PRIBUMI – Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (2011-2013), Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, MH. Mengatakan, untuk melakukan pencegahan dan menindak aksi teroris di Negara Indoneia, tidak perlu merevisi undang-undang. Pasalnya, undang-undang yang ada di Indonesia sudah cukup untuk melakukan pencegahan dan penindakan teroris di negara ini.
Menurut Pontoh, jika undang-undang terorisme dirubah dihawatirkan akan menjadi abuse of power atau tindakan yang berlebihan. Solusinya menurut Pontoh, negara harus meningkatkan pencegahan. Karena dia menganggap kelemahan negara, selama ini ada pada sektor pencegahan bukan pada undang-undang.
Dijelaskannya, ada beberapa cara yang tepat melakukan pencegahan diantaranya, pemerintah harus aktif melakukan deredikalisasi dengan cara melibatkan suluruh elemen masyarakat, seperti pendekatan dengan tokoh agama, pendekatan pada para guru di sekolah – sekolah supaya meningkatkan prestasi siswa, memperketat keluar masuk senjata serta amunisi dan lain-lain. Termasuk melibatkan Ketua RT dan Ketua RW bahkan pegawai hotel agar memperketat keluar masuk warga pendatang di lingkungannya. “Kalau seluruh elemen tersebut sudah bekerja sesuai fungsinya masing-masing, pasti akan jauh lebih efektif dalam pencegahan tindakan teroris. Bukan merubah aturan yang sudah ada,” ujarnya.
Pontoh menambahkan, kekhawatirannya jika undang-undang yang dirubah, justru akan menambah rancu. “Saya khawatir justru akan terjadi tindakan yang melanggar hak azazi manusia. Contohnya jika ada orang Indonesia ke luar negeri seperti ke Syria dan sempat bertemu kelompok organisasi ISIS, ketika pulang ke tanah air langsung ditangkap oleh aparat keamanan. Padahal hukum tidak berlaku pada isi pemikiran manusia, tapi, pada perbuatan,” ungkapnya.
Selain meningkatkan pencegahan, negara harus melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam melakukan penindakan. Karena jika sudah terjadi aksi teror, tidak bisa lagi dilakukan penangkapan. Karena dihawatirkan akan terjadi banyak korban tewas. “Tugas polisi untuk melakukan penangkapan, jika ada teroris sedang membawa senjata atau bom. Kalau terjadi aksi teror seperti yang terjadi di Mumbai India, itu harus TNI. Karena itu untuk penumpasan, bukan untuk penangkapan, agar supaya tidak terjadi banyak korban masyarakat dan petugas polisi itu sendiri. Intinya, polisi untuk penangkapan dan sementara TNI untuk penumpasan,” tegasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, dirinya tidak setuju jika undang-undang pencegahan dan penindakan harus digabungkan seperti yang diutarakan beberapa petingi RI termasuk Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jendral Pol. Tito Carnavian beberapa waktu lalu. Sebab pencegahan cukup dengan pendekatan saja. “Guru agama mengajari agama dan moral itu sudah termasuk pencegahan. Begitu juga guru sekolah mengajari prestasi yang baik terhadap siswanya atau pegawai hotel dan Ketua RT, RW yang memperketat warga yang keluar masuk lingkungannya, itu juga pencegahan. Memeperketat keluar masuk senjata dan amunisi, itu juga pencegahan. Kenapa harus merubah undang-undang. Kesimpulannya, lakukan pencegahan yang maksimal dan libatkan TNI dalam penindakan seperti yang sudah ditetapkan undang-undan terhadap TNI,” pungkasnya. (Rls/In)