PRIBUMIINDONESIA – Sementara itu, Quadra merupakan balas jasa setelah Minduk tersandung audit Badan Pemriksa Keuangan. Quadra lalu memberikan uang Rp 2 miliar untuk menggantikan uang-uang perjalanan dinas dan keperluan lain Minduk yang tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Selanjutnya proses tender pun berlangsung dengan hasil dan proses seperti yang banyak diberitakan selama ini. Dalam pelaksanaan penerbitan e-KTP, Menteri Dalam Negeri membentuk Tim Teknis Penerbitan Nomor Induk Kependudukan dan Penerapan KTP Berbasis Nomor Induk Kependudukan secara Nasional, Juli 2010. Yang menjadi anggota tim ini antara lain Brigjen Polisi Bekti Suhartono (BS), Kepala Pusat Inafis (Indonesia Automatic Finger Print Identification Center) Badan Reserse Kriminal Polri. Bekti dari Akpol angkatan 1984, rekan dekat satu angkatan dengan Irjen Polisi Djoko Susilo, yang telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus korupsi simulator untuk ujian pengambilan surat izin mengemudi.
Posisi atau jabatan struktural BS dalam tim tersebut tercantum sebagai anggota tim teknis. Dalam surat keputusan yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri, dia berada pada nomor urut 15 keanggotaan tim teknis. Sebagai anggota tim teknis, BS telah menjalankan tugastugasnya dengan baik, antara lain tercermin dari tingkat kehadirannya yang cukup tinggi pada berbagai rapat tim ini.
BS tampaknya selalu rajin menghadiri rapat-rapat tim dan cukup aktif menyampaikan pandangan, tanggapan, dan masukan-masukan berdasarkan keahlian dan pengalamannya. Aktivitas BS itu antara lain terekam dengan baik dalam notulen rapat-rapat pembahasan Grand Design Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), yang dilakukan oleh tim teknis tersebut. Pada notulen rapat yang membahas Grand Design SAK hari Rabu, 4 Agustus 2010, bertempat di Ruang Sidang Utama Gedung Kementerian Dalam Negeri disebutkan, tim teknis menyepakati Grand Design SAK sebanyak 397 halaman, yang terdiri dari 7 bab dan 4 lampiran, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Grand Design SAK, untuk disahkan oleh Menteri Dalam Negrri dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Notulen rapat dengan hasil kesepakatan itu telah diteken pula secara resmi dan sah pada hari dan tanggal tersebut di atas oleh BS dalam posisi/jabatan strukturalnya tersebut di atas. Nama, jabatan, dan tanda tangan BS dengan jelas tercantum dalam laporan itu. Hal itu mengindikasikan, BS pada dasarnya dalam posisi dan jabatan strukturalnya selaku wakil resmi dari institusi Polri telah menyetujui dan sepakat dengan Grand Design SAK, termasuk pula penerapan e-KTP yang mengharuskan penerbitan nomor induk kependudukan secara nasional. Namun, dalam perkembangannya kemudian, ternyata BS dalam posisi/ jabatan strukturalnya di institusi Polri malah mengembangkan sendiri program Inafis. Bahkan, sekitar pertengahan bulan Desember 2011, BS meneken kontrak pengadaan Inafis senilai Rp 27,6 miliar dengan PT Turangga.
PT Turangga ini diduga kuat merupakan mantan anggota konsorsium yang kalah dalam perebutan tender pengadaan e-KTP. Alasan utama pihak BS ngotot mengembangkan Inafis, yang realisasinya sudah lama tidak ada kelanjutannya itu, adalah untuk menutup kekurangan dari sistem e-KTP. Kekurangan tersebut antara lain penerapan input data finger print untuk e-KTP, dengan SAK-nya yang hanya mampu menyerap 50 persen dari permukaan sidik jari penduduk.
Padahal, ketentuan di Polri, untuk identifikasi minimal 95 persen dari permukaan sidik jari seorang penduduk harus terekam. Bila persoalannya adalah pada kekurangan penerapan/implementasi input data sidik jari, mengapa BS sebagai anggota tim teknis dan dalam jabatan struktural di institusi Polri tidak mendesak ketua tim teknis agar menyempurnakan atau memperbaiki prosedur input data sidik jari? Tetapi kenapa justru dia mengembangkan sendiri sistem tandingan bernama Inafis? BS sudah menyepakati Grand Design SAK. Kenapa BS justru mempersoalkan kelemahan sistem yang merupakan bagian dari Grand Design SAK, yang notabene sudah disetujui dan ditekennya sendiri? Bukankan ini sama dengan menjilat ludahnya sendiri? Bila karena kepakaran, keahlian, dan pengalamannya BS mengetahui adanya kelemahan-kelemahan dalam Grand Design SAK dalam penerapan e-KTP yang kemudian sudah ia sepakati, mengapa dalam rapat-rapat tim teknis itu dia tidak menyampaikan kelemahan-kelemahannya?
Mengapa BS justru mengembangkan sistem sendiri bernama Inafis, yang sebenarnya sudah tidak dipakai lagi? Untuk Inafis itu sendiri, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane pada April 2012 sempat kaget. Karena, penerbitan kartu Inafis yang dimulai 17 April 2012 oleh Badan Reserse Kriminal Polri tak ada sosialisasi terlebih dulu. Ketika itu, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengatakan, pembuatan Inafis bertujuan sebagai identitas tunggal dan juga amanat Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Kepolisian saat itu memberikan Inafis secara cuma-cuma kepada 5.000 pembuat pertama. Namun setelah itu pembuatan kartu dikenakan biaya Rp 35.000. Kartu ini wajib dimiliki warga yang ingin membuat surat izin mengemudi. Neta mengatakan kartu Inafis yang dijual menimbulkan masalah.
“Timbul pertanyaan, siapa yang mendapat proyek dan mengapa tak ada tender?” kata Neta. Kembali ke masalah e-KTP, Ketua KPK Abraham Samad setalah penandatanganan nota kesepahaman dengan Komisi Pemilihan Umum pada 24 September lalu mengatakan, KPK akan memanggil semua pihak yang terkait dengan dugaan korupsi proyek e-KTP. Menurut Abraham, penyidik masih mengumpulkan informasi dan bukti dalam kasus itu. “Semua yang berkaitan dengan kasus ini akan kami panggil,” katanya. Menanggapi tudingan soal adanya megakorupsi di proyek e-KTP, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada 25 September lalu telah menyangkal. “Kalau tender elektronik, bagaimana mengaturnya? Apalagi, di situ ada 15 kementerian dan lembaga sebagai pendamping teknis,” ungkap Gamawan. Gamawan beberapa kali juga menjelaskan, setelah tender selesai, sebelum kontrak ditandatangani, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) lebih dulu diminta mengaudit. Setelah BPKP menyatakan clear, baru kontrak ditandatangani. “Bahkan, sebelum tender, saya datang ke KPK meminta masukan dan minta agar tender dikawal. Karena itu, bohong besar kalau Nazar bilang diatur. Setelah tender berjalan, Badan Pemeriksa Keuangan juga memeriksa. Belum pernah ada temuan yang mengatakan itu salah,” tutur Gamawan.
Namun, Gamawan juga menyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memang menghukum pemenang dan yang kalah tender, karena dianggap bersekongkol. Tapi, tidak menyalahkan panitia. “Selanjutnya dibanding ke pengadilan dan pengadilan menyatakan tidak ada masalah. Putusan pengadilan ini tidak pernah disebut media, juga Nazar, itu kan tidak fair namanya,” ujar Gamawan. Menjelang pemilihan umum memang banyak yang berkepentingan dengan e-KTP. Karena, e-KTP bisa digunakan untuk memanipulasi perolehan suara. Juga bisa digunakan untuk membuar rekening bank, sehingga sumbangan ke partai politik atau calon presiden dan wakilnya bisa tidak terbatas “secara sah”.
Kini sejumlah nama dipanggil Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis elektronik atau e-KTP. KPK memeriksa Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jafar Hafsah. Pemeriksaan terhadap mantan anggota DPR itu dilakukan penyidik untuk melengkapi berkas mantan Direktur Pengelola Informasi dan Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemdagri) Sugiharto yang telah berstatus tersangka.
“Yang bersangkutan akan diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi untuk tersangka S (Sugiharto),” kata Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha saat dikonfirmasi.
Selain Jafar, dalam mengusut kasus ini, KPK juga menjadwalkan memeriksa saksi lain dari pihak swasta. Beberapa di antaranya, yakni Miryam S. Haryani, Muhammad Burhanudin dan Agustina Retnowati.
Nazaruddin menyebut Jafar turut menerima aliran uang hasil korupsi proyek e-KTP yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut.
“(Aliran uang korupsi e-KTP) ke Jafar Hafsah,” kata Nazaruddin usai diperiksa penyidik di Gedung KPK, Jakarta sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, Selasa (18/10) malam.
Meski demikian, Nazaruddin enggan membeberkan peranan dan jumlah uang yang diterima Jafar terkait kasus ini. Hal ini lantaran, selain Jafar yang kini menjabat Sekjen Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia, ada banyak pihak lainnya yang turut kecipratan uang haram dari proyek tersebut.
Yang pasti, Nazaruddin mengaku sudah membeberkan nama-nama yang terlibat kasus korupsi proyek senilai Rp 6 triliun tersebut kepada penyidik KPK.
“(Ada aliran uang) ke Mendagri, ke Dirjennya (Dirjen Dukcapil Kemdagri), ke Menkeu. Yang penting banyak pihak. Semuanya sudah disampaikan. E-KTP ini kita percayakan saja pada KPK,” katanya seperti dilansir beritasatu. Kini bola liar terus bergulir dan akankah bisa terungka tuntas? Inilah PR besar KPK. (TAMAT) ***
Tim PRIBUMIINDONESIA