PRIBUMI – Akun FB Rudi Rosidi menuliskan secara cerdas. analisa atas kritik tentang Saiful Mujani Research and Consulting yang lakukan hasil survey terkait Pilkada 2017 DKI. Dan kami memuatnya…selamat Menikmati
REKAYASA RISET, PEMBENTUKKAN OPINI dan KARAKTERISTIK RESPONDEN
Dalam dua hari ini, berbagai media mainstream jor-joran mempublikasikan hasil survey dari SMRC atau Saiful Mujani Research and Consulting terkait Pilkada 2017 DKI dan Kinerja Pemerintah, Dua Tahun Pilpres. Banyak yang kaget dengan hasil surveinya. Namun tidak sedikit pula yang sudah memaklumi hasilnya.
Kunci sebuah hasil survey berbasis polling adalah karakteristik responden. Selama saya mendapati hasil-hasil survey dari lembaga survey yang ‘katanya kredibel’, tidak ada satu pun yang memberikan karakteristik responden secara detail. Yang ditampilkan adalah hasil dan sedikit metodologi nya saja. Padahal, pemilihan responden yang tidak mewakili populasi akan memberikan hasil survei yang tidak mempresentasikan karakteristik populasi. Begitu pula sebaliknya.
Ilustrasi sederhananya seperti ini:
Sebagi misal jumlah pemilih di DKI Jakarta 2017 adalah 4.537.227 jiwa. BPS melakukan survey tentang elektabilitas calon gubernur dengan cara sensus (melibatkan semua populasi pemilih). Salah satu item pertanyaan adalah:
“Jika pilkada dilakukan saat ini, siapa yang akan anda Pilih: A. Yusril, B. Ahok, C. Tidak memilih keduanya.”
Survei berbentuk sensus BPS tersebut memberikan hasil:
2.542.261 jiwa atau 56,03% memilih Yusril
1.494.966 jiwa atau 32,95% memilih Ahok
500.000 jiwa atau 11,02% tak memilih keduanya
Kemudian ada dua lembaga riset melakukan survei terpisah menggunakan teknik sampling (kebalikan dari sensus). Kedua lembaga mengambil sampel sejumlah 2.000 jiwa pemilih yang tersebar di 10 zona pemilihan dengan metode stratified random sampling, pada waktu yang bersamaan dan metodologi riset yang sama pula. Yang berbeda hanya asal usul responden yang dijadikan sampel penelitian.
Lembaga A mengambil 2.000 sampel tersebut di daerah-daerah dengan perolehan suara Pileg yang dimenangkan partai-partai Islam, daerah-daerah yang tingkat ekonomi masyarakatnya menengah ke bawah dan kalangan pribumi.
Sementara Lembaga B mengambil 2.000 sampel tersebut di daerah-daerah dengan perolehan suara Pileg yang dimenangkan partai-partai sekuler daerah-daerah yang tingkat ekonomi masyarakatnya menengah ke atas dan kalangan etnis tionghoa.
Maka hampir dipastikan kedua lembaga survei tersebut akan memberikan hasil survei yang berbeda. Tak sesuai dengan hasil sensus BPS. Lembaga A akan semakin memenangkan persentase yang diperoleh Yusril, sementara Lembaga B akan menguatkan persentase yang didapatkan Ahok.
Apakah kedua lembaga survei itu sudah menggunakan metode penelitian yang benar? Bisa jadi iya. Tapi apakah kedua lembaga survei tersebut berlaku obyektif pada pengambilan sampel responden yang akan diteliti? Sangat berkemungkinan tidak.
Maka hemat saya, lembaga-lembaga survey yang bersentuhan dengan dunia politik sebaiknya secara transparan memberikan data karakteristik responden yang menjadi obyek survey. Agar masyarakat bisa menilai lembaga tersebut bisa lebih kredibel dalam situasi ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga-lembaga survei politik. Terkecuali sejak awal memang niatnya menjadi pelacur akademik dalam kegiatan survey dengan kongkaligkong dengan penyandang dana untuk membuat ‘riset rekayasa’ agar hasilnya sesuai pesanan. Sebab saya pribadi pernah beberapa kali menanyakan pada lembaga survei nasional terkait karakteristik responden yang dijadikan obyek survei, dan alhamdulillah tidak pernah dikasih. 🙂
Semoga masyarakat semakin cerdas menyikapi hasil-hasil survey yang biasanya semakin ‘bergairah’ ketika menjelang pemilihan umum baik pilkada, pileg atau pun pilpres. -/JU-023