Media Mestinya Menjadi Pilar Demokrasi, Kini Berubah Jadi Musuh Demokrasi

0
698

MEDIA YANG BERUBAH MENJADI MUSUH DEMOKRASI​

Oleh  Ferdinand Hutahaean

Tak dapat dipungkiri, bahwa demokrasi yang kita anut telah membawa perubahan besar dalam etika berpolitik bangsa. Dan tak dapat disangkal bahwa PILKADA GUBERNUR DKI JAKARTA 2017 secara langsung maupun tidak langsung telah melahirkan atmosfir media sosial yang sangat jahat bagai mesin pembunuh, dan media yang semestinya menjadi pilar demokrasi berubah menjadi musuh demokrasi.

Semakin hari semakin mendekati agenda hari pelaksanaan pemilihan, publik semakin disuguhi informasi-informasi yang menyesatkan baik oleh media maupun media sosial. ​Arus informasi yang semakin canggih membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin menggunakan media maupun media sosial untuk membunuh dan menghabisi karakter atau nama baik seseorang atau kelompok tertentu dengan mudahnya.​

Sementara penegakan hukum berlangsung tidak adil dan hanya menindak pihak-pihak yang dianggab menjadi lawan politik oleh kekuasaan. Ketidak adilan ini justru semakin menyuburkan praktek ujaran kebencian di media sosial.

Kita semua mendengar bagaimana Presiden Jokowi meminta agar menghentikan ujaran kebencian di media sosial. Meski sesungguhnya permintaan itu juga sifatnya abu-abu karena tidak jelas ditujukan kepada siapa. ​

Namun patut diduga permintaan itu hanya ditujukan kepada pihak kalangan masyarakat yang kritis terhadap kekuasaan dan kekritisan itu dianggab sebagai ujaran kebencian.

Dan ini jugalah menjadi faktor suburnya ujaran kebencian ditengah publik karena bukan menyelesaikan masalah namun menambah bahan bakar ditengah panasnya pertarungan masyarakat di media sosial.

Media seharusnya menjadi pilar demokrasi. Menjadi pembawa pesan kebenaran dan faktual kepada masyarakat. Namun saat ini media justru berubah menjadi musuh demokrasi karena dijadikan alat politik oleh para pemilik media. Inilah salah satu sumber petaka bagi netralitas media, menjadi kehancuran bagi salah satu pilar demokrasi, yaitu media yang dimiliki oleh elit politik dan media yang dimiliki oleh partisan politik tertentu. Akhirnya media kehilangan indepensi. Media tidak lagi memberitakan tentang kebenaran, tapi media memberitakan persepsi yang dibentuk sesuai kebutuhan politik pemilik yang menjadi tokoh politik maupun menjadi partisan politik.​

Kita menyaksikan 2 hari ini betapa ganasnya media sosial dan media partisan membunuh dan menghabisi Agus Harimurti Yudhoyono sebagai calon gubernur DKI Jakarta. ​

Bermodal video editan dan gambar-gambar tambahan yang justru mengarah pada kampanye hitam dan pembunuhan karakter serta fitnah yang mekanggar UU ITE,  AHY dikreasi oleh para media partisan seolah-olah tidak paham tentang masalah penyebab banjir Jakarta.

Padahal apa yang disampaikan AHY sudah benar kontennya karena banjir memang lebih rentan terjadi akibat penurunan tanah Jakarta dan naiknya permuakaan air laut. Turunnya level ketinggian tanah Jakarta disebabkan oleh penyedotan air tanah secara ugal-ugalan akibat pembangunan gedung-gedung tinggi, termasuk masalah penataan perkampungan dibantaran kali atau daerah resapan. ​

AHY sudah menjawab dengan tepat tapi karena kepentingan politik sebagai partisan, maka dikreasilah seolah-olah AHY tidak paham masalah.Sungguh, ini adalah fakta nyata jahatnya media sosial dan media partisan.​

Media berubah menjadi musuh demokrasi. Sesuatu yang sangat harus dihindari media adalah menjadi alat kepentingan politik dan menjadi partisan politik.

Media semestinya adalah salah satu pilar penegak demokrasi, dan bukan musuh demokrasi. Media wajib hukumnya hanya memberitakan kebenaran, fakta dengan jujur dan tanpa rekayasa.​

Media harus independen dari semua kepentingan politik, baik itu kepentingan pemerintah atau kelompok politik manapun. ​Namun sangat disayangkan, justru media-media main stream yang selama ini menjadi media rujukan nasional, justru menjadi media partisan yang kemudian hanya memberitakan berita yang dikondisikan untuk memenuhi kepentingan politik pemiliknya.

Kondisi kerusakan bangsa justru akan semakin   menjadi besar bila media sudah membohongi publik demi kepentingan politik pemiliknya. ​

Kemana lagi publik akan mendapatkan kebenaran dan kejujuran jika media dan penguasa lebih suka berbohong?​

Lahirnya media-media kecil yang coba memberitakan faktapun harus berhadapan dengan arogansi kekuasaan. Ditutup paksa atau dituduh menyebarkan kebencian atau informasi konten ilegal. 

Kenapa pemerintah tidak menutup media besar yang juga menyebarkan ketidak benaran?​

Memang fakta lapangan menunjukkan bahwa AHY terus melaju mendominasi survay pemenangan Pilkada. Nampaknya realitas ini membuat panik kelompok tertentu yang kemudian semakin  mengintensifkan serangan lewat media sosial maupun media untuk merusak nama baik AHY maupun SBY yang memang menjadi tokoh sentral dalam proses kontestasi Pilkada ini.​

Lawan politik yang sudah panik dengan kekalahan didepan mata, memilih jalan menciptakan kekacauan dengan berita-berita fitnah yang menyerang SBY maupun AHY.

​Mereka mungkin berharap, dengan kekacauan, fitnah dan menebar kebohongan, mereka akan memenangkan pilkada ini meski dengan cara kotor maupun dengan cara curang, karena hanya dengan cara itulah mereka bisa punya harapan.​

Jakarta, 30 Desember 2016

www.pribuminews.co.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.