Oleh Haris Rusly *)
HOROR KEMACETAN DAN AMBISI MENYULAP INDONESIA JADI “JALAN TOL” MENUJU SURGA PENJAJAHAN ASING DAN KEJAHATAN INTERNATIONAL
Kemacetan di saat perayaan hari besar agama memang telah menjadi tradisi, sebagaimana tradisi ketupat dan opor ayam yang selau melekat pada setiap lebaran Idul Fitri. Tak ada mudik lebaran tanpa kemacetan.
Namun rasanya agak aneh, jika mengenang kembali peristiwa kemacetan di luar kebiasaan yang terjadi di saat perayaan hari raya Natal, Desember 2015. Tak pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya ketika liburan perayaan hari raya Natal, diwarnai horor kemacetan sepanjang jalan Cikampek hingga Cipularang. Kala itu, alasan terjadinya kemacetan lantaran belum dioperasikannya pintu tol Brebes (Brexit).
Di saat liburan parayaan hari raya Idul Fitri, Juli 2016, horor kemacetan tersebut kembali terulang meneror para pemudik. Kali ini horor kemacetan terparah sepanjang sepuluh tahun terakhir justru berpindah dari Cipularang ke Brexit (pintu keluar tol di Brebes) yang memakan tumbal berupa korban nyawa tak berdosa sejumlah 18 orang.
Dua peristiwa kemacetan tak biasa tersebut tentu mengundang tanya. Ada masalah apa? Apakah benar asumsi publik terkait adanya ketidakmampuan atau mis-managamen yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo dalam mempersiapkan pelayanan publik yang memadai dalam menyambut perayaan hari besar agama?
Ataukah jangan-jangan kemacetan parah tersebut adalah sebuah rekayasa produk konspirasi dan persengkongkolan para sindikat dan kartel ekonomi, sebagaimana konspirasi merekayasa kenaikan harga kebutuhan pokok di luar kewajaran untuk menciptakan pembenaran faktual bagi kebijakan impor. Pembenaran faktual melalui rekayasa kenaikan harga sangat diperlukan lantaran kebijakan impor selalu ditentang keras oleh publik.
Sebetulnya jika kita menengok kenangan pahit ke belakang, tahun 2013, konspirasi untuk merekayasa kemacetan parah tersebut, sebelumnya juga pernah dilakukan di pelabuhan penyebarangan Merak-Bakauheni. Ketika itu, kemacetan, dari dan menuju pelabuhan, mengular hingga puluhan kilo meter. Tujuan dari rekayasa horor kemacetan tersebut diduga untuk menciptakan pembenaran faktual bagi projek pembangunan Jembatan Selat Sunda.
Karena itu, kami berkesimpulan horor kemacetan tak biasa tersebut bukan akibat dari penerapan “managemen aku ora mikir” dalam pemerintahan Joko Widodo. Kemacetan parah di hari raya Natal (2015) dan Idul Fitri (2016) dapat diduga sebagai sebuah rekayasa (by design) produk konspirasi para komplotan taipan, saudagar, sindikat dan kartel ekonomi, tentu untuk menciptakan pembenaran faktual diterapkannya sejumlah kebijakan orderan cukong.
Lalu, untuk tujuan apa konspirasi untuk merekayasa horor kemacetan, baik horor kemacetan di Cikampek dan Cipularang saat perayaan Natal tahun 2015 maupun horor kemacetan di Brexit di saat musim mudik perayaan hari raya Idul Fitri 2016 beberapa waktu lalu? Apakah Presiden Joko Widodo dan aparatur negara terlibat dalam kejahatan konspiratif tersebut?
Jika benar dugaan bahwa tujuan atau target yang hendak dicapai dari kejahatan konspirasi rekayasa kemacetan tersebut adalah untuk menciptakan sebuah pembenaran faktual terkait penerapan dua kebijakan penting yang membutuhkan dukungan publik dan parlemen, yaitu kebijakan tentang Tax Amnesty dan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN.
Maka, konspirasi kejahatan untuk merekayasa kemacetan tersebut diduga tak mungkin tanpa sepengetahuan Presiden Joko Widodo. Tak mungkin juga konspirasi rekayasa kemacetan tersebut tak melibatkan pejabat dan aparatur negara, seperti pejabat dan aparat di institusi Kepolisian, intelijen, BUMN dan Departemen Perhubungan.
Kita semua tak menyangka, jika demi menciptakan pembenaran faktual bagi penerapan kebijakan Tax Amnesty dan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN, Pemerintahan Joko Widodo secara konspiratif, sangat tega, keji dan kejam menciptakan rekayasa horor kemacetan yang menyusahkan dan mengorbankan rakyatnya sendiri.
“Dengan adanya rekayasa horor kemacetan tersebut, maka publlik dan parlemen disandera dan diseret untuk menerima dan mendukung kebijakan pembangunan infrastruktur dengan pembiayaan dari Tax Amnesty dan Penyertaan Modal Negara (PMN)”.
Dua kebijakan kontroversial terkait Tax Amnesty dan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN, yang ditentang oleh publik tersebut akhirnya telah berhasil ditetapkan oleh parlemen sebagai UU, yaitu UU Nomor 11 2016 Tax Amnesty, UU APBN Nomor 14 2015 dan UU APBNP 2016). Penetapan dua kebijakan tersebut dilakukan secara culas dengan memanfaatkan situasi masyarakat yang sedang berkonsentrasi menyambut Idul Fitri.
Terkait kebijakan Tax Amnesty dan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN, kami menilai kedua kebijakan tersebut mirip kebijakan pembangunan “jalan tol”, bebas hambatan, untuk mempercepat menyulap Indonesia menjadi surga bagi kejahatan international dan penjajahan asing.
Tak ada regulasi politik yang membendung datangnya sampah dan limbah yang dikirim dari luar. Indonesia akan menjadi “medan kurusetra” bagi pertarungan antar sindikat kejahatan dan kartel ekonomi, yang akan mengorbankan rakyat. Kasus vaksin palsu sesungguhnya adalah contoh nyata dari pertarungan antara kartel industri obat dalam menguasai pasar di Indonesia.
Bisa dibayangkan, Indonesia saat ini nyaris menjadi negara tak ada lagi tembok dan bendungan. Kita telah menerima pasar bebas secara utuh (Masyarakat Ekonomi ASEAN), sebelumnya kita juga telah menerapkan sistem devisa bebas yang menempatkan negara kita sebagai medan spekulasi modal international.
Di era Pemerintahan Joko Widodo, yang mengusung Trisakti, justru dilancarkan kebijakan “big bang liberalisation” (ledakan besar liberalisasi), yang dimulai dari kebijakan 12 paket ekonomi yang tak ada dampaknya sama sekali dalam menarik investasi asing, lalu dilanjutkan dengan lebijakan membebaskan visa kepada 173 negara, katanya untuk tujuan menarik wisatawan asing, namun ternyata tak ada peningkatan signifikan kunjungan wisatawan pasca kebijakan tersebut.
Terakhir, secara konspiratif pemerintahan Joko Wiododo diduga menyuap sejumlah pimpinan kunci parlemen untuk mengesahkan UU Tax Amnesty dan Penyertaan Modal Kepada BUMN, PMN tahap satu sebesar Rp. 34,32 triliun dan PMN tahap dua sebesar Rp. 44,38 triliun.
UU Tax Amnesty yang tak membedakan asal-usul kekayaan sesungguh memberi ruang dan legalitas kepada sindikat money laundry untuk melakukan cuci uang hasil kejahatan narkotika, pelacuran, judi dan korupsi. UU Tax Amnesty juga sudah pasti memberi landasan kepada para pengemplang pajak untuk melakukan pemutihan terhadapan tunggakan pajak.
Sementara itu, kebijakan PMN kepada BUMN adalah kebijakan yang sangat diskriminatif, ketika negara sedang menghadapi devisit Penerimaan (APBN), sehingga anggaran di sejumlah departemen dipangkas, termasuk Departemen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, bahkan subsidi untuk kebutuhan rakyat juga dicabut. Namun, di saat yang sama, Presiden Joko Widodo dan Menteri BUMN Rini Soemarno membuat kebijakan mensubsidi atau mengguyur uang ke BUMN yang kuat secara permodalan.
Kami sangat menyadari, kita memang sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur sebagai instrumen untuk mempermudah dan mempercepat pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Namun, Seharusnya perencanaan sebuah kebijakan negara tidak hanya mempertimbangkan satu aspek, yaitu aspek pembangunan ekonomi dan infrastruktur semata.
Jangan sampai prioritas pada pembangunan infrastruktur justru mengorbankan ketahanan ideologi dan kedaulatan politik negara, mengubah Indonesia menjadi embel embel bangsa lain. Setelah SDA kita dikeruk hingga kering, tahap berikutnya tanah kita dikuasai dan diduduki oleh kekuatan asing.
Demikian juga, BUMN dan perbankan kita yang dililit dan disandera oleh hutang akan jatuh kepemilikannya ke tangan RRC. “Keluar dari mulut harimau IMF dan Bank Dunia, tapi menyerahkan diri masuk dan dimangsa oleh mulut naga”.
Semoga seluruh mahasiswa dan kaum muda segera menyadari bahayanya kebijakan “big bang liberalisation yang dilancarkan oleh Presiden Joko Widido yang mengancam masa depan bangsa.
Semoga mahasiswa dan pemuda segera bangkit menyelamatkan negara Indonesia yang sedang diobral secara murah oleh seorang Presiden yang bertampang “ndeso” dan bertameng kerakyatan, namun kenyataan menjadi kacung dan petugas dari para cukong, kartel ekonomi, serta mafia dan sindikat kejahatan nasional dan international.
KAMI MENYERUKAN KEPADA KPK UNTUK MENGUSUT DUGAAN SUAP MENYUAP DALAM PENGESAHAN UU TAX AMNESTY DAN PENYERTAAAN MODAL NEGARA (PMN) KEPADA BUMN.
Jakarta, Selasa, 19 Juli 2016
*) Haris Rusly, adalah aktivis Petisi 28