Mengapa Ahok Ditolak Poros Islam?

CATATAN TENGAH Derek Manangka

0
1059
Derek Manangka

PRIBUMI-JAKARTA – Membicarakan soal Ahok, banyak hal yang bisa dibahas. Terutama setelah PDIP Selasa malam 20 September 2016 memastikan dukungannya. Ahok dan Saiful Djarot calon PDIP dalam Pilkada Pebruari 2017.

Tetapi yang cukup dan bahkan mungkin paling menarik adalah membicarakan isu SARA yang membonceng pada diri Ahok.

Mengapa Ahok mendapat penolakan yang cukup kuat dari Poros Islam ? Betulkah Poros Islam menolaknya karena Ahok pemeluk Kristen dan keturunan Tionghoa ?

Pertanyaan ini tentu saja menggoda. Karena kalau begitu keadaannya, berarti Indonesia belum bisa disebut sebagai Negara Pancasila, negara heterogen yang tidak mempersoalkan perbedaan agama, suka dan lain-lainnya,

Dan Pancasila sebagai Dasar Negara, sudah diterima melalui Sidang Umum MPR RI Maret 1978.

Jadi mestinya, setelah 38 tahun, masalah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) tidak lagi mengemuka seperti sekarang.

Memang penolakan oleh Poros Islam terhadap Ahok masih bisa diperdebatkan. Bahwa tidak semua umat Islam bersikap menolak. Poros Islam itu lebih dilabelkan sebagai sebuah pembeda, penamaan sebuah kelompok di antara sebuah kelompok-kelompok yang besar.

Karena buktinya, empat partai yang mendukung Ahok untuk maju dalam Pilkada 2017, dipimpin oleh politisi yang semuanya beragama Islam.

Megawati Soekarnoputri (PDIP), Setyo Novanto (Golkar), Surya Paloh (Nasdem) dan Wiranto (Hanura) – mereka semua pemeluk Islam.

Tulisan ini tidak akan membahas, patut tidaknya Ahok menjadi Gubernur DKI kembali.

Melainkan untuk menegaskan, penolakan oleh Poros Islam terhadap Ahok sejatinya juga eksis di kalangan lainnya. Kalau kalangan lainnya itu bisa disebut sebagai poros, demi sebuah pembeda, maka sebutlah ada Poros Non-Islam ataupun Poros Nasionalis.

Hanya saja yang membedakannya, Poros Non-Islam maupun Poros Nasionalis ini, tidak secara formal membuat semacam aksi. Mereka lebih condong sebagai kekuatan mayoritas yang diam atau “the silent majority”.

Perbedaan lain, juga terletak pada pemilihan tema dan cara berargumentasi. Poros non-Islam dan Nasionalis terkesan lebih berhati-hati. Poros ini tidak agresif dan vokal.

Sehingga seolah-olah tidak ada poros lain yang menolak Ahok, kecuali Poros Islam.

Padahal kalau percakapan di ranah terbatas yang dijadikan ukuran, poros ini memiliki kesamaan aspirasi dengan Poros Islam. Yaitu tidak ingin Jakarta dipimpin oleh Ahok. Tidak ingin sang Petahana terpilih atau dipilih kermbali.

Dan yang dijadikan alasan utama adalah karakter dan kepribadian. Ahok merupakan sosok yang tidak menerminkan pemimpin yang bisa jadi panutan.

Tutur kata Ahok, manakala sudah berdebat ataupun berdialog, kasar dan penuh kata-kata yang tidak diajarkan di sekolah. Kepribadian yang meledak-ledak, emosi dan hanya mau dia yang benar atau dibenarkan, merupakan alasan-alasan ketidaksukaan kepada Ahok.

Ahok disamakan dengan seorang anak pintar yang tidak pernah belajar atau diajari soal ahlak dan sopan santun serta tata krama.

Dan yang lebih parah lagi, ketika Ahok dikutip mengatakan: “Tuhan pun akan saya lawan, kalau Dia salah”.

Ucapan ini tidak hanya mengejutkam bagi Poros Islam, tapi termasuk yang Non Islam. Atau mereka yang menempatkan Tuhan tertinggi di atas segala-galannya. Poros ini meragukan Ahok sebagai orang beragama dan percaya akan adanya Tuhan.

“Jangan-jangan Ahok orang yang tidak beragama. Hanya karena semua orang Indonesia harus mengaku beragama, maka di KTPnya ditulis dia beragama”, sindir seorang Jemaat Kristen dalam sebuah postingan di media sosial.

“Kalau dia benar beragama Kristen, setiap tindakan dan kata-katanya seharusnya mencerminkan sikap dan bahasa kasih”.

Sekitar tiga bulan lalu, saya sendiri pernah membalas postingan di “WAG Peduli Negara 1”. Saat itu ceritera Ahok akan menjadi calon Gubernur di Pilkada 2017, sudah ramai dibicarakan.

Isi postingan saya, menggambarkan kekhawatiran seorang minoritas terhadap alasan-alasan penolakan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dimana unsur agama dan etnis Ahok, demikian menonjol.

Unsur etnis dikaitkan dengan rumor bahwa yang berada dibalik pencalonan Ahok adalah para konglomerat Tionghoa.

“Wah kalau sekarang warga seperti Ahok yang punya persoalan minoritas ganda – double minority complex yang diserang, gilirian berikutnya akan jatuh ke saya. Ahok Kristen keturunan Tionghoa, saya Kristen keturunan Manado”.

Di luar dugaan, reaksi para sahabat di media sosial terebut, cukup positif. Dalam arti, mereka memahami kegundahan orang minoritas di negara ini.

Artinya ada pemahaman yang jelas, anggota kelompok minoritas, secara tidak disengaja terimbas oleh prilaku Ahok.
Dan kegundahan saya dianggap cukup mewakili perasaan yang punya “double minority complex”.

Untuk sementara waktu, saya puas dan merasa nyaman dengan pemahaman yang ada. Tapi boleh jadi keluhan saya itu dipahami, sebab para anggota “WAG PN 1” tergolong warga Indonesia yang berwawasan luas.

Di “WAG PN 1” tersebut antara lain ada Irjen purnawirawan polisi Taufiek Ruki, mantan Ketua KPK, Fahmi Idris, tokoh Angkatan 66 yang dua kali menjadi Menteri, Hatta Taliwang aktifis, mantan anggota DPR-RI sekaligus pendiri Partai Amanat Nasional, Ali Hardi Kiaidemak, tokoh PPP keturunan Jawa-Tondano, Bursah Zarnubi pendiri Partai Bintang Reformasi, pecahan PPP, Ketua Umum PBB MS Kaban ataupun Syahganda Nainggolan intelektual muda dari Poros Islam.

Sesungguhnya yang paling saya khawatirkan, SARA sebagai sebuah isu yang paling sensitif, bila gagal rawat dapat berakibat fatal.

Walaupun isu itu hanya atau baru berada di Jakarta, tapi mengingat kecepatan teknologi informasi yang mendukung penyebaran informasi melalui media sosial, imbasnya bisa ke seluruh wilayah Indonesia.

Karena faktanya tidak semua informasi yang menyebar daan tersebar lewat media sosial, dipahami sesuai substansinya.
Tidak jarang pemahaman terhadap sebuah isu bertolak belakang dari makna yang seharusnya.

Jadi isu SARA dari ibukota Jakarta dan membahas soal kepemimpinan Jakarta ini, memiliki potensi konflik yang berbahaya.

Soalnya Jakarta sebagai ibukota RI menjadi barometer untuk segala masalah bangsa. SARA yang membonceng pada Ahok, bisa meniru pengalaman Yugoslavia.

Negara di Teluk Balkan ini, seperti halnya Indonesia memiliki persoalan dalam kemajemukan. Siapa yang bisa merawat kemajemukan itu, sama dengan bisa mempersatukan bangsa. Dan itulah yang dilakukan Josef Bros Tito.

Namun sepeninggal Tito, sahabat baik proklamator RI Soekarno, kemajemukan Yugoslavia buyar.

Karena ketiadaan tokoh pemersatu, dalam waktu singkat sejak tahun 1990an awal, Yugoslavia terpecah. Mula-mula dua etnik memisahkan diri. Akhirnya sampai tahun 2008 menjadi 6 negara merdeka. Masing-masing dengan identitas etnis dan agama. Yaitu Slovania, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Serbia, Kosovo, Montenegro dan Makedonia.

Dan peluang menjadi 8 negara masih terbuka. Kosovo masih bisa melahirkan dua negara baru.

Isu SARA di Yugoslavia, berembus pertama kali di Beograd, ibukota negara tersebut. Kemudian menyebar dengan cepat.

Dunia internasional lewat PBB bukan tak berusaha mencegah perpecahan Yugoslavia. Mengingat korban yang berjatuhan kebanyakan manusia-manusia yang a-politik, tidak paham politik atau hanya ikut-ikutan.

Tapi apa yang bisa dibuat oleh PBB ? Nihil

Karena itu saya berharap Pilkada DKI atau Pilkada Serentak yang akan melahirkan pengelompokan tidak berkembang liar. Tidak melahirkan perpecahan individu yang bisa berakhir dengan perpecahan yang lebih besar.

Ahok pun harus bisa membuang karakter buruknya.
Kalau mau dihormati sebagai pemimpin, berilah penghormatan terlebih dahulu kepada yang memberimu kehormatan. ***

CATATAN TENGAH, Rabu 21 September 2016

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.