Yusril, Jakarta dan Pelacur Intelektual: Kritik Atas Survei Menakar Kandidat DKI 1
(Oleh: Dr. SYAHGANDA Nainggolan, Sabang Merauke Circle)
Beberapa hari lalu, kita disajikan hasil survey “Menakar Kandidat DKI 1”, yang menempatkan Yusril Izha Mahendra semuanya “underdog”; pada setiap indikator yang di survey.
Riset ini menggunakan metoda kuantitatif, dengan responden 206 orang yang didahului dengan FGD untuk menyusun variabel penelitian.
Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel, yakni kapabilitas dan Karakter personal. Kapabilitas mempunyai 6 dimensi, yakni visioner, intelektualitas, governability, kemampuan politik, kemampuan komunikasi politik dan leadership. Sedangkan variabel Karakter personal mempunyai dua dimensi, yakni integritas moral dan temperamen.
Pimpinan riset, Professor Muluk menjelaskan bahwa sampel ditarik dari jumlah pakar yang ada di database Lab PsiPol, sebanyak 250 orang (populasi). Lalu 206 sampel yang diambil, melakukan proses "expert judment" thd indikator- indikator yang ada.
Kebohongan Ilmiah
Secara kasat mata sebenarnya kita sudah tahu bahwa survei ini didasari motif yang tidak netral. Sebab, Muluk merupakan pendukung Jokowi dan Ahok sepanjang masa. Namun, ada baiknya kita juga pertimbangkan kelemahan ilmiah studi ini. Pertama, kesalahan melakukan sampling. Standar elementer penelitian kuantitatif adalah menarik sampel. 206 pakar yang diambil sebagai sampel tidak jelas mewakili expert apa? Klaim muluk bahwa 60 % lebih terdiri dari professor dan doktor tidak menjawab pertanyaan, siapa populasi yang dituju?. Apakah 206 orang tsb mewakili jumlah 5109 professor atau 23.000 doktor di Indonesia? Apakah responden ini mewakili expert yang tinggal di jakarta? Atau umum? Apakah ekspert ini ahli dibidang kepemerintahan atau malah ahli bedah jantung?
Kedua, “expert judment” yang diklaim sebagai “opinian leader”; telah menempatkan Yusril pada penilaian intelektualitas terendah dibanding 8 kandidat lainnya. Dan menempatkan Ahok sebagai orang yang paling intelektual.
Tentu hasil ini tidak masuk akal. Sebuah aksioma, bukan hipotetik, kalau Yusril pasti lebih tinggi intelektualnya daripada Ahok, dan mungkin lainnya. Kenapa, pertama, Yusril merupakan professor di universitas nomer satu di Indonesia versi QS, THE, Webmetric dll. Dan dia mencapai gelar akademik tertinggi, sebagai doktor. Juga seorang professor. Sedangkan Ahok dari kampus biasa biasa saja. Bukan doktor. Mungkin ini bukan indikator penting menurut Muluk dkk, namun itu sebuah common sense bahwa tingkat intelektualitas tersebut sangat terkait dimana seseorang menimba ilmu.
Ketiga, hasil survey yang menempatkan Yusril paling tidak direkomendasikan sebagai calon Gubernur DKI bertentangan dengan hasil survey yang sama pada indikator “Jika hanya Ahok, Yusril dan Safri” di “judment” para ekspert tersebut. Pada indikator ini malah Safri yang paling jeblok, 3,8%. Sedang Yusril masih di atas yang abstain, yakni 24,1%.
Jadi, kita tahu bahwa survey ini merupakan kebohongan ilmiah, dari permainan politik pendukung Jokowi Ahok. Khususnya Professor Hamdi Muluk.
Intelektual vs Ulama
Survey busuk ini tentu ditujukan juga pada dua hal. Pertama menggertak Mega dan PDIP agar segera mendukung Ahok. Hal ini menjadi jelas dengan uraian Muluk bhw PDIP akan hancur pada 2019 jika tidak mendukung Ahok. Kedua, Survey ini mendeligitimasi para ulama yang menempatkan Yusril sebagai calon terbaik dari kalangan ummat Islam. Gerakan ulama yang mendukung Yusril ini merupakan kekuatan besar, baik dari segi massa aktif, maupun pengaruh elitnya.
Dengan adanya survey yang membawa bawa ratusan doktor dan memakai nama universitas indonesia, maka dimungkinkan terjadi vis a via antara intelektual kampus vs ulama. Secara politik tentu saja hal ini melanggar etika, sebab, benarkah Universitas Indonesia memberikan ijin atas konfrontasi ini?
Alhasil, kita akhirnya melihat bahwa Projek Survey ini memberi jejak bahwa banyaknya para intelektual kita yang bukan bekerja untuk kemajuan bangsanya dan memberi penguatan pada keadilan sosial. Saat ini kecendikiawanan kita berada pd situasi buruk. Universitas UI, misalnya, mengalami penurunan ranking secara konsisten selama 4 tahun terakhir. Dalam QS world ranking, UI menjadi ranking 358 (2015) dari 273 (273).Tentu PTN lainnya lebih buruk lagi. Kita sudah jauh di bawah beberapa universitas malaysia.
Prof Heru Susanto dan prof Tandatangan Haroen, dari Tim Penilai Angka Kredit Kemenristek Dikti, menyatakan kualitas karya ilmiah dan publikasi ilmiah doktor kita masih rendah, bahkan masih banyak yang curang dan tidak beretika, bahasa inggris kacau dan buat referensi tidak nyambung.
Dari pada menyeret para doktor dan professor tersebut kepada politik praktis, sebaiknya Hamdi Muluk mendorong mereka menaikkan ranking UI dan lainnya dalam ranking universitas di dunia. ***