Sejarah Buruk Pilkada
Oleh Aendra Medita*)
Politik adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. – Aristoteles
Kalimat diatas saya suka dan ini menarik jika dikorelasikan pada kekinian di negeri kita. Bahwa dasar Politik berasal dari bahasa Yunani kita sudah tahu semua, yaitu asalnya kata polis yang bermakna Negara kota. Dalam etimologi teks politik masih berhubungan erat dengan kata politis yang berarti hal yang berhubungan dengan politik. Jika orang yang terlibat dalam dunia ini maka dia disebut politisi.
Indonesia kini banyak politisi, kasat matanya mereka yang ada di parlemen atau bahkan yang sedang menjabat kepala daerah, menteri atau di sejumlah partai.
Dalam sejarahnya politik saat ini di Indonesia menjadi menarik sebagai pembelajaran. Saya sedang melihat kasus besar pilkada 2017. Banyak bermunculan tokoh muda yang masuk dalam ranah politik, hanya ikut-ikutan atau sekadar penggembira, saya tak tahu, yang jelas begitu menjamurnya ini menarik dalam konteks kajian. Kami di PKKI dan tim sedang melihat ini sebagai sebuah kajian besar dalam tatanan demokrasi kita.
Sejarah baru diciptakan dalam kondsi ini, begitu kata Gede Soekawati analis PKKPI yang sedang ambil Doktor Politik Komunikasi di Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung. Gede menilai bahwa politik kita sedang berkembang dan kekuatannya ada di media komunikasi, katanya.
“Kalau dilihat cakupannya media berperan kuat dan abuse power menjadi penentu saat ini, meski ini juga bagian yang harus dibedah lagi,” kata Gede.
Kisah ini semua muncul dalam FGD PKKPI dimana menyoroti politik dan sejarah buruknya pilkada saat ini. PKKPI adalah pusat kajian komunikasi politik dan konsen melihat kondisi negeri. Sejak lahirnya kami melakukan riset dan diskusi. Kini kami melihat ada sejarah buruk politik dalam pilkada yang mana salah kaprah arah politik dalam kondisi kampanye damai.
Dimana kampanye damai hanya sekadar seremonial KPU dan ini menjadi basi bahkan tak nyata adanya saat aktualisasi di lapangan saat kampanye.
Saling serang lawan dan juga buruknya dialog politik menjadi pemantik masalah, bahkan kondisi salah serang dari tim sukses menjadikan politik pilkada ini blunder. Politik makin tak tentu arah lagi saat ini seperti bagian yang hanya caci-maki dan adu kekuatan sehingga tak ada pembelajaran, sikap politik yang santun mestinya berjalan harmoni. Media sosial ajang saling serang dimanfaatkan, media bahkan kini banyak yang tidak independen, dan cenderung berpihak bahkan kompromistis, meski tidak semua.
Pilkada serentak volume dua ini harus belajar lagi dan kita berharap damai adanya. Gaduh memang ada dalam segala elemen, namun kali ini adanya salah arah melihat. Lebih parah lagi petinggi yang mengusung mulai kelihatan akan membela siapa para calon ini yang jadi jagoannya.
Keberpihakan nyata tak masalah, jika sikapnya jelas, tapi jika diduga kepala negara berpihak ini akan bahaya. Lalu ada juga yang terjadi karena tidak diajak naik kuda dan bikin statement secara terbuka dan ini menjadi heboh.
Kita belajar lagi, kita lagi mencoba menjadi demokrasi lagi. Urusan hukum adalah bagian penegakan demokrasi, dan politik bagian benang kuat demokrasi. Hukum proses-lah dengan hukum. Dan politik bangun-lah dengan satu kekuatan kepercayaan yang kembalinya akan menguntungkan publik secara hakiki, jangan cederai demokrasi dengan politik busuk.
Saya tidak melihat ada kaitan soal penistaan agama dan Pilkada. Saya melihat penistaan agama urusan hukum. Karena dilakukan oleh seorang pejabat negara, yang tidak ada angin hujan menuduh-nuduh Al’Quran dalam surat Al Maidah 51, silakan proses dengan hukum, jangan disambung-sambung soal politik pilkada, ini terlalu lebar.
Hukum harus ditegakkan dan kita setuju itu. Urusan pilkada adalah bagaimana sikap warga menjadi bagian yang bisa disatukan dimana warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, kata yang saya kutip di atas dari Aristoteles jelas. Jika saja ini tak terwujud maka selamat tinggal demokrasi, dan yang ada adalah ketimpangan tak berujung.
Kasus kontestan yang dievakuasi dan masuk ke angkutan umum itu jelas satu keanehan dan sejarah buruk dalam Pilkada. Dalam sejarah di pilkada mungkin baru kali ini ada kandidat diusir para calon pemilihnya, dalam hal ini warga.
Tapi apakah ini jadi preseden buruk? Kita harus belajar kembali makna demokrasi sebenarnya. Akhirnya saya melihat bahwa politik kita tercederai dari apa yang sebenarnya yang dikatakan tidak sehatnya politik akibat dari lemahnya politik cerdas dan santun. Apa ini Sejarah Buruk Pilkada?
*) Analis Pusat Kajian Komunikasi Poltik Indonesia (PKKPI)