MENCARI PEMBENARAN ATAS KESALAHAN, MENAMBAH LAWAN DARI KAWANOleh : Ferdinand Hutahaean
Tulisan kali ini mencoba menuangkan sebuah analisis kedalam alam rasionalitas tentang situasi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berjalan menuju rapuhnya kekuasaan presiden
Situasi belakangan ini yang terjadi tentu membuat kita semakin bertanya-tanya, kira-kira akan kemanakah bangsa ini melangkah dan apakah yang akan terjadi 2 atau 3 bulan kedepan? Semua bertanya, semua menjawab, meski beragam jawaban namun banyak yang menjawab tentang rapuhnya rejim Jokowi dan kemungkinan tidak bertahannya pemerintahan ini hingga akhir periode jabatan 5 tahunan presiden. Kita semua tentu tidak pernah berharap ada presiden yang harus berakhir ditengah jalan, kita semua tentu berharap presiden memimpin dengan baik dan berpihak pada rakyat dan pada negara. Tapi apakah kemudian menjadi salah jika banyak pihak yang berharap seorang presiden jatuh ditengah jalan karena buruknya pemerintahan? Tentu tidak salah juga meski kita terap berharap ruang demokrasi menjadi ajang memilih dan mendudukkan pemimpin bukan karena pengambil alihan kekuasaan ditengah jalan. Namun andai itupun terjadi, biarlah terjadi semata demi menyelamatkan nasib bangsa dan negara.
Mencari Pembenaran Atas Sebuah Kesalahan
Tindakan tidak semestinya sering terjadi dan dilakoni dengan senyum mengembang oleh rejim ini. Melakukan kesalahan adalah hal biasa dan bisa dicari jalan pembenaran atas sebuah kesalahan. Dengan bantuan media-media yang memang menjadi pembentuk opini bagi pemerintahan ini, publik disuguhi informasi yang dikemas sebagai seolah-olah sebuah kebenaran. Persepsi dikembangkan sendiri untuk membentuk citra positif bahkan merubah kesalahan menjadi seolah-olah sebuah kebenaran.
Tidak jarang bahwa rejim ini lebih memilih menyalahkan masa lalu untuk menutupi ketidak mampuannya menyelesaikan masalah. Adalah Soesilo Bambang Yoedhoyono atau SBY, Presiden RI Ke 6 yang selalu menjadi papan target peluru bertajuk pembenaran yang dikemas rejim ini. Ketidak mampuan pun ditembakkan jadi peluru tajam ke rejim masa lalu, tentu dengan harapan bahwa rakyat akan menyalahkan masa lalu dan membenarkan masa sekarang. Bukankan dalam janji politik dulu saat pilpres rejim ini berjanji akan memperbaiki semua yang tidak baik pada masa lalu? Rejim ini mestinya melakukan perbaikan sesuai janji dan bukan menjadi rejim yang dibenarkan karena menyalahkan masa lalu. Ini menjadi lucu dan tidak asik, rejim menjadi rejim pencari kesalahan masa lalu demi menutupi ketidak mampuan masa kini.
Mengirimkan kesalahan dan kegagalan kepada masa lalu ternyata tidak cukup bagi rejim ini. Banyak para pembuat opini bekerja menciptakan opini yang memang bertujuan menghabisi SBY secara langsung maupun tidak langsung. Wajar jika kemudian SBY dalam tulisannya yang terbaru merasa dihabisi tanpa ampun.
Proyek menghabisi SBY itu terus bergulir terutama 2 hari terakhir beredar sebuah artikel di Seword.com yang berjudul Jangan bunuh diri SBY. Sebuah artikel fiksi dan mengarang karena tidak mencantumkan identitas penulis. Isinya tidak lebih dari sebuah caci maki yang dikemas dengan bahasa halus. Tulisan tersebut tidak lebih dari sebuah karangan bebas yang terkait dengan Pilkada DKI. Sepertinya, penulisnya ketakutan jagonya akan kalah, sehingga terpaksa harus meminta SBY agar melepas AHY dan tidak mendukungnya. Ayah mana yang akan membiarkan anaknya berjuang sendirian ?
Selain artikel tak bermakna di Seword.com tersebut, juga beredar sebuah rekaman percakan telepon yang mengaitkan demo Ahok dengan pemenangan AHY. Rekaman telpon tersebut jika benar terjadi berarti adalah produk sadapan. Siapa yang mampu melakukan penyadapan dinegara ini? Bukankah penyadapan hanya bisa dilakukan oleh instrumen pemerintah? Jika benar itu hasil sadapan, sudah begitu rendahnyakah rejim ini menyadap jalur komunikasi lawan politiknya? Meskipun sebetulnya rekaman atau sadapan suara itu tidak akan mengurangi elektabilitas AHY bahkan justru akan meningkat karena AHY ternyata ada bersama umat Islam.
Menambah Musuh Dari antara Kawan
Menarik bila mencermati dan menganalisis ucapan Jenderal Polisi Tito Karnavian saat berada ditengah-tengah massa doa dan zikir aksi beka Islam jilid 3 di Monas. Tito bahkan tanpa basa basi menyatakan bahwa di KPK Ahok tidak bisa jadi tersangka, tapi di Polri, Ahok jadi tersangka. Sebuah kalimat penuh makna dan sedikit muatan menyerang lembaga lain. Tapi bukan muatan itu yang lebih menarik. Jauh lebih menarik menganalisis mengapa Tito harus bicara seperti itu? Mungkinkah ada kekuatan kekuasaan yang membandingkan penanganan kasus Ahok di KPK dengan kasus Ahok di Polri? Di KPK Ahok bisa aman, di Polri Ahok tidak aman. Adakah yang kira-kira yang marah kepada Tito karena tidak bisa membuat kasus Ahok tenggelam seperti di KPK? Jika ada, siapa kira-kira yang berani menyalahkan Kapolri? Yang pasti itu bukan SBY.
Sepertinya, Presiden Jokowi mendapat tambahan lawan dari hasil aksi bela Islam 212 tersebut. Ucapan Tito tersebut ditinjau dari analisis komunikasi politik adalah sebuah ucapan ketidak puasan atas sesuatu dan bentuk perlawanan kecil yang kemudian bisa membesar.
Penangkapan purnawiran Jenderal TNI seperti Kivlan Zein yang memang punya nama besar di kalangan TNI dan berjasa besar membebaskan para sandera WNI dari tangan Abu Sayyaf di Philippina tidak bisa dipandang remeh sebagai bagian dari penegakan hukum saja. Korps TNI tentu akan merasa kaget dan tertampar atas penangkapsn tersebut. Tentu penangkapan itu tidak akan terjadi tanpa restu dari kekuasaan. Artinya, Presiden Jokowi akan sangat mungkin mendapat tambahan lawan dari kalangan purnawirawan TNI atau bahkan TNI aktif. Mungkin dan sangat mungkin mengingat solidaritas korps yang tinggi.
Berhenti Bermain Api Dalam Politik
Presiden mesti sangat berhati-hati menyikapi kondisi ini kedepan. Perhatian serius dibutuhkan untuk bisa keluar dati situasi sulit ini. Tidak cukup hanya perhatian serius, tapi tentu dibutuhkan sikap lebih bijaksana, menjadi bapak atas semua kelompok, dan paling penting adalah berhenti bermain api dalam politik. Merangkul lawan dan musuh menjadi sahabat adalah strategi paling ampuh untuk memenangkan pertempuran, bukan malah menambah lawan dari deretan kawan.
Jakarta, 06 Desember 2016