*KEKACAUAN BERPIKIR PARA _JILATOLOGI_ TAX AMNESTY*
Tanggapan Ringan Untuk Yustinus Prastowo
_Oleh : Ferdinand Hutahaean_
Bergulirnya artikel singkat yang saya tulis tanggal 26 Agustus 2016 berjudul KETIKA TAX AMNESTY MENJADI TEROR BAGI RAKYAT sungguh saya tidak duga akan menjadi viral dan meluas keseleruh wilayah Republik Indonesia melalui kecanggihan teknologi zaman sekarang. Dan diluar dugaan saya juga mendapat tanggapan tulisan balik dari seorang bernama Yustinus Prastowo. Sosok yang tidak saya kenal sama sekali hingga mengundang saya untuk mencoba mencari tau siapa Yustinus Prastowo ini. Akhirnya saya menemukan berita tentang nama ini bahwa Yustinus adalah Direktur Centre For Indonesia Taxation Analysis. Namun apakah penanggab tersebut adalah benar Yustinus Prastowo saya tidak pernah tau dan sejujurnya tidak juga ingin tau. Sesunghuhnya saya sudah tidak ingin menanggabi tanggapan tersebut karena memang tidak akan berguna. Tapi saya akan tetap menanggapi supaya Yustinus tau bahwa dialah sesungguhnya yang sedang kacau berpikir.
Mengapa saya memilih judul seperti diatas? Karena *saya ingin menegaskan dengan fakta dan bukan dengan perasaan siapa sesungguhnya yang berpikir kacau, saya atau Yustinus?* Yang kedua, saya meminjam istilah dari sahabat saya DR. EMRUS SIHOMBING Pakar Komunikasi dari UPH yang menyebut *JILATOLOGI* _kepada yang suka berargumen menjilat pada kekuasaan_
Mari kita urai tulisan saya yang pertama dengan tanggapan YP dan artikel yang sepertinya bersumber dari pemerintah tentang Tax Amnesty.
*Pertama*, Saya menyebut Tax Amnesty sebagai teror yang kemudian ditanggapi oleh YP dengan kalimat yang menggelikan sbb : “_Tulisan berjudul “Ketika UU Tax Amnesty Jadi Teror Bagi Rakyat” dari Ferdinand Hutahaean seolah kritik yang gagah-heroik, namun sejatinya sebuah teror yang lahir dari campur aduk amarah, kegalauan, dan kekacauan berpikir._”
*Adalah benar saya memang marah kepada rejim ini yang kemudian menjadikan rakyat sebagai target tax amnesty setelah awalnya rejim ini berkata bahwa tax amnesty akan menarik uang yang parkir diluar dengan jumlah sekitar 4000*. Bahkan presiden berulang kali menyatakan sudah mengantongi nama, alamat dan lokasi penyimpanan uang. Fakta sekarang 4000T itu entah dimana dan entah milik siapa. Tp yg pasti bahwa sekarang pemerintah malah mengejar rakyatnya dan bukan uang parkir diluar negeri. Bukankah ini layak membuat kita marah? Inilah fakta yang tidak mau dimengerti oleh YP tapi malah menjelaskan tax amnesty seperti penjelasan seorang anak SMK yang sedang belajar akutansi dan perpajakan.
*Kedua*, YP dalam tanggapannya menyatakan sbb : “*Semua pilihan punya risiko dan konsekuensi, termasuk jika mengacu ke UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Jika wajib pajak memilih ikut tax amnesty namun tidak jujur, _hati-hati!_ Terhadap harta yang tidak diungkap dan ditemukan oleh kantor pajak sampai dengan 1 Juli 2019, akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai pajak sesuai ketentuan dan sanksi 200% dari pajak yang terutang*”
Garis bawahi penggunaan kata _*hati-hati!*_ yang dipilih oleh YP. Bukankah kata hati-hati tersebut menegaskan sebuah ancaman dan teror psikologis bagi rakyat? Teror psikologis itu dibumbui dengan ancaman denda 200%. Lucu juga YP ini menyatakan tax amnesty mudah tapi mengancam dengan kata hati-hati.
Dalam artikel lain yang sepertinya bersumber dari pemerintah juga tertulis sbb : *BAGAIMANA JIKA TIDAK IKUT PROGRAM TAX AMNESTI?*
_Ditjen Pajak akan intensif melakukan pemeriksaan (termasuk dengan kecanggihan tehnologi dan satelit) dibantu oleh lembaga yang lain (termasuk polisi dan intelijen) untuk mengecek seluruh harta dimanapun di Indonesia yang dimiliki oleh seluruh warga negara yang belum pernah dilaporkan termasuk seluruh kewajiban perpajakan dari tahun 1985 sampai 31 Desember 2015, jika ditemukan maka akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) + denda 200% + jika ada sangsi pidana_.
Bukankah seluruh potongan artikel diatas itu bentuk teror psikologis kepada rakyat dengan ancaman-ancaman (Teror) yang disampaikan?
*Dengan demikian, kekacauan berpikir justru ada pada YP dan bukan pada saya, karena artikel tanggapan YP justru menegaskan teror dan ancaman menggunakan kata hati-hati*.
*Ketiga*, potongan kalimat dari YP sbb yang berbunyi : “*Dengan demikian, baik memilih ikut maupun tidak ikut program tax amnesty dituntut untuk jujur. Jika tidak, kita akan dikenai sanksi yang memberatkan*”
Potongan artikel ini kembali menegaskan sebuah ancaman dan teror psikologi kepada masyarakat dengan menyatakan _*Jika tidak, kita akan dikenai sanksi yang memberatkan*_. YP justru semakin menakut nakuti rakyat dengan pilihan kata *jika tidak*. Dengan demikian justru artikel tanggapan YP adalah penegasan UU TA adalah teror bagi rakyat.
*Keempat*, adalah tentang pajak berganda. Dalam artikel yang kembali saya harus menyebutnya seperti bersumber dari pemerintah menyatakan sbb : *SIAPA YANG HARUS IKUT TAX AMNESTI?*
_Seluruh warga negara Indonesia (baik yang sudah memiliki NPWP maupun yang belum) yang memiliki harta berupa apapun (tanah, rumah, investasi, deposito, bisnis, uang kas, emas, perhiasan, barang seni dll yang memiliki nilai uang) yang belum pernah dilaporkan ke pajak (SPT/Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan). Harta tersebut baik yang berada di Indonesia atau di luar negeri_.
Dan dalam artikel tanggapan YP menuliskan juga sbb : “* Tapi apakah wajib pajak yang seluruh penghasilannya sudah dipajaki – demi mendapatkan fasilitas pengampunan – dapat ikut program tax amnesty? Sangat dibolehkan, dengan cara mengungkap harta tambahan dan membayar uang tebusan*”
Potongan artikel tanggapan YP tersebut justru mengakui bahwa meski sudah dipajaki tapi karena aset belum dilaporkan di SPT harus diungkap dan membayar tebusan. *Bukankah tebusan itu jadi seperti pajak berganda dan amat keji?*
Jadi sekali lagi Yustinuslah yang marah-marah dan kacau berpikir serta menggunakan ilmu JILATOLOGI untuk menjilat pemerintah.
*Kelima*, potongan artikel tanggapan YP yang berbunyi sbb : “* Seluruh konstruksi UU, nalar, dan administrasi perpajakan bersandar pada prinsip dan asas perpajakan yang menjunjung keadilan, kepastian hukum, dan penghormatan hak wajib pajak. Bahkan dapat dijamin, tak ada satu pun pasal atau petugas pajak yang berani mengenakan beban pajak berganda, apalagi serampangan memajaki*”.
Justru nalar YP sangat kacau jika menyatakan UU TA menjunjung tinggi keadilan dan kepastian hukum. Apakah YP tidak tau awalnya publik merasa diperlakukan tidak adil karena justru pengemplang pajak akan diampuni dan yang rajin lapor pajak tidak mendapatkan apa-apa? YP sepertinya hanya duduk dibalik meja tanpa pernah mengetahui keresahan publik secara faktual.
Kemudian tentang kepastian hukum, justru pasal yang melindungi pelaku tidak akan dijadikan dasar penyelidikan adalah sebuah upaya menciptakan ketidak pastian hukum. Bisa saja seorang koruptor berniat ikut TA, dengan begitu dia tidak bisa diperiksa kasus tipikornya. Bukankah ini mengakibatkan ketidak pastian hukum?
Masih ada beberapa yang sebetulnya perlu ditanggapi, namun saya pikir tidak perlu terlalu panjang ditanggapi karena para JILATOLOGI memang kehilangan nalar warasnya dan melakukan apapun untuk bisa menjilat pemerintah.
*Kesimpulan saya tetap tidak berobah bahwa TAX AMNESTY MEMANG ADALAH TEROR KEPADA RAKYAT karena mengandung kalimat-kalimat yang mengancam*.
Jakarta, 28 Agustus 2016