Seorang Prajurit bisa pensiun, namun sebagai pejuang tidak akan pernah mengalami pensiun dalam mengabdikan dirinya bagi kepentingan bangsa dan negara.
Begitulah sepenggal kalimat yang pernah diucapkan oleh Jenderal (Anumerta) Oerip Soemahardjo pada masa Revolusi Nasional. Jenderal Oerip Soemohardjo lahir 22 Februari 1893 dan meninggal 17 November 1948 pada usia 55 tahun, dia adalah seorang Jenderal dan Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia pertama pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara.
Mengapa penulis mengangkat penggalan kalimat tersebut saat ini? Adalah kaitannya dengan Agus H Yudhoyono sebagai prajurit yang kemudian pensiun dan mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta yang didukung oleh koalisi Partai Demokrat, PPP, PKB dan PAN.
Tulisan diatas adalah diangkat dari artikel PRAJURIT PEJUANG DAN PENGABDIAN TANPA AKHIR yang ditulis Anoman Obong.
Menjadi menarik karena ini tulisan ditujukan buat enelitti LII yang kini sudah rf. Ikran Nusa Bhakti, yang mencibir Agus Harimurti maju menjadi Cagub DKI 2017 sebagai anak ingusan. Pangkat terakhir putra Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang masih mayor itu dianggap belum pantas bertarung memperebutkan kursi DKI 1.
Ikrar pun balik dikritik kurang rujukan saat berpendapat. Satu referensi sejarah terkenal dunia menyebutkan Napoleon Bonaparte saat mulai menguasai Eropa usianya belum genap 30 tahun.
“Napoleon saat menaklukan Eropa usianya belum mencapai 30 tahun, dan pangkatnya itu masih Letnan Dua,” kata Pengamat Universitas Paramadina, Hendri Satrio, dilaman Rimanews terkait pernyataan Ikrar, hari ini.
Menurut Hendri, apa yang disampaikan Ikrar itu tidak menggambarkan sosoknya sebagai intelektual. Ikrar seharusnya tidak tendesius dalam menyampaikan pandangan, apalagi sampai mencibir dan menyerang sosok tertentu.
Akhir pekan lalu, Ikrar mengkritik level putra sulung SBY itu di politik maupun kemiliteran masih minim. “Buat saya ngaco aja sih. Dia mau jadi panutan. Panutan apa anak masih ingusan gitu?” ujar Ikrar di Jakarta, Jumat (23/9).
Menurut dia, selama ini gubernur DKI yang berlatar militer selalu berpangkat letnan jenderal. Misalnya, Ali Sadikin, Tjokropranolo, hingga Sutiyoso, sedangkan pangkat terakhir Agus mayor. “Apa warga Jakarta memercayai pengelolaan Jakarta dengan seorang yang masih berpangkat mayor?” ulasnya.
Lebih jauh, Hendri pun menganjurkan agar Ikrar mengenal lebih dekat sosok Agus terlebih dahulu sehingga analisanya ke depan tentang sosok cagub DKI itu bisa bersifat lebih subyektif. “Mas Ikrar kan belum kenal Mas Agus, kalau kenal dekat mungkin lain,” tutup dia.
Pelacur Intelektual
Eks kader Demokrat Gede Pasek Suardika bahkan mengkritik Ikrar telah melacurkan kemampuan intelektualnya demi kepentingan politik praktis. “Banyak pengamat sebenarnya berposisi sebagai tim sukses tersamar. Tugasnya galang opini sayang terkesan intelektualnya dilacurkan,” kicau dia, di akun Twitternya, Sabtu (24/9) lalu.
Meski kerab berseberangan dengan SBY, Gede mengaku Agus memiliki kemampuan intelektual tinggi di atas rata-rata. Terlebih segala prestasi yang dicapai Agus di militer menjadi buktinya.
“Di usia sudah di atas 30 tahun dan jelang 40 tahun, peraih Adhi Makayasa dianggap ingusan? Sebuah arogansi intelektual Timses yang lepas kontrol,” imbuh anggota DPD RI itu.
Senator asal Bali itu juga mengingatkan Ikrar pendidikan yang dijalani Agus selama ini tidak bisa dianggap sebelah mata. Pendidikan militer di Indonesia sampai ke Amerika pun juga tidak bisa bisa dianggap sebelah mata.
“Menyatakan anak ingusan sama dengan menghina sistem di TNI, sama dengan menghina sekolah Nanyang University dan Harvards tempat Mas Agus dididik,” tandas dia.
Apa Salahnya Pemimpin Muda?
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Didik Mukrianto, heran pengamat sekelas Ikrar masih mempersoalkan usia Agus. Padahal, sejarah mencatat selama ini pergerakan dan perubahan di Indonesia di mulai dari kaum muda.
“Saya heran saja, yang dikritik kok usia Mas Agus. Yang mengkritik ini saya rasa tidak memahami ke Indonesiaan dan belum merasa merdeka,” kata dia, di Jakarta, hari ini.
Sumpah Pemuda yang mempersatukan Indonesia untuk merdeka berawal dari Kebangkitan Nasional pada era 1920-an, tidak lepas dari peran pemuda bernama Budi Utomo. Dua proklamator RI, Bung Karno dan Bung Hatta juga masih berusia muda ketika menjadi motor perjuangan Indonesia.
“Lantas di mana salahnya menjadi pemimpin di usia muda?” tanya Sekretaris Fraksi Partai Demokrat itu menyindir balik pernyataan Ikrar.
Didik pun menambahkan Agus memiliki segudang prestasi baik di dinas kemiliteran maupun prestasi akademik nonmiliter di usianya yang baru 38 tahun. “Jadi jangan mendeskreditkan Mas Agus karena usianya yang muda. Sangat picik kalau cara pandangnya seperti itu,” tegas dia.
Hina Agus Sakiti Keluarga TNI
Pernyataan Ikrar ternyata membuat geram organisasi massa pendukung SBY saat menjadi presiden. Aliansi Rakyat Untuk SBY (ARUS) yang beranggotakan anak-anak pensiunan tentara ini menganggap perkataan yang terlontar dari mulut Ikrar telah menyakiti keluarga TNI. “Perkataan provokatif, tendesius dan tidak objektif,” kata Koordinator ARUS Akhmad Suhaimi di Jakarta, Minggu (25/09/2016).
Menurut Suhaimi, tidak ada tentara Indonesia yang pantas disebut ingusan. Sebab, semua personel TNI adalah tentara hebat, andal, dan siap dipimpin maupun dipimpin siapa saja, kapan saja dan di mana saja. “Tentara Indoensia siap ditugaskan di medan perang atau di pemerintahan, semata-mata demi pengabdian pada nusa dan bangsa,” ujarnya.
Suhaimi berencana melaporkan Ikrar ke Mabes Polri dengan jerat pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Kami akan melaporkan Ikrar ke Mabes Polri hari ini dengan pasal ITE,” tukasnya.
Agus H Yudhoyono adalah prajurit aktif yang memilih mengabdikan diri bagi bangsa dan negaranya diluar TNI. Pensiun sebagai prajurit tapi tidaklah pensiun sebagai pejuang, karena pencalonan Agus HY sebagai cagub DKI adalah bagian dari perjuangan di ranah supremasi sipil dan ranah demokrasi serta politik yang diharamkan dilingkungan TNI. TNI tidak boleh berpolitik, itu adalah amanat UU TNI. Maka pilihan pensiun sebagai prajurit menjadi jalan juang merebut Jakarta yang saat ini kondisinya sangat tidak kondusif dalam hubungan pemimpin dengan rakyatnya.
Jakarta kini berada dalam situasi tidak berperi kemanusiaan, terancam terbelah persatuannya, Jakarta jauh dari musyawarah kekeluargaan untuk kebijaksanaan, Jakarta tidak berkeadilan sosial, maka Jakarta harus diselamatkan dengan merebutnya dari tangan kedzoliman.
Pilihan pengabdian dalam politik bukanlah pilihan manis bagai madu bagi seorang prajurit perwira aktif, tapi ini adalah pilihan jalan juang yang pahit tapi harus ditempuh demi kehormatan harga diri bangsa.
Pengabdian seorang pejuang yang tidak mudah karena jalan terjal ini penuh batu dan jalan berlobang.
Agus HY kemudian rela berkorban dan keluar dari zona nyaman sebagai perwira muda yang masa depannya di TNI hampir dipastikan gemilang akan mencapai puncak karir tertinggi di TNI
Namun Agus HY sebagai prajurit pejuang keluar dari zona nyaman itu dan memilih jalan terjal demi pengabdian lebih besar kepada negerinya yang terancam penjajahan baru kepentingan bangsa asing.
Pengabdian tanpa akhir seorang prajurit pejuang adalah berani keluar dari zona nyaman, keluar dari impian gemilang dan memilih mengabdikan diri dengan mengorbankan sesuatu yang tidak kecil. Prajurit pejuang yang tidak pernah meninggalkan Sapta Marga dan Pancasila. Agus HY sedang memilih jalan juang merah putih menuju kedaulatan bangsa, jalan juang merebut Jakarta dan bangsa dari tangan kedzoliman.
Dengan demikian, apabila masih ada yang merasa pilihan Agus HY tidak benar, maka perlu lagi belajar tentang Prajurit Pejuang seperti kata Jenderal Oerip Soemardjo, kata Anoman Obong.
Pandangan Dr. Syahganda Nainggolan, alumni ITB dengan judul Orang Orang Harvard: Catatan buat Agus Harimurti menarik dan ini bagian dari cara pandang juga, silakan simat tulisan Syahganda Nainggolan berikut
Tahun lalu, Luhut Binsar Panjaitan, Kepala Staf Presiden Republik Indonesia, mengumumkan Istana akan diisi oleh orang2 Harvard. Akbar Faisal, Timses Jokowi dan anggota dpr dari Hanura marah, dia membuat surat terbuka. Kenapa harus orang2 Harvard?, kritiknya. Luhut tetap merekrut alumni Harvard. Dia yakin akan hal itu.
Saya minder dengan langkah pak Luhut ini. Mengapa? Saya hanyalah anak desa, yang hanya mampu menggapai kampus ITB. Itupun di luar mimpi saya. Ketika saya mengunjungi Harvard University, 1995, saya baru terasa kerdil, bahwa ada "langit di atas langit". Harvard terlalu tinggi buat saya. Saya hanya memegang sepatu patung Harvard, berdoa, agar ada keturunan saya mampu ke sana. Selebihnya bermain catur di Harvard Square, tempat catur taruhan 5 dollar.
Sejak reformasi berlangsung dengan suasana pemulihan ekonomi, wajah wajah baru berambut klimis dan rapi menghiasi dunia kehidupan profesional mereka. Mereka adalah alumni alumni Amerika dan Eropa, yang masuk bersamaan dengan perusahaan2 keuangan dan pembiayaan kelas dunia. Lincah, gagah, smart dan pintar berdiplomasi menjadi ciri khas mereka. Mereka akhirnya menguasai lapisan elit profesional dan lulusan alumni terbaik lokal, menjadi pembantu mereka.
Banyaknya alumni eropa, Amerika dan Australia, sudah kita saksikan saat ini. Tapi kenapa Luhut Panjaitan hanya menyebut Harvard atau orang2 Harvard? Tentu hal ini tidak lepas dari nama Harvard sebagai kampus tehebat didunia atau setidaknya terhebat bersama beberapa kampus lainnya, seperti Oxford university, Massachusetts Institute of Technology, Nanyang University, dan lainnya di sepuluh besar versi QS, THE, Webranking dll.
Luhut Panjaitan tentu punya pertimbangan merekrut orang orang Harvard. Bisa jadi karena orang2 Harvard adalah orang orang kelas satu di dunia. Sehingga diplomasi internasional pemerintah dapat sejajar dengan negara negara maju. Atau pemerintah dapat mencari akses dari alumni Harvard, yang saat ini menjadi elit negara terbesar dunia, Amerika.
Termasuk Obama, Bill Gate dan pemilik Facebook Zuckenburg
Sampai saat ini Indonesia hanya berhasil memasukkan beberapa orang saja ke Harvard, setiap tahunnya. Gita Wiryawan, 2013, mengatakan hanya 5 orang saja. Sedang Cina dan India sudah berhasil mengirim ribuan.
Sejauh ini orang orang Harvard pun hanya beberapa di elit nasional kita. Selain yang direkrut Luhut Panjaitan ke Istana, Jokowi juga merekrut Tim Lembong sebagai menteri perdagangan, lalu mutasi ke kepala BKPM. Di masa SBY hanya satu orang Harvard, yakni Gita Wiryawan.
Namun, saat ini dalam pemilu kada DKI, ada satu orang Harvard, yakni Agus Harimurthi. Ini adalah keuntungan besar buat warga Jakarta. Seorang alumni universitas terbaik dunia, ikut bertarung dalam menyumbangkan kebaikan dirinya pada warga Jakarta.
Tentu saja hal diatas semua soal background pendidikan, namun kita harus melihat lagi karakter seseorang. Apakah dia menjadi kebarat baratan, setelah sekolah di Amerika, atau justru sebaliknya semakin kuat ke Indonesia nya. Persis seperti masa Bung Hatta, Dr. SYAHRIR dkk sebelum merdeka. Mereka pulang dari sekolah di Belanda dengan jatidiri yang lebih kuat. Welcome orang orang Harvard, welcome Agus Harimurti. |HANG/PRB