuat stress, karena persediaan bensin yang sudah diisi full dari Bogor, tinggal 4 baris. Tapi, karena macet tidak bisa diprediksi, maka saat macet di Exit Tol Brebes Timur, saya berinisiatif untuk mengisi bensin, dengan membeli bensin eceran. Meski harga sangat tidak rasional, Rp. 25,000/liter, terpaksa harus dibeli juga. Itu pun hanya mendapat jatah 5 liter. Kata para penduduk setempat, di Exit Tol Brebes Timur, “Macet seperti ini sudah empat hari, Pak.”
Sepanjang perjalanan mulai dari berangkat sampai di rumah, kami tidak berhenti berdoa. Terutama saat macet. Kami pun bersama-sama membaca wirid, ijazah dari kyai saya, “Ya Fattah, Ya Razzaq, Ya Kafi, Ya Mughni..” [Wahai Dzat yang Maha Membuka, Wahai Dzat yang Maha Memberi Rizki, Wahai Dzat yang Maha.
sumber WAG