Pengamat: Publik Menunggu Sepak Terjang Menteri ESDM Baru

0
968

Setelah Reshuffle kabinet Jilid II  baru saja ditempuh Presiden Jokowi yang sementara telah mendapat respons positif dari kalangan pelaku usaha. Sesuai harapan Presiden, perombakan kabinet kali ini diharapkan akan terus memacu kinerja pemerintahan melalui percepatan pembangunan ekonomi yang lebih kokoh.

Dengan masuknya tiga menteri di sektor yang berkaitan dengan energi yakni Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan turut membawa harapan baru bagi pelaku industri migas dan industri mineral dan batubara (minerba).

Seperti diketahui, sejak pemberlakuan UU Minerba nmr 4 thn 2009 yang pada 2014 lalu, gairah industri pertambangan Tanah Air mengalami kelesuan. Ekspor bahan mentah mineral dilarang dan diwajibkan diolah terlebih dahulu di dalam negeri. Seluruh pengusaha pertambangan pun mau tidak mau harus membangun smelter, walapun faktanya 2 operator tambang emas yaitu PT Freeport Indonesia dan PT Newmont yang sampai hari belum ada tanda tanda akan membangun smelter.

Awalnya, kebijakan ini dianggap sangat heroik dengan dalil tidak lagi menjual bahan mentah ke luar negeri dengan harga relatif murah dan tidak memberikan nilai tambah ekonomi yang dapat memberikan kontribusi besar bagi negara dan masyarakat disekitar wilayah tambang, kebijakan tersebut terkesan ada rasa nasionalisme yang menggelora di dalamnya.

Namun, membangun smelter ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan investasi sangat besar dan waktu cukup lama untuk membangun smelter. Di sinilah persoalan perlahan mengemuka. Tidak semua perusahaan pemilik tambang yang mampu membangun smelter. Alhasil, hanya perusahaan pemilik tambang berskala besar dan tentu saja mempunyai banyak modal, yang tidak menemui kendala bila ingin membangun smelter. Sedangkan bagi perusahaan kecil, membangun smelter adalah sebuah malapetaka.

Kenapa malapetaka? Sebab, perusahaan tambang kecil yang dilarang mengekspor bahan mentah tidak lagi punya pilihan kecuali menjual bahan mentah miliknya kepada perusahaan besar pemilik smelter. Di saat yang sama, perusahaan berskala besar yang tentu saja sudah dan mampu membangun smelter justru mengambil kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Pengumpulan pundi-pundi perusahaan raksasa itu pun dilakukan dengan cara yang kurang elegan.

Faktanya, terdapat beberapa perusahaan besar pemilik smelter yang dengan seenaknya saja menentukan harga beli bahan mentah. Jangan heran apabila pemilik Kuasa Pertambangan kecil hanya mampu memperoleh untung 1-2 dolar saja. Perlakuan seperti itu banyak dialami pengusaha nikel saat ini. Juga perlu diingat, perusahaan pemilik smelter saat ini sekitar 90 persen dikuasai asing. Artinya, jika dulu dikatakan smelter dibutuhkan agar tidak lagi menjual tanah-air, sekarang kita sudah sama saja menjual negara.

Buktinya, perusahaan pemilik smelter hanya menerima ore nikel dengan grade 1.95. Padahal, di setiap wilayah tambang, grade 1.95 paling banyak berkisar 5-7 persen. Lalu kemana lagi sisanya? Mau tidak mau tentu saja harus dijual kepada pemilik smelter dengan harga yang jauh lebih murah. Perlakuan seperti itu tentu saja lebih dzalim dari era penjajahan. Coba bandingkan dengan pasar di Tiongkok yang masih menerima grade 1.3 hingga grade 2 , dan dibeli dengan harga yang cukup memadai. Sederhananya, di Indonesia, dibeli 20 dolar per metric ton sementara di Tiongkok bisa laku dijual 60 dolar . Maka yang diuntungkan sekali lagi juga adalah perusahaan pemilik smelter yang hampir seratus persen dikuasai modal asing.

Tentu saja masih ada harapan agar peristiwa menyedihkan itu tidak lagi berlanjut diera Menteri ESDM yang baru , yakni dengan melakukan standarisasi harga yang diatur oleh pemerintah. Maka Kementerian ESDM, Perindustrian, dan Perdagangan harus memberikan pilihan kepada pelaku tambang kecil. Ini yang harus jadi pemikiran bagi pemerintah. Dibutuhkan terobosan melalui pemberlakuan standarisasi harga bahan tambang guna mencegah praktek curang perusahaan berskala besar. Tentu saja, membuat terobosan seperti itu bukanlah persoalan sulit. Dengan catatan, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, serta Menteri Perdagangan mau duduk bersama untuk merumuskan dasar hukumnya, yakni dengan menerbitkan Peraturan Menteri , tutup Herry Tousa dari Dewan Penasehat Asosiasi Nikel Indonesia

Sementara itu menurut Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman , memang publik mengharapkan banyak dari Menteri ESDM yang baru untuk bisa maksimal membereskan pengelolaan sektor energi dan minerba di tanah air yang masih ” carut marut ” dan untuk meneruskan apa yang sudah dirintis oleh Menteri ESDM yang lama , disaat ini kita hampir defisit seluruh sektor energi , baik migas dan energi pembangkit , sehingga tidak heran kita saat ini mendengar keluhan hampir setiap daerah soal ” byar pett ” seperti minum obat , bisa sehari 3 kali , sehingga menjadi aneh kalau melihat didaerah yang kaya sumber daya alamnya koq kita kesulitan listrik dan gas LPG untuk kebutuhan mendasar bagi rakyatnya.

Sehingga paradigma lama harus segera ditinggalkan bahwa kita tidak boleh lagi berpikir sumber daya alam ini sebagai komiditi perdagangan , akan tetapi harusnya komoditi sebagai motor menggerakkan perekonomian kita , sehingga kebijakan ekspor seharusnya menjadi “barang haram ” , itupun kalau kita sudah sepakat bahwa kemandirian dan ketahanan energi merupakan harga mati.

“Sehingga revisi UU Migas dan UU Minerba yang saat ini masih bergulir di DPR harus dikawal agar produknya benar benar tujuannya untuk kedaulatan pengelolaan sumber daya alam sesuai maksud pasal 33 UUD 1945,” tutup Yusri. -rnz

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.