yang bantu Bapak untuk menyiapkan keperluan di sana. Sebagai orang baru, aku harus belajar dan adaptasi dengan lingkungan baru. Di antara masa adaptasi itu, Bapak mengingatkan :”Ren, Anda bisa belajar dari Juli, walaupun dia
Itu adalah pelajaran pertama dari Bapak. Touch banget, memberi ilmu baru tentang hidup, bahwa kita dapat belajar dari siapapun.
Aku selalu mengingat, bagaimana cara Bapak memanggilku untuk ke ruangan Bapak : “Ren, tolong ke kamar saya.” atau “memerintah”ku untuk melakukan sesuatu, selalu dimulai dengan kata “tolong”, itu memang perintah, tapi dengan kata itu aku merasa itu bukan perintah, bagiku itu adalah satu permintaan tolong untuk membantu Bapak. Cara yang membuat aku merasa dihargai. Dan jika semua sudah selesai, Bapak selalu mengucapkan : “Terima Kasih.” Kecil kan ? tapi memberikan arti, satu penghargaan.
Di tahun pertama, aku belajar lebih banyak. Salah satu pelajaran penting adalah “menghargai orang lain“. Pelajaran ini tentunya sudah aku dapat dari sejak aku masih kecil, dan aku sangat beruntung, bisa mendapatkan contoh nyata selain dari orang tuaku.
Di sini ini, aku bisa melihat, bagaimana Bapak “memperlakukan” orang-orang di sekeliling. Tamu-tamu datang dari berbagai kalangan, semua diperlakukan dengan sama, sopan, santun, dan ramah. Menemui mereka dengan senyum dan awal kata “Assalamu’alaikum” atau “Apa kabar?” serta menjabat tangan dengan hangat. Atau menyapa orang-orang di lift, di tempat parkir, di rumah makan, di mesjid, atau ditempat-tempat lain dengan kata yang sama dan jabatan tangan. Itulah silaturahmi.
Waktu pun berjalan, 1,5 tahun berlalu sudah. Di tahun 1998, satu kesempatan Bapak menduduki jabatan sebagai Menteri Koperasi Usaha Kecil dan Menengah. Ada satu kalimat diucapkan Bapak dalam pidato pertamanya di hadapan seluruh pejabat dan staf Departemen tersebut,
“Apakah jabatan ini anugerah atau amanah?” Bagi Bapak, jabatan itu adalah Amanah, sebagai kewajiban yang harus dijalankan atas kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.
Amanah, kata-kata itu yang menjadi bekalku.Banyak yang aku pelajari disini, tentang Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Petani, Nelayan, dan hal-hal lain yang lebih berorientasi ke rakyat. Bidang yang pas buat Bapak. Dan dalam masa ini, hingga kini, aku lebih bisa mengenal orang secara pribadi. Mana teman yang datang karena “kebutuhannya” saja, dan mana teman yang “benar-benar teman”, lebih jelas terlihat, sempat terucap tentang hal ini kepada Bapak, dan Bapak mengingatkan : Kita lahir berbeda antara satu dengan yang lain, hargai perbedaan, namun jangan ikuti perbedaan yang bisa merusak ahlak dan martabat.
***
Bapak, ketika Bapak menawarkan aku untuk tetap di Departemen Koperasi atau pindah ke Bio Farma sebelum serah terima jabatan di Departemen Koperasi. Dengan tegas aku menjawab, “Tidak, Saya ikut Bapak.” Jawaban itu meluncur begitu saja, aku tidak mempersiapkan jawaban karena pertanyaan itu tidak terlintas dalam pikiranku. Spontanitas terjadi karena aku merasa nyaman. Nyaman untuk terus bersama dengan Bapak. (jujur, tidak terbayangkan bagaimana kalau saat itu justru Bapak tidak mau aku dampingi ? )
Bapak bertanya : “Anda mau berkantor dimana ?” Aku bingung dengan pertanyaan Bapak. “Saya tidak punya kantor. Minggu ini kita berkantor di mobil saja, sambil cari kantor baru”, lanjut Bapak sambil tertawa.
Dan sisa waktu seminggu sejak tanggal 26 Oktober itu, agenda Bapak adalah silaturahmi, ke Kantor ICMI, Habibie Center, Republika, PT Techno Graha, PPA, juga kunjungan ke para sahabat. Kita sempat berkantor di BNI 46, waktu itu Kantor Habibie Center (awal THC terbentuk). Kemudian ke Kantor Ibu Dewi Soeprapto, PT Techno Graha, di Permata Plaza, JL. MH Thamrin. Dulu Bapak pernah menjabat di perusahaan ini, dan melepaskannya ketika menjadi Menteri Koperasi.
November pertengahan 1999, Bapak mengajakku ke satu gedung di kawasan Menteng, tepatnya Jalan Agus Salim 117. Satu tempat yang sangat strategis, dengan cat kuning. “Gedung ini milik Pak Jo, Saya diberikan kesempatan untuk berkantor di sini.” itu gambaran yang Bapak berikan tentang gedung ini.
“Kok bisa Pak Jo memberikan kesempatan seperti itu ?” tanyaku.
“Saya bersilaturahmi dengan Pak Jo, beberapa waktu yang lalu.” jawab Bapak sambil tersenyum. Alhamdulillah … Back to Silaturahmi, arti, makna, dan hikmahnya.
Sejak Bapak berkantor disana, dan sampai hari ini, Kantor itu disebut dengan GEDUNG KUNING. Di sana lahir Yayasan Indonesia Bangkit. Gerbang Tani Makmur, Jaring Global Nusantara, Jaring Kedai Nusantara, Jaring Telematika Nusantara, dan lain-lain. Dari sana pelajaran dan pengalaman baru lahir, menjadi bekal hingga hari ini. (Dear Pak Jo, Bu Lies, personally, I would like to thank you very much, I got valuable lesson, knowledge and experience)
Aku ingat, ketika Bapak memintaku untuk menjadi salah satu calon legislatif di Partai Merdeka. Padahal Bapak tahu, aku tidak tertarik dengan bidang itu dan tidak berambisi. Bapak memintaku untuk masuk dan berkata :“turunlah ke masyarakat, saya tidak meminta Rena untuk “jadi”, tapi untuk mendapatkan pengalaman bagaimana caranya menyentuh rakyat, ketahui apa yang mereka butuhkan, dan bantu apa yang mereka butuhkan. Satu kunci utamanya adalah Ikhlas dan Amanah”
Bapak, setiap hari Jum’at jika sholat Jum’at di Kantor (Di Gedung BBD Plaza), sebelum berangkat Bapak meminta aku mengeluarkan sejumlah dana dengan jumlah yang tidak sama. Dan setiap Bapak pulang sholat, selalu ada yang mendampingi Bapak, kadang dengan orang yang lama atau orang baru. Dan sesampainya di Kantor, Bapak akan bilang : “tolong siapkan ya Ren, terima kasih”. Aku mengerti apa yang disampaikan Bapak, dan menyerahkan titipan Bapak kepada mereka.
“itu adalah kendaraan kita ke akherat.” Kata Bapak.
Mereka selalu datang, datang, dan datang lagi. Dengan orang yang sama, berbeda, bahkan membawa orang lain. Mungkin orang yang melihatnya akan bosan. Jujur, ada pula yang suka menggerutu (kenapa mereka menggerutu ?). Tapi Bapak akan turun mendatangi mereka jika sempat, mengucap salam, berjabat tangan, dan memberikan apa yang mereka perlukan atau memintaku untuk turun dan menyampaikan amanatnya. Dihitung dari nominal, tidak seberapa, tapi aku melihat sinar mata kebahagiaan dari mereka.
Suatu saat, aku pernah mendengar gerutuan seseorang tentang itu di saat aku tidak mendampingi Bapak. Aku paham, Dia tidak cukup mengenal baik Bapak. Itu saja.
***
Bapak, ingat ketika aku bilang bahwa ada orang yang tidak jujur kepada Bapak ? Bukan karena aku menerima pengaduan orang, tapi karena aku yang mengalaminya. Aku kesal, marah, merasa dipecundangi (kenapa jadi aku yang marah ?).
Bapak mendengarkan semua pembicaraanku, menanyakan dan mengomentari beberapa point. Dan ketika aku tanyakan apa yang akan Bapak lakukan, Bapak tersenyum, dan berkata : “Biarkan saja, waktu itu dia tidak amanah, Allah tahu apa yang harus dilakukan atas perbuatannya.” Aku tertegun, speechless. How’s coming ???
Dan ketika orang itu datang lagi berkunjung ke kantor, Bapak bersikap hangat dan tenang seperti biasanya, seakan tidak pernah ada pembicaraanku tentangnya. Bapak memperhatikan sikapku yang kurang manis dan menghampiriku dan berbisik : “senyum Ren, senyum itu adalah ibadah” Huhuhu Bapak …. !!
***
2010 lalu, aku belajar banyak bertani, dan sekaligus menjadi petani. Tadinya kupikir, aku akan duduk manis menandatangani setiap perjanjian antara perusahaan dengan kelompok tani, tapi ternyata Bapak menguasakan pengurusan sepenuhnya untuk turun dan bertani. Padahal Pak, waktu itu aku juga kontrak dengan perusahaan lain yang bergerak di bidang fashion dan entertine (maaf aku tidak pernah bilang tentang ini). Dua bidang yang bertolak belakang.
Terbayang ketika aku harus belajar tentang bibit jagung, padi, kedelai, gandum, dan sorgum, belajar tentang pupuk organik dan non organik, tentang pestisida, membuat budget per hektar setiap tanaman, membuat cashflow dengan ribuan hektar, menghadapi para petani, juga aparat desa dan pejabat instansi setempat . It’s so amazing.
Bapak senang dengan usahaku mempelajari bidang ini, membaca, berhitung dan berkomunikasi. Bapak bilang : “tentang pertanian dan komunikasi, banyak literatur yang bisa dipelajari, tapi berhadapan dengan petani dan aparat di sana, tidak seperti itu caranya. Sumbernya di diri kita, di Rena, bagaimana caranya agar petani merasa nyaman menyambut dan menerima kedatangan kita dengan senyum, bukan dengan spanduk penolakan.”
***