Kekuatan terbesar dari sebuah bangsa tidak terletak pada kekuatan lahiriah, luas wilayah, jumlah penduduk dan sumber daya alam yang dimilikinya. Sesungguhnya, kekuatan terdahsyat dari sebuah bangsa terletak pada kekuatan jiwanya yang membentuk karakter atau kepribadian bangsa tersebut.
Karena itu, sangat tepat jika dalam pidatonya dengan judul Nawaksara di depan Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, Bung Karno memperingatkan kepada kita:
“…membangun suatu negara, membangun ekonomi, membangun tekhnik, membangun pertahanan, adalah yang pertama-tama dan pada tahap utamanya adalah membangun jiwa bangsa, bukankah demikian? Tentu saja keahlian adalah perlu, tetapi keahlian saja tanpa dilandaskan pada jiwa yang besar tidak akan dapat mungkin akan mencapai tujuannya, inilah perlunya, sekali lagi mutlak perlunya, nation character building…”
Jika kita belajar pada pengalaman pribadi dan pergaulan sosial, maka kita dapat menemukan fakta bahwa kekuataan terdahsyat seorang manusia justru tidak terletak pada kekuatan fisik yang ditandai dengan tubuhnya yang kekar berotot dan suaranya yang menggelagar mengancam.
“Orang yang sedang mengalami gangguan jiwa otomatis kehilangan kekuatannya”. Baik manusia maupun sebuah bangsa, jika kehilangan jiwanya, pasti kekuatannya jadi lumpuh dan mudah ditaklukan. Tapi, jika ia mampu menemukan kembali kemurnian jiwanya yang hilang, yang menjadi jati dirinya, maka kekuatan energi di dalam dirinya akan kembali muncul dan memancar.
Kekuatan otot sesungguhnya yang paling “kasar” dan sangat lemah. Meskipun fisik seseorang telihat kekar dan kuat, tetap saja pasti akan kalah dengan orang yang jiwanya sangat besar dan kuat. Jiwa yang besar dan kuat akan mampu menyerap, mengelola dan membentuk “energi” yang mengubah sebuah keadaan sosial.
Konsep medan jiwa yang membentuk energi atau ‘force’ digambarkan secara filosofis di dalam film ‘Star War, The Force Awaknes’ (George Lucas: 2015). ‘Force’ digambarkan sebagai medan energi yang tercipta dari semua makhluk hidup yang ada di dalam diri kita maupun di sekitar kita.
Energi atau ‘forces’ berbeda dengan ‘ruh’ yang pasti suci (ruhul qudus), ‘ruhullah’ (ruh Allah) di dalam diri nabi Isa AS. ‘Force’ dapat digunakan untuk tujuan kebajikan, dapat juga digunakan untuk kejahatan. Star War mengisahkan pertarungan antara kaum Jedi yang mengelola Force untuk tujuan-tujuan kebajikan, menghadapi kaum Sith yang menggunakan sisi gelap dari Force untuk menguasai dan mengkolonisasi galaksi.
Sebetulnya di dalam kitab-kitab agama juga telah menggambarkan kisah-kisah kemenangan kekuatan jiwa menghadapi kekuatan yang bertumpu semata pada faktor lahiriah. Misalnya, kisah pertarungan antara David melawan Goliath dalam kitab Injil. David yang kecil tidak perkasa, namun mempunyai jiwa yang besar dan kuat, mewakili sisi kebajikan, mampu mengalahkan Goliath yang kuat, perkasa, berkuasa dan sangat jahat.
Filosofi “David Goliath” tersebut yang dikemudian hari digunakan secara baik oleh kaum Yahudi yang kecil, dari segi kuantitas, yang awal mulanya tidak berharta dan bertahta. Kaum Yahudi yang kecil namun mempunyai jiwa yang besar dan kuat mampu menyerap dan mengelolo energi atau force untuk menguasai, memimpin dan mengkolonisasi dunia (galaksi) yang besar dan luas.
Filosofi “David Goliath” juga digunakan oleh negara kecil seperti Singapura untuk menguasai Indonesia yang luas secara geografis, unggul dari segi jumlah penduduk dan kaya sumber daya alam.
Kisah lain tentang kemenangan kekuatan jiwa menghadapi kekuatan tahta dan otot juga ditunjukan melalui kisah pertarungan antara Sri Rama yang mempunyai jiwa dan spirituil yang kuat, yang berhasil mengalahkan Rahwana yang perkasa, berwajah sepuluh (dasamuka), serta memiliki dua puluh tangan yang menunjukan kesombongan, keserakahan atau kemauan yang tidak ada batasnya.
Di dalam Islam, kita sering mendengar pesan dari Imam Ali bin Abu Thalib yang mengatakan “kejahatan yang terorganisasi dapat mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisasi”. Terorganisasi dalam pengertian tersebut bukan semata dari segi fisik, struktrual, strategi dan peralatan (alutsista). Terorganisasi dalam pengertian tersebuat adalah penyatuan jiwa yang menjadi dasar untuk membentuk energi atau force.
Di dalam al-Quran (2: 249) sangat jelas dikatakan “berapa banyak telah terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Demikianlah, maka dalam revolusi kemerdekaan tahun 1945, bangsa kita secara fisik sangat lemah jika dibandingkan dengan kekuatan penjajah asing, tidak terorganisasi dalam seluruh tingkatan, dipisahkan oleh lautan, serta menghadapi hambatan infrastruktur dan telekomunikasi.
Tentara kita juga bermodal bambu runcing, tidak dilengkapi alat perang (alutsista) yang modern sebagaimana yang digunakan oleh penjajah. Karena itu, untuk menyikapi keterbatas fisik atau lahiriah tersebut, maka Panglima Besar Jenderal Soedirman menyampaikan pidatonya yang sangat dahsyat, “…apabila perjuangan kita sudah berdasarkan atas kesucian, maka perjuangan ini pun akan berwujud kekuatan batin melawan kekuatan lahir…”
Rakyat dan para pemimpin bangsa Indonesia saat itu memang diperkokoh oleh perasaan senasib dan sepenanggungan, mempunyai jiwa yang kuat dan berkarakter. Sehingga atas izin Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, berhasil melawan dan mengusir penjajahan asing yang keji dan biadab.
Berbeda dengan keadaan Indonesia saat ini, yang secara fisik dan lahiriah terlihat bersatu, dipermudah oleh infrastruktur dan disatukan oleh revolusi digital. Namun, tidak adanya kekuatan dan kesatuan jiwa yang membentuk karakter dan melandasi persatuan bangsa. Jiwa bangsa kita telah menjadi kerdil dan tak berdaya. Akibatnya, bangsa kita saat ini sangat mudah diombang ambingkan oleh gelombang sejarah yang sangat dinamis dan nonlinier.
Ketika kapasitas jiwa dan batin kita telah dilumpuhkan, moral dan karakter juga dihancurkan. Maka, bangsa kita tak akan sanggup lagi berdiri tegak menahan serangan dari rantai predator kapitalisme global. Dipastikan eksistensi bangsa kita akan tetap menjadi koloni asing, para pemimpinnya menjadi kacung dan rakyat nya tetap bernasib menjadi budak di atas tanah sendiri.
Pada tahun 2018 nanti, ketika kita akan mulai memasuki era kolonialisme digital finance yang hadir bertopeng keterbukaan perbankan. Maka, setelah rakyat kita diperbudak dan sumber daya alam kita dieksploitasi ratusan tahun hingga saat ini, pada tahap berikutnya sumber-sumber keuangan rakyat dan bangsa kita akan dihisap habis melaui digitalisasi financial yang akan diintegrasikan secara global dan berpusat di The FED USA.
Untuk itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Bung Karno di atas, yang sangat dibutuhkan bangsa kita saat ini adalah revolusi karakter bangsa untuk menempa kembali jiwa bangsa yang sedang berkarat dan kerdil. Jiwa bangsa harus digembleng agar menemukan kembali jati diri, kekuatan dan ketajamannya dalam menghadapi tantangan dan ancaman dari predator kapitalisme global.
Sebagaimana manusia yang mempunyai jiwa dan kepribadiannya yang dibentuk oleh medan ekosistem tempatnya hidup dan ditempa oleh sejarahnya hidupnya. Demikian juga sebuah bangsa, ia juga mempunyai jiwa dan kepribadian yang dibentuk oleh medan lingkungan dan tempaan sejarah yang pernah dilewatinya.
Kita dapat saja memindahkan seluruh teori dan ideologi yang tumbuh di barat untuk menjadi acuan kehidupan bangsa kita. Namun, kita tak akan mampu memindahkan sejarah yang menggembleng, menempa dan membentuk kepribadian bangsa-bangsa di barat. Demikian juga, apakah kita mampu memindahkan ekosistem dan iklim empat musim di barat yang turut menjadi faktor yang membentuk kepribadian sebuah bangsa?
Sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, maka Pancasila hidup dan ditempa melewati tahap tesa, anti tesa lalu sintesa. Pancasila sendiri adalah sintesa dari pertumbuhan sejarah yang membentuk jiwa dan kepribadian kita sebagai sebuah bangsa.
Nilai-nilai luhur Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa telah hidup dan tumbuh di dalam masyarakat Indonesia sejak dari zaman Sriwijaya dan Majapahit. Setelah 350 tahun dibenamkan di dalam bumi dan berkarat akibat penjajahan asing, jiwa Pancasila kemudian lahir kembali (reinkarnasi) masuk ke dalam tubuh dan bajunya yang baru, yaitu Indonesia, yang diproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945.
Karena itu, sangat tepat jika Bung Karno mengatakan “…aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku sembahkan Pancasila di atas persada bangsa Indonesia kembali…”
Dari pidato Bung Karno tersebut, jelas bahwa Pancasila bukan semata sebuah kumpulan kata-kata yang menjadi konsensus nasional para pendiri bangsa, yang terbentuk dan lahir secara top down. Pancasila adalah pandangan hidup, perilaku dan budaya yang hidup di dalam masyarakat, yang dibentuk oleh dinamika sejarah dan pengaruh lingkungan. Pancasila lahir secara bottom up dan membentuk konsensus nasional (top down).
(Bersambung…..)