CATATAN TENGAH, Rabu 17 Agustus 2016
Oleh Derek Manangka
Kisah 11 Pesepakbola “Abal-Abal” Jadi WNI
*)Arcandra Tahar Korban Ketidak-Jujuran
JAKARTA – Sejak tahun 2010, Indonesia menaturalisasi sejumlah pesepakbola asing. Ada yang berasal dari negara kaya seperti Belanda dan Jerman tapi ada juga dari negara miskin Afrika dan Amerika Latin.
Tujuannya untuk mengangkat derajat Indonesia – agar tim nasional Indonesia, bisa berjaya di kejuaraan level Asia Tenggara dan Asia. Tapi bukan untuk level Olimpiade apalagi Kejuaraan Dunia.
Kini setelah lebih dari 5 tahun, hasil naturalisasi itu bisa dikatakan Nol Besar. Tidak dapat mengangkat derajat Indonesia.
Pasalnya sekalipun tim nasonal Indoesia sudah diperkuat pemain eks Belanda, Afrika dan Amerika Latin, menghadapi Filipina saja, negara dimana sepakbola bukan cabang populer, Indonesia tetap keok.
Bahkan PSSI sebagai organisasi yang diberi rekomendasi untuk membeli pemain-pemain asing itu, bermasalah.
Para pengurusnya saling menjatuhkan, pemerintah membekukan PSSI dan FIFA, organisasi sepakbola dunia, menjatuhkan sanksi kepada Indonesia. Sanksi berupa tidak boleh mengikuti semua kegiatan di dalam maupun luar negeri yang berada di bawah naungan FIFA.
Hasilnya lainnya, sebelum FIFA menjatuhkan sanksi, Indonesia tetap gagal menjuarai ASEAN Games – kejuaraan yang diikuti 10 negara.
Kegagalan ini antara berakibat untuk kejuaraan level Asian Games yang jumlah negara pesertanya lebih banyak, menempatkan Indonesia dalam posisi yang tidak memenuhi syarat kwalifikasi.
Proses naturalisasi para pesepakbola “kelas abal-abal” itu sangat mudah.
Selain dipermudah, Indonesia harus membayar sejumlah uang yang tidak kecil jumlahnya.
Dengan berstatus sebagai pemain tim nasional, negara harus memberi mereka fasilitas dan gaji yang lumayan.
Padahal klub asal dari para pemain asing itu, bukanlah klub yang berskala 10 besar Eropa , Afrika dan Amerika Latin.
Sehingga gaji mereka di negara asal pun sangat rendah. Tapi setiba di Indonesia, mereka diberi gaji melebihi kemampuan pemain-pemain asal bumi pertiwi.
Kalau naturalisasi pesepakbola ini dijadikan pebanding dengan kasus Arcandra Tahar, jelas sekali terlihat adanya sebuah ketimpangan yang sangat besar, ketidak-adilan yang dilakukan secara sengaja dan semena-mena.
Dengan para pesepabola kita berani membayar untuk sesuatu yang belum jelas. Tetapi dengan Arcandra kita jadi mendua, mengambang dan cenderung hipokrit.
Yang lebih mengherankan lagi hampir semua ahli hukum bicara. Para ahli tata negara mengeluarkan semua jurus sekedar untuk menegaskan, masalah kewarganegaraan Indonesia, tidak boleh “diperjual belikan” secara murah.
Maksudnya kalau Arcandra kita beri kembali status kewargangeraan Indonesia, tindakan itu merupakan sebuah pelanggaran berat atas UU dan Hukum dan Indonesia.
Woooow…….
Dan Arcandra Tahar secara tidak langsung sudah dicap sebagai orang Indonesia yang tidak pantas memiliki ke-WNI-an. Sebab WNI itu tidak bisa sembarang diberikan.
Ampuuuuuun……
Lagi pula karena Arcandra sudah memilih paspor Amerika Serikat maka dia sudah kehiangan hak untuk memperoleh kembali WNI.
Lebay banget saya pikir ahli hukum yang berpikiran seperti di atas.
Jelas sekali pakar hukum seperti ini ibarat orang yang bisa melihat semut di seberang lautan, tetapi tak bisa melihat gajah di depan kelopak matanya.
Bayangkan, Arcandra sudah mengaku masih WNI, pemegang paspor RI. Tetapi pengakuannya tidak digubris. Dia tetap dianggap tidak jujur.
Publik atau para ahli hukum dan UU Kewarganegaraan, tidak mau peduli latar belakang, bagaimana yang bersangkutan sampai terpaksa memilih punya paspor Amerika Serikat.
Kleim yang menyebutkan bahwa Arcandra memiliki sejumlah Patent, juga diremehkan. Seolah-olah Hak Patent itu semudah orang membuat nasi goreng ikan asin atau merebus mie instant.
“Ah mempatentkan sebuah hasil temuan sendiri itu kan soal gampang”, begitu cibir sarkastik yang terdengar.
Sementara yang mencibir sarkastik tidak bisa membuktikan yang bersangkutan sudah punya Hak Patent diakui dunia.
Para ahli ini lupa bahwa di antara pesepakbola kelas “abal-abal” sudah ada yang membuat masalah.
Diego Michels (Belanda) yang pernah beropacaran dengan artis Nikita Willy misalnya dituduh melakukan penganiayaan sehingga dia disidang dan dihukum.
Grek Nwokolo (Nigeria) memukul seorang wanita Indonesia di sebuah apartemen.
Tapi koq para ahli kewarganegaraan ini DIAM MEMBISU ?
Dengan latar belakang ini saya tetap pada posisi membela dan berempati serta bersimpati kepada Arcandra Tahar.
Bahkan sikap saya semakin “keukeuh”. Walaupun sikap yang saya anggap beralasan kuat ini tidak didengar oleh para pengambil keputusan.
Pasalnya, kemarin sore sekitar pukul 1730 WIB, Selasa 16 Agustus 2016, saya mendengarkan siaraN Radio Sonora. Radio dari group Kompas ini mengutip kisah hidup yang dialami oleh Arcandra Tahar ketika mengikuti pendidikan di Amerika Serikat yang dia mulai pada tahun 1996.
Kisah ini menurut Sonora diceriterakan oleh seorang pejabat dari PT Timah. Saya tidak sempat catat namanya. Dan juga memoriku memang sedang tidak mengarah ke soal nama. Tapi kalau mau cari dokumennya, tinggal menelpon ke Sonora.
Diceriterakan bahwa pada tahun 1996 Arcandra bersama beberapa lulusan S1, dikirim ke Amerika Serikat atas beasiswa dari PT Timah.
Tapi tahun 1998, terjadi krisis ekonomi di tanah air. Selain krisis ekonomi juga krisis politik.
Sebagaimana diketahui pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, setelah didahului oleh berbagai demo anarkhi.
SALAH satu akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, merosot tajam. Sampai menyentuh Rp. 17.000,- per satu dolar, yang tadinya cuma Rp. 1.700,-
Krisis ini berdampak pada kemampuan BUMN, PT Timah mengirim biaya beasiswa. Akibatnya Arcandra dan kawan-kawan mengalami kesulitan di Amerika Serikat.
Dalam keadaan sepeti itu, Arcanda dkk disarankan agar tidak kembali ke tanah air. Sekaligus diminta untuk mencari cara sendiri agar bisa bertahan hidup di negeri Paman Sam trersebut.
Sampai di situ ceriteranya.
Bagi saya latar belakang perjalanan hidup ini cukup bisa jadi alasan kuat jika Arcandra harus memilih paspor Amerika.
Bahwasanya dia tidak serta menjadi warga Amerika pada tahun 1998, itu merupakan isu tersendiri. Yang pasti dia sudah pernah mengalami situasi, bahwa menjadi WNI di negara yang ketat persaingan itu, tidak cukup menjadi sebuah jaminan.
Nah di sini saya tidak melihat bahwa penghianatan ataupun ketidak jujuranlah yang melatar belakangi Arcandra melepas kewarganegaraan Indonesia-nya.
Jadi janganlah mengukur keputusan Arcandra memiliki paspor Amerika, dengan menggunakan parameter “sumbuh pendek”.
Oleh sebab itu kasus pemberian status WNI kepada pesepakbola “abal-abal” asal Belanda, Afrika dan Amerika Latin, jangan sengaja dilupakan.
Keputusan bahwa negara kita pernah mengobral murah status WNI kepada pesepakbola asing, jangan sengaja disembunyikan.
Kalau mau memberi kompensasi, karena BUMN pernah menelantarkannya di AS, berilah kembali WNI kepada Arcandra sekiranya dia sudah pernah melepas ke-WNI-annya itu.
Gunakanlah fakta dari PT Timah untuk merestorasi nama baiknya.
Sebagai penyegar berikut nama-nama para pesepakbola dimaksud :
1). Cristian Gonzales (Uruguay)
2). Kim Jeffrey Kurniawan (Jerman)
3). Diego Michels (Belanda)
4). Victor Igbonefo (Nigeria)
5). Greg Nwokolo (Nigeria)
6). Sergio van Dijk (Belanda)
7). Raphael Maitimo (Belanda)
8). Tonni Crussell (Belanda)
9). Stefano Lilipaly (Belanda)
10). Johny van Beuering (Belanda)
11). Ruben Wuarbanaran (Belanda)
Semoga catatan ini bisa menjadi bahan refeleksi di hari kemerdekaan RI yang ke-71. *****