PRIBUMI – “Bara api yang hampir padam itu dinyalakan lagi oleh KPK,” demikian petikan obrolan warung kopi ketika riuh menanggapi janji Komisi Anti Korupsi (KPK) untuk menindaklanjuti diskresi yang digunakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas pelaksanaan reklamasi oleh pengembang.
Kata “padam” memang begitu mencerminkan bagaimana posisi kasus reklamasi yang semakin hari, semakin mencorong kepada korupsi yang dimainkan Mohamad Sanusi yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Komisi D di DPRD DKI Jakarta bersama dengan konglomerat pelaksana reklamasi. Publik seakan dilupakan dengan penggunaan diskresi yang dilakukan Ahok sebagai dasar pelaksanaan reklamasi yang dilakukan sejumlah pengembang properti nomor wahid di negeri ini.
Belum lama publik cukup dihebohkan dengan kabar langsung dari KPK yang mulai mengungkit lagi dan janji untuk menelusuri penggunaan diskresi Ahok. Terakhir, persoalan tersebut pun mencat dalam diskusi “Kebijakan Reklamasi: Menilik, Tujuan, Manfaat, dan Efeknya di Jakarta”. Diskusi itu pun dilangsungkan di KPK dengan menghadirkan banyak tokoh penting seperti mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
Disitu Bambang Widjojanto menyebutkan dengan gamblang bawa diskresi yang dilakukan Ahok bisa terjerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang selalu disebut Ahok sebagai landasannya melakukan diskresi, termaktub bahwa diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.”Tapi, diskresi tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya,” kata BW sapaan karibnya.
Di lokasi yang sama, Laode menyebutkan bahwa jajarannya masih akan menindaklanjuti dasar diskresi yang dilakukan Ahok, hingga munculnya kebijakan kontribusi tambahan sebagai kompensasi pengembang atas pelaksanaan reklamasi.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa kasus ini masih terus diteliti.”Itu yang Pak Agus (Agus Rahardjo) katakan bahwa itu akan diteliti oleh tim kita, nanti akan kita teliti juga. Ahli-ahli tentang keuangan itu kan belum diatur secara jelas diaturan perundang undangan,” terang Laode.
“Itu yang KPK akan pelajari dulu. Semua kasus yang berhubungan dengan reklamasi itu kalau misalnya dapat bukti bukti yang cukup itu bisa menjerat pihak lain selain Sanusi pasti akan dikembangkan. Tapi untuk sekarang diteliti itu yang berhubungan kasus Sanusi itu,” katanya lagi.
Kabar dari KPK yang kembali menggaungkan lagi janji menelusuri kebijakan diskresi sontak membuat ramai Balai Kota Jakarta, lokasi berkantornya Ahok pagi ini. Dia menjelaskan panjang lebar soal kebijakannya melakukan diskresi. Menurutnya, jauh saat dia masih duduk di Komisi II DPR RI banyak langkah yang akan dilakukan pemerintah daerah, namun mandek lantaran terbentur dengan ketiadaan aturan.
Ahok mengklaim menjadi salah satu inisiator terbentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014. Hingga pada akhirnya beleid tersebut sah terbit pada tahun 2014, ketika dirinya baru naik pangkat menjadi Gubernur selepas Jokowi pindah kantor ke Istana Negara.”Disitu disebutin apa itu diskresi, jelas sekali kok,” ungkap Ahok, hari ini.
Aturan nomor 30 Tahun 2014 itu juga, kata Ahok, yang menjamin dirinya menentukan angka kontribusi tambahan 15 persen untuk setiap nilai petak pulau yang bisa dijual (sealable area). Berdasarkan beleid itu juga disebutkan dengan jelas mengenai diskresi yang boleh dan yang tidak.”Yang tidak boleh apa? Diskresi yang menguntungkan kita. Tapi kalau diskresi yang menguntungkan Pemda ada kekosongan hukum justru
Kepal Daerah didorong diskresi,” terang Ahok.
Meski demikian, mantan komisioner KPK Bambang Widjojanto dalam diskusi di KPK beberapa waktu lalu mengatakan, ada indikasi proyek reklamasi tidak mungkin menciptakan keadilan ekonomi. Proyek ekonomi bisnis yang melibatkan konglomerasi ini justru hendak menjauhkan masyarakat pesisir, seperti nelayan tradisional, pelaku pembudidayaan ikan, dan buruh nelayan, yang jumlahnya 24 ribu, dari habitat mereka. Ini karena ada rencana mereka hendak dipindahkan ke Kepulauan Seribu. Proyek ini bisa menambahkan kemiskinan di sana.
Hari ini penduduk miskin di Kepulauan Seribu paling tinggi persentasenya, atau 25 persen dari 373.613 jiwa orang miskin di DKI Jakarta dengan rerata indeks kemiskinan sebesar 0,824 atau lebih tinggi dari DKI Jakarta 0,514.
Dalam proyek reklamasi Teluk Jakarta ini, lebih jauh Bambang menyebutkan ada keangkuhan kekuasaan yang menantang putusan pengadilan yang telah memutuskan menunda dulu proses reklamasi. Ada juga tindakan korupsi yang tengah diperiksa pengadilan yang berkaitan dengan reklamasi. Lebih jauh lagi, nelayan di sebagian pesisir pantai utara Jakarta yang berdekatan dengan wilayah reklamasi kian sulit mengakses laut dan pantainya yang berpuluh-puluh tahun menghidupi keluarga mereka dengan segala kekurangannya.
“Semuanya ini membuat miris. Seluruh kebijakan dan salah kaprah di atas seharusnya dapat disebut sebagai tindakan koruptif,” papar Bambang.
Aroma Barter Reklamasi dengan Penggusuran Kalijodo
Pertengahan Mei lalu publik dikejutkan dengan data berantai berisi rentetan proyek PT. Muara Wisesa anak usaha Agung Podomoro senilai Rp 392,6 miliar. Nilai itu tercatat untuk mengerjakan 13 proyek Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai kewajiban tambahan atas pelaksanaan reklamasi.
Dalam pemberitaan Tempo total biaya yang dikeluarkan Rp 218,7 miliar. Sedangkan jenis pekerjaan yang digarap, antara lain pembangunan dan pengadaan mebel rumah susun sederhana sewa di Daan Mogot, Jakarta Barat, pengadaan rumah pompa dan Fasilitasnya, serta penertiban kawasan prostitusi Kalijodo.
Ahok dinilai menyimpang karena telah serampangan menerima kontribusi tambahan dari pengembang. Pasalnya, ketentuan ini baru akan dimasukan dalam salah satu klausul Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Pantai Utara Jakarta. Sedangkan pembahasan aturan tersebut alot di meja DPRD DKI Jakarta. Legislator di DKI meminta kontribusi tambahan yang diusulkan Ahok sebanyak 15 persen dihapus, atau paling itak diturunkan sampai 5 persen. Kondisi tersebut pun tak sampai mufakat hingga KPK menangkap salah satu anggota dewan dari Fraksi Partai Gerindra, Mohamad Sanusi.
Ketika itu pun Ahok sempat meradang. Dia tidak terima apa yang dilakukannya dalam menjalankan roda pembangunan Jakarta merupakan hasil dari barter dengan pengusaha reklamasi. Dengan gamblang Ahok menyebutkan bahwa data senilai Rp 392,6 miliar itu fitnah.
“KPK juga tidak mengakui, saya dipanggil KPK juga tidak ada, tapi Tempo tetap ngotot itu diambil dari sumber yang dipercaya, yang harus dilindungi. Kira-kira begitu kan? Terus, saya tukar menghilangkan 15 persen. Itu bukan barter namanya. Kalau itu dilakukan barter pun saya goblok amat, ini pulau Rp 1 triliunan kok, masa tukar hanya Rp 300 miliar. Itu saja sebagai dasarnya,” ungkap Ahok. |RMN