Pengantar
PRIBUMI – Dalam seekan ini nama Komjen Budi Waseso mengema bagai sebuah peluit kereta yang menadakan kreta tiba atau segeerr berangkat. Komjen Budi Waseso atau dikenal dengan sebuat Buwas, memang snagat luar biasa. Ia menjadi buah bibir. Pemantik kasusnya adalah saat ada 27 Anak Buahnya Diperiksa Propam. Puluhan bekas anak buah Komjen Budi Waseso diperiksa Inspektur Pengawasan Umum serta Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri. Mereka diadukan oleh PT Maritim Timur Jaya, perusahaan di bawah payung Artha Graha Grup milik Tomy Winata. Hebat juga yang kisahnya.
Dari 27 orang anak buah Buwas ternyata bukan cuma diperiksa Propam namun juga Irwasum. Bahkan ada beberaa yang semat tidak bisa menlajutkan studi dalam karirnya di kepolisian. Kasian juga mereka.
27 Anak Buahnya dieriksa Kepala BNN itu meradang. Buwas protes. Mengapa Propam tidak memeriksa dirinya? Sebab semua tindakan yang dilakukan anak buahnya atas perintah dia.
“Saya yang lebih bertanggung jawab,” kata Buwas yang dilansir laman Rimanews.
Untuk kaitan itu kami PRIBUMINEWS.co.id mencoba menulis 4 bagian dari perjalanan sang Jendral berani ini. Kisah Perjalanan Buwas yang Berani ini kami bukan sekadar siapa sebenarnya Buwas. Tapi inilah tokoh polisi keren dan berani saat ini yang berani melawan Tommy Winata.
Jika Anda mengetik “komjen” di Google, yang pertama kali akan muncul secara otomatis adalah frasa “Komjen Budi Waseso”. Memang, dalam beberapa bulan terakhir, sejak ia menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Kabareskrim Mabes Polri) pada 16 Januari 2015, nama Komisaris Jenderal Budi Waseso kerap menghiasi media massa. Bukan hanya yang bernada positif, tapi juga yang bernada negatif.
Malah, beberapa kalangan sempat beredar petisi online yang menginginkan Komjen Budi Waseso dicopot dari jabatannya sebagai Kabareskrim saat itu. Musababnya, penetapan dua komisioner Komisi Yudisial sebagai tersangka atas dugaan pencemaran nama baik, yang dilaporkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin, dinilai sejumlah pihak sebagai upaya kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh antikorupsi. Padahal, sebelum melaporkan kedua orang itu ke Bareskrim, kuasa hukum Sarpin telah melayangkan somasi terbuka agar pihak-pihak yang berkomentar negatif tentang Sarpin bersedia meminta maaf.
Menurut Budi Waseso waktu itu, pihaknya tidak akan menangguhkan kasus itu. “Enggak ada itu, terus lanjut. Masak kita diatur? Memang boleh ada yang ngatur? Makanya itu, saya bilang, kita harus profesional, tidak boleh membeda-bedakan,” ujarnya pada 16 Juli 2015 lalu.
Ia pun menyatakan, kasus itu sebenarnya kasus sederhana, yang bisa dihentikan jika terjadi pencabutan pelaporan oleh Hakim Sarpin. “Ini kasusnya sederhana. Kalau si pelapor mencabut laporannya, ya, sudah selesai. Tapi, saya sendiri juga enggak bisa, enggak boleh mencabut. Karena, ada delik aduan,” ungkap Budi Waseso.
Sebelumnya, nama Budi Waseso juga sempat ramai diperbincangkan terkait penangkapan dan penahanan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto (BW). Ia juga menuai banyak kecaman karena penangkapan terhadap BW dinilai banyak pihak bak penangkapan terhadap tersangka teroris.
Lalu, nama Buwas kembali meramaikan media massa ketika ia tidak mau mengisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), yang merupakan suatu kewajiban tanpa sanksi bagi penyelenggara negara. Budi Wasseso malah meminta KPK untuk menelusuri harta kekayaannya. “Saya tidak mau saya yang melaporkan. Suruh KPK sendirilah yang mengisi itu,” kata Budi Waseso, 29 Mei 2015 lalu.
Namun, belakangan, setelah terjadi kegaduhan atas sikapnya itu, Budi Waseso “melunak”, meski ia sampai sekarang belum juga mengisi LHKPN. Apa pasal?
Budi Waseso mengaku kesulitan untuk mengisi LHKPN. Menurut dia, pengisian LHKPN perlu dilakukan secara hati-hati agar perincian laporan kekayaan dapat terhitung dengan baik. “Tidak mudah. Begitu sulitnya mengisi itu. Semua itu harus jujur. Kalau tidak, itu namanya pembohongan publik,” kata Budi pada 1 Juli 2015 lalu. (Bersambung)