Menjadi Indonesia adalah bukti bahwa kita harus sadar pada kesadaran yang hakiki. Berbeda pandangan adalah ungkapan idealisme yang wajar. Dan manusia memang harus beda satu sama lainnya. Tuhan menciptakan berbeda-beda, sederhana perbedaan itu bukan dari apapun namun bisa dilihat dari sidik jari. Tuhan menciptakan manusia kembar pasti sidik jarinya berbeda. Apalagi soal idealisme perbedaan adalah soal keyakinan dalam tatanan politik.
Namun jika kita lihat bangsa ini, ada sejarah kuat bahwa “Tiga Serangkai” yang kuat dan julukan sebuah perkumpulan atau kelompok yang beranggotakan tiga orang. Tiga Serangkai jika merujuk pada sejarahnya adalah pelopor nasionalisme Indonesia, kita tidak bisa lupakan apa yang telah mereka lakukan. Adalah E.F.E. Douwes Dekker (Ernest Douwes Dekker), Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda, mereka ini disebut sebagai tiga serangkai.
Nama Tiga Serangkai lainnya adalah pelopor Republik Indonesia, Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir yang merupakan tiga pemimpin kunci pertama Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945.
Sejatinya Tiga Serangkai adalah sebuah fondasi bangsa yang sangat kuat dan patut kita ingat selalu. Saya melihat dalam tiga tokoh segitiga saat ini yang sedang mumpuni tidak ada rasa “tiga serangkai”.
Nama Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo, namanya cemerlang dalam politik bangsa Indonsia saat ini. Namun jauh panggang dari api jika disebut tiga serangkai untuk bangsa ini.
Memang jika jaman baheula itu perjuangan dengan melawan kolonial sehingga bangsa ini bersatu-padu. Dan kekuatan politik menyatu untuk tujuan anti kolonial. Tapi kenapa saat ini, seperti tak ada rasa yang tajam mencium serangan kolonial gaya baru berjubah kapitalis dengan gaya rusa berbulu domba?
Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Prabowo tokoh bangsa saat ini punya kekuatan yang masing-masing punya masa. Sehingga, dua diantaranya pernah jadi presiden, dan yang satu belum atau gagal jadi presiden pada 2014, semoga tahun 2019 kalau masih minat silakan bertarung kembali.
Tulisan ini bukan ingin bahas pilres memang namun membaca peta pilkada Jakarta yang penuh adu catur dalam dinamika yang cepat adalah cermin politik Indonesia.
Pada pilkada Jakarta ada pasangan yang dulunya anti partai karena sering menyebut partai pasti minta mahar dan ingin maju independen karena sudah punya KTP sejuta yang tanpa bukti, ada juga yang dulunya suka menyerang bahwa tak ada karakter dalam pemimpin dalam dirinya, namun sekarang jadi mencalonkan diri di tokoh yang diserang itu. Lalu ada anak mantan presiden yang masih tentara bahkan sedang dinas di Darwin Australia disuruh pulang dan dijadikan calon agar bertarung untuk kursi Jakarta Satu.
Semua yang mencalonkan adalah tiga tokoh besar ini. Inilah perang segitiga tidak dari ideologi partai mereka, tanpa mengesampingkan partai koalisi yang mendukung masing-masing. Tentu ini pertarungan segitiga bukan pertarungan tiga serangkai. Karena tak ada rasa tiga serangkai dalam tokoh ini saat ini.
Maka saya jelaskan di sini juga sekali lagi bahwa ini adalah bukan tiga serangkai untuk bangun bangsa yang nota bene Jakarta adalah parameter ibukota, namun ini adalah perang segitiga kekuatan tiga tokoh pemilik partai yang sedang beradu catur untuk Jakarta satu yang mimpinya adalah menjadikan peta 2019 sudah bisa terbaca lawan pertarungan nanti.
Kita lihat saja apa yang terjadi saat pilkada 15 Februari 2017 nanti, namun sekali lagi tiga tokoh tanpa serangkai ini masing-masing punya ambisi bahwa inilah tarung masing-masing dan ingin memperlihatkan siapa yang unggul.
Padahal ada banyak yang berteriak di belakangnya. Ada siapa ya..atau ada bandarnya juga yang memainkan ini sehingga perang segitiga ini dirawat dan dijadikan mainan catur yang awet makanya Indonesia sampai sekarang memang jadi mainan.
Semoga saja pandangan ini salah. Dan Jika benar memang sudah tidak ada lagi tiga serangkai itu yang bisa merekatkan kita sebagai bangsa namun kebutuhan kini ternyata hanya untuk pribadi saja bukan untuk bangsa, dan hanya sejarahlah yang mencatat tiga serangkai itu ada.***
AENDRA MEDITA KARTADIPURA Pemimpin Redaksi Pribuminews.co.id