Adi Sasono, In Memorial

0
1244
Adi Sasono
16 Februari 1943 – 13 Agustus 2016
oleh
Reina Natamihardja
Dear Bapak,
Baru sempat aku tulis catatan tentang hari-hari berlalu yang telah aku lalui bersama Bapak. Bukan satu hal yang sulit untuk mengingat semua yang telah terjadi, aku harus memulai dari waktu 19 tahun yang lalu. Bisa menjadi buku yang berjilid-jilid sepertinya.
Kemarin-kemarin, seakan tidak ada ide untuk menulis (biarkan orang lain dulu yang bicara dan menulis tentang Bapak), tidak ada semangat untuk melangkah ataupun melakukan sesuatu. Aku terlalu sibuk menghapus air mata yang kadang menetes tanpa terasa, merasakan langkah kaki yang mengambang dan kaku. Aku tidak boleh begini kan Pak ?
Dan Selasa kemarin, pikiranku mulai sedikit jernih, aku mulai menerima apa yang terjadi. Kepergian Bapak tidak seharusnya menjadikan aku rapuh karena kehilangan sosok seorang Bapak, Guru, Panutan, partner kerja, sahabat, dan sekaligus tempat aku bercerita. Tapi harus diyakini, bahwa bekal yang telah aku terima selama ini,  ilmu, pelajaran dan pengalaman, harus membuat aku lebih tegar, mandiri dan percaya diri. Dan Bapak begitu yakin, bahwa aku mampu menghadapi semua persoalan dan menyelesaikannya dengan baik. Itu suatu tantangan.
Masih teringat dengan jelas ketika aku memulai profesiku sebagai notaris, meninggalkan sejenak hari-hariku bersama Bapak,  dan sekali waktu Bapak bertanya :
“Ren, jadi notaris itu untuk apa ? Biar bisa pasang papan nama di jalan ya atau biar dapat Lambang Garuda ?”  Aku tertawa mendengar pertanyaannya. Dan aku jawab dengan polos, “Biar aku bisa buka warung, bisa mandiri, mengatur waktu sendiri .”
“Kenapa tidak di Jakarta ?”
 “Di Jakarta sudah close Pak, dan Reina bisa pindah kalau sudah 3 tahun, itu pun kalau di Jakarta masih ada formasi.”
“Ya sudah, kita lihat 3 tahun, dan pindah ke Jakarta lagi.”
Dan sekarang, 2 tahun 7 bulan, aku jalani Profesi Notaris, belum genap syaratku untuk pindah ke Jakarta, Bapak telah pergi.
Satu hal yang tidak pernah luput dari ingatanku. Menjalani tahun-tahun di Jakarta, dan kembali ke Bandung, seolah-olah di Bandung networkku menjadi mati. Tidak ada yang dapat aku jajaki. Pada saat itulah aku minta tolong kepada Bapak, untuk menghubungi beberapa kolega di dunia lembaga keuangan untuk membantu memberikan kesempatan untuk kerjasama.
Apa yang Bapak sampaikan padaku waktu itu adalah :
“Saya yakin Rena bisa masuk ke link Saya, tanpa Saya memberikan surat atau wacana kepada Mereka. Pergunakan link Saya dengan baik dan amanah, sampaikan kepada Mereka, Salam dari Saya.”
Rangkain kalimat itu  tegas, membuatku terpaku. Masa sih Bapak tega melakukan itu ? Sulit membayangkan, biasanya duduk manis pun mendapat gaji, sekarang duduk manis anak-anak ga bakalan sekolah, dan perjuangan baru pun dimulai..
Pantang bagiku untuk merengek kembali atas tolakan halusnya. Bapak yakin aku bisa, kenapa aku tidak ? Dan dalam perjalanan profesiku, client-clientku 70% berasal dari network yang telah  terbangun selama ini, notabene adalah link Bapak, dengan berbekal “Salam dari  Bapak”  Alhamdulillah…
Ada prinsip yang Bapak ajarkan padaku. JADILAH WANITA MANDIRI,  jangan tergantung pada orang lain, tidak pada suami, dan tidak pada orang yang menggaji, berdoalah dan ikhtiar serta  berpikiran positif. Kalimat itu yang memicuku untuk lebih percaya diri.
 
#dari dulu Bapak memanggilku dengan “Ren”, “Rena” padahal sudah berulang kali diingatkan, dan  Pak Misiran pun memanggilku “Mbak Ren”. 
***
Bapak, seperti yang aku tulis di atas,  jika aku ceritakan semua, tulisan ini akan menjadi buku yang berjilid-jilid. Banyak yang ingin aku tulis, aku tidak ingin memulai dari satu hal yang besar, tapi dari hal kecil, kecil sekali, tapi begitu  dalam dan berarti.
Ketika di Bulan Januari, 1997, aku mulai menjajaki Gedung BPPT LT 23,  sebagai hasil rekomendasi Moh Jumhur Hidayat, Priyo Budi Santoso, Ricky Rachmadi dan Tatat Rahmita Utami, untuk mendampingi Bapak (Many thanks for You All, gave me chance to be around You). Jujur, sedikit gentar  aku melangkah, mengingat sosok “Sang Ketua Dewan Direktur” yang terkenal tegas dengan ciri khas tersendiri di lingkungan kami.
Ada seorang anak laki-laki di Lantai 23 itu, namanya Juli, seorang office boy yang bantu Bapak untuk menyiapkan keperluan di sana. Sebagai orang baru, aku harus belajar dan adaptasi dengan lingkungan baru. Di antara masa adaptasi itu, Bapak mengingatkan :”Ren, Anda bisa belajar dari Juli, walaupun dia office boy, dia lebih dulu tahu dan mengerti tentang Saya dan lingkungan di sini.”

Itu adalah pelajaran pertama dari Bapak. Touch banget, memberi ilmu baru tentang hidup, bahwa kita dapat belajar dari siapapun.

Aku selalu mengingat,  bagaimana cara Bapak memanggilku untuk ke ruangan Bapak  : “Ren, tolong ke kamar saya.”  atau  “memerintah”ku untuk melakukan sesuatu, selalu dimulai dengan kata “tolong”, itu memang perintah, tapi dengan kata itu aku merasa itu bukan perintah, bagiku itu adalah satu permintaan tolong untuk membantu Bapak.  Cara  yang membuat aku merasa dihargai. Dan jika semua sudah selesai, Bapak selalu mengucapkan : “Terima Kasih.”   Kecil kan ? tapi memberikan arti, satu penghargaan.

Di tahun pertama, aku belajar lebih banyak. Salah satu pelajaran penting adalah “menghargai orang lain“. Pelajaran ini tentunya sudah aku dapat dari sejak aku masih kecil, dan aku sangat beruntung, bisa mendapatkan contoh nyata selain dari orang tuaku.
Di sini ini, aku bisa melihat, bagaimana Bapak “memperlakukan” orang-orang di sekeliling. Tamu-tamu datang dari berbagai kalangan, semua diperlakukan dengan sama, sopan, santun, dan ramah. Menemui mereka dengan senyum dan  awal kata “Assalamu’alaikum”  atau “Apa kabar?” serta menjabat tangan dengan hangat. Atau menyapa orang-orang di lift, di tempat parkir, di rumah makan, di mesjid, atau ditempat-tempat lain dengan kata yang sama dan  jabatan tangan.  Itulah silaturahmi.
 
***
Waktu pun berjalan, 1,5 tahun berlalu sudah.  Di tahun 1998, satu kesempatan Bapak menduduki jabatan sebagai Menteri Koperasi  Usaha Kecil dan Menengah. Ada satu kalimat  diucapkan Bapak dalam pidato pertamanya di hadapan seluruh pejabat dan staf Departemen tersebut, “Apakah jabatan ini anugerah atau amanah?” Bagi Bapak, jabatan itu adalah Amanah, sebagai kewajiban yang harus dijalankan atas  kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.  Amanah, kata-kata itu yang  menjadi bekalku.Banyak yang aku pelajari disini, tentang Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Petani, Nelayan, dan hal-hal lain yang lebih berorientasi ke rakyat. Bidang yang pas buat Bapak. Dan dalam masa ini, hingga kini, aku lebih bisa mengenal orang secara pribadi. Mana teman yang datang karena “kebutuhannya” saja, dan mana teman yang “benar-benar teman”, lebih jelas terlihat, sempat terucap tentang hal ini kepada Bapak, dan Bapak mengingatkan : Kita lahir berbeda antara satu dengan yang lain, hargai perbedaan, namun jangan ikuti perbedaan yang bisa merusak ahlak dan martabat.

***

Bapak, ketika Bapak menawarkan aku untuk tetap di Departemen Koperasi atau pindah ke  Bio Farma sebelum serah terima jabatan di Departemen Koperasi. Dengan tegas aku menjawab, “Tidak, Saya ikut Bapak.”  Jawaban itu meluncur begitu saja, aku tidak mempersiapkan jawaban karena pertanyaan itu tidak terlintas dalam pikiranku. Spontanitas terjadi karena aku merasa nyaman. Nyaman untuk terus bersama dengan Bapak. (jujur, tidak terbayangkan bagaimana kalau saat itu justru Bapak tidak mau aku dampingi  ? )

Bapak bertanya : “Anda mau berkantor dimana ?”  Aku bingung dengan pertanyaan Bapak. “Saya tidak punya kantor. Minggu ini kita berkantor di mobil saja, sambil cari kantor baru”, lanjut Bapak sambil tertawa.

Dan sisa waktu seminggu sejak tanggal 26 Oktober itu, agenda Bapak adalah silaturahmi, ke Kantor ICMI, Habibie Center, Republika, PT Techno Graha, PPA, juga  kunjungan ke para sahabat. Kita sempat berkantor di BNI 46, waktu itu Kantor Habibie Center (awal THC terbentuk).  Kemudian ke Kantor Ibu Dewi Soeprapto, PT Techno Graha, di Permata Plaza, JL. MH Thamrin.  Dulu Bapak pernah menjabat di perusahaan ini, dan melepaskannya ketika menjadi Menteri Koperasi.

November pertengahan 1999,  Bapak mengajakku ke satu gedung di kawasan Menteng, tepatnya Jalan Agus Salim 117. Satu tempat yang sangat strategis, dengan cat kuning. “Gedung ini milik Pak Jo, Saya diberikan kesempatan untuk berkantor di sini.” itu gambaran yang Bapak berikan tentang gedung ini.
“Kok bisa Pak Jo memberikan kesempatan seperti itu ?”  tanyaku.
“Saya bersilaturahmi dengan Pak Jo, beberapa waktu yang lalu.” jawab Bapak sambil tersenyum.  Alhamdulillah … Back to Silaturahmi, arti, makna, dan hikmahnya.

Sejak Bapak berkantor disana, dan sampai hari ini, Kantor itu disebut dengan GEDUNG KUNING. Di sana lahir Yayasan Indonesia Bangkit. Gerbang Tani Makmur, Jaring Global Nusantara, Jaring Kedai Nusantara, Jaring Telematika Nusantara, dan lain-lain. Dari sana pelajaran dan pengalaman baru lahir, menjadi bekal hingga hari ini. (Dear Pak Jo, Bu Lies, personally, I would like to thank you very much, I got valuable lesson, knowledge and experience)

Aku ingat, ketika Bapak memintaku untuk menjadi salah satu calon legislatif di Partai Merdeka. Padahal Bapak tahu,  aku tidak tertarik dengan bidang itu dan tidak berambisi. Bapak  memintaku untuk masuk dan berkata :“turunlah ke masyarakat, saya tidak meminta Rena untuk “jadi”, tapi untuk mendapatkan pengalaman bagaimana caranya  menyentuh rakyat, ketahui apa yang mereka butuhkan, dan bantu apa yang mereka butuhkan. Satu kunci utamanya adalah Ikhlas dan Amanah”

***

Bapak, setiap hari Jum’at jika sholat Jum’at di Kantor (Di Gedung BBD Plaza), sebelum berangkat Bapak meminta aku mengeluarkan sejumlah dana dengan jumlah yang tidak sama. Dan setiap Bapak pulang sholat, selalu ada  yang mendampingi Bapak, kadang dengan orang yang lama atau orang baru. Dan sesampainya di Kantor, Bapak akan bilang : “tolong siapkan ya Ren, terima kasih”. Aku mengerti apa yang disampaikan Bapak, dan menyerahkan titipan Bapak kepada mereka.
“itu adalah kendaraan kita ke akherat.” Kata Bapak.
Mereka selalu datang, datang, dan datang lagi. Dengan orang yang sama, berbeda, bahkan membawa orang lain. Mungkin orang yang melihatnya akan bosan. Jujur, ada pula yang suka menggerutu (kenapa mereka menggerutu ?). Tapi Bapak akan turun mendatangi mereka jika sempat, mengucap salam, berjabat tangan, dan memberikan apa yang mereka perlukan atau memintaku untuk turun dan menyampaikan amanatnya.  Dihitung dari nominal, tidak seberapa, tapi aku melihat sinar mata kebahagiaan dari mereka.
Suatu saat, aku pernah mendengar gerutuan seseorang tentang itu di saat aku tidak mendampingi Bapak. Aku paham, Dia tidak cukup mengenal baik Bapak. Itu saja.
***
Bapak, ingat ketika aku bilang bahwa ada orang yang tidak jujur kepada Bapak ? Bukan karena aku menerima pengaduan orang, tapi karena aku yang mengalaminya. Aku kesal, marah, merasa dipecundangi (kenapa jadi aku yang marah ?).
Bapak mendengarkan semua pembicaraanku, menanyakan dan mengomentari beberapa point. Dan ketika aku tanyakan apa yang akan Bapak lakukan, Bapak tersenyum, dan berkata  : “Biarkan saja, waktu itu dia  tidak amanah, Allah tahu apa yang harus dilakukan atas perbuatannya.” Aku tertegun, speechless. How’s coming ??? 
Dan ketika orang itu datang lagi berkunjung ke kantor, Bapak bersikap hangat dan tenang seperti biasanya, seakan tidak pernah ada pembicaraanku tentangnya. Bapak memperhatikan sikapku yang kurang manis dan menghampiriku dan berbisik : “senyum Ren, senyum itu adalah ibadah”  Huhuhu Bapak …. !!
***
2010 lalu, aku belajar banyak bertani, dan sekaligus menjadi petani. Tadinya kupikir, aku akan duduk manis menandatangani setiap perjanjian antara perusahaan dengan kelompok tani, tapi ternyata Bapak menguasakan pengurusan sepenuhnya untuk turun dan bertani. Padahal Pak, waktu itu aku juga kontrak dengan perusahaan lain yang bergerak di bidang  fashion dan entertine (maaf aku tidak pernah bilang tentang ini). Dua bidang yang bertolak belakang.
Terbayang ketika aku harus belajar tentang bibit jagung, padi, kedelai, gandum, dan sorgum, belajar tentang pupuk organik dan non organik, tentang pestisida, membuat budget per hektar setiap tanaman, membuat cashflow dengan ribuan hektar, menghadapi para petani,  juga aparat desa dan pejabat instansi setempat . It’s so amazing.
Bapak senang dengan usahaku mempelajari bidang ini, membaca, berhitung dan  berkomunikasi. Bapak bilang : “tentang pertanian dan komunikasi, banyak literatur yang bisa dipelajari, tapi berhadapan dengan petani dan aparat di sana, tidak seperti itu caranya. Sumbernya di diri kita, di Rena, bagaimana caranya agar petani merasa nyaman menyambut dan menerima kedatangan kita dengan senyum, bukan dengan spanduk penolakan.”
***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.