MAKAR IMAJINATIF DAN TEROR IMAJINER
Oleh : Ferdinand Hutahaean
RUMAH AMANAH RAKYAT
Tampaknya rejim berkuasa semakin hari semakin linglung menentukan sikap, apakah akan berpihak pada rakyat atau berpihak pada kenikmatan berkuasa.
Perlakuan aparat kepolisian yang terkesan mengambil domain institusi lain atau lembaga lain terkait makar adalah salah satu fakta linglungnya rejim ini mengambil sikap. Dari awal ketika kalimat tentang makar disampaikan oleh Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, langsung mengundang reaksi tak sejalan atau reaksi berbeda dengan Kementerian Pertahanan dan Kenenterian Kordinator Politik Hukum dan Ham. Dua lembaga terakhir menyatakan tidak mendengar adanya makar.
Adalah sesuatu yang menarik sebetulnya jika menganalisis lebih jauh, mengapa perbedaan pendapat itu muncul. TNI lah yang seharusnya digarda depan menangani perbuatan makar karena makar adalah kejahatan terhadap negara atau pemerintahan yang sah, maka tugas TNI lah yang harus mengatasi perbuatan makar dan bukan institusi POLRI yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat atau kamtibmas. Makar bukan ancaman kamtibmas namun adalah ancaman Ancaman terhadap negara. Maka itu adalah domain TNI untuk menghadapinya, karena tugas TNI adalah menjaga negara dari segala ancaman.
Makar Imajinatif
Kali ini kita tidak sedang ingin membahas domain penanganan makar, namun kita ingin mencoba melakukan analisis dan evaluasi terkait tuduhan makar kepada beberapa aktifis dan purnawirawan TNI. Dari semua aspek atau instrumen yang dibutuhkan untuk melakukan makar, nampaknya tidak satupun yang terpenuhi seperti, siapa pimpinan makar, dana makar, jumlah pelaku makar yang harusnya tidak sedikit, perlengkapan senjata pelaku makar dan metodologi makar. Beberapa instrumen makar ini tidak terlihat hingga saat ini. Artinya, makar yang dituduhkan kepada para tertuduh makar adalah bersifat imajinatif. Makar yang dituduhkan akibat sebuah khayalan yang berbaur dengan situasi paranoid akan kehilangan kekuasaan dari rejim berkuasa.
Imajinasi bermain terlalu liar hingga menabrak batas-batas kelaziman penegakan hukum. Imajinasi dijadikan basis penegakan hukum akhirnya penegakan hukum menjadi serampangan. Presiden silih berganti pasca reformasi, namun baru kali ini sebuah kegiatan yang berbasis kecintaan pada Negara dan ingin kembali ke UUD 45 Asli diganjar tuduhan berat sebagai makar. Dari sejak dulu setiap era rejim berkuasa, selalu ada kelompok yang beroposisi dan selalu menyuarakan mengganti presiden ditengah jalan, namun tidak pernah ada yang ditangkap dengan tuduhan makar. Sunggun rejim ini terlalu berimajinasi karena ketakutan kehilangan jabatan.
Teror Imajiner
Tuduhan makar kini menjadi teror yang menakuti kalangan oposan pemerintah. Meski belum tentu para pihak yang kritis dan berseberangan dengan penguasa takut dengan ancaman tuduhan tersebut. Saya malah meyakini bahwa tuduhan makar itu justru akan membangkitkan semakin banyak perlawanan dari para kaum ideologis yang tidak ingin bangsa besar ini menjadi embel-embel bangsa asing atau bahkan hancur berantakan akibat salah urus oleh penguasa yang meski kekuasaan yang didapat adalah sah sebagai hasil demokrasi. Apapun itu, hasil demokrasi tidak bisa dijadikan pembenaran mempertahankan kekuasaan yang tidak mampu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Nasib dan masa depan serta keutuhan bangsa wajib hukumnya diatas segala kepentingan kekuasaan.
Makar menjadi teror imajiner. Makar menjadi teror merasuki pikiran penguasa karena takut kehilangan kekuasaan. Makar juga menjadi teror merasuki pikiran para aktifis. Dan teror tidak atau belum terbukti hingga sekarang. Kemungkinan besar tuduhan makar akan bergeser kepada permufakatan jahat sebagai pasal subsidair yang akan dituduhkan untuk menjerat para tertuduh makar. Saya meyakini, tuduhan makar itu tidak akan pernah bisa dibuktikan.
Makar, menjadi tuduhan yang imajinatif sekaligus menjadi teror imajiner.Semoga penguasa semakin bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat dan perbedaan pilihan.
Jkt, 10/12/2016