Tokoh Malari Hariman Siregar menyatakan dalam refleksi Malam Tahun Baru di Resto Pempekita, Jakarta Selatan, jelang 1 Januari 2017, bahwa pemerintahan Jokowi harus menyadari betapa berarti dan pentingnya rakyat dalam pembangunan sosial-ekonomi di tengah ketidakpastian global akibat kemenangan Donal Trump sebagai Presiden AS.
Meluasnya gejala populisme sebagaimana di AS dan Inggris (dengan Brexit) merupakan kekuatan yang harus diperhatikan dan diperdulikan, serta memastikan bahwa pemerintah tidak bisa hanya mengutamakan modal dan kelompok kemapanan (establishment) yang selama ini diandalkan bagi pertumbuhan dan pembangunan. Pemerintah harus mengajak rakyat dan perduli rakyat, memberdayakan rakyat serta tak adil bila rakyat diabaikan karena kalau kebijakan Trump dilaksanakan, maka ekonomi AS akan menguat di satu sisi, dan di sisi lain lumpuhnya atau matinya pasar bebas karena AS sebagai pusat pertumbuhan berkonsentrasi bagi pembangunan ekonomi dalam negerinya sendiri, dan membiarkan dunia luar mengurus diri masing-masing. AS tak lagi meneruskan Pax Americana sebagai polisi dunia dan penjaga keamanan dunia. AS sudah meminta Jepang, Korsel dan Asean di Asia mengurus dirinya tanpa bantuan atau keterlibatan AS karena AS oleh Trump difokuskan membangun ekonomi domestik yang proteksionistik.
Bagi Trump, kebijakannya itu tak ada urusan dengan China yang bersitegang dengan beberapa negara Asean di Laut China Selatan, bahkan produk RRC pun akan dihadang dan dihambat masuk ke AS..
Pandangan Hariman Siregar itu disampaikan di hadapan para aktivis, para BEM, tokoh ormas mahasiswa dan aktor pergerakan tepat satu jam jelang Tahun Baru 2017, dipandu Bursah Zarnubi (mantan anggota DPR-RI) dari Perkumpulan Gerakan Kebangsaan. Hadir antara lain dosen FHUI Chudri Sitompul, dosen Universitas Paramadina Herdi Sahrasad, mantan anggota DPR Joko Edhi Abdurahman dan mantan Ketua PB HMI M.Umar Husein
Hariman Siregar, mantan Ketua Umum DM-UI menegaskan, apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan kemenangan Donald Trump membuktikan bangkitnya populisme untuk melawan para elite dan kemapanan itu, sehingga mampu mengalahkan Hillary Clinton sebagai representasi elite dan establishment. Hal ini di luar prediksi, sehingga pasar keuangan global dan masyarakat dunia langsung bergejolak.
Sejauh ini kebijakan ekonomi Trump mengarah pada Proteksionisme, pemotongan pajak penghasilan untuk semua kelompok dan cenderung anti-globalisasi, anti pasar bebas.
Hariman melihat, sosok Trump merupakan simbol perubahan sistem yang selama ini dirasa tak adil dan memberatkan banyak masyarakat AS yang ingin kembali menikmati kehidupan yang layak. Di sisi lain, katanya, para elite dan investor mengkhawatirkan mantra anti-globalisasi yang telah dirapal Trump, bisa menyebarluaskan proteksionisme di seluruh dunia. Termasuk dengan memberlakukan hambatan perdagangan serta menekan pertumbuhan ekonomi global.
Hariman mengingatkan bahwa janji Trump yang mengutamakan ekonomi dalam negeri AS itu tak ada hubungannya dengan RRC (China). Trump menyatakan seluruh produk/barang dari luar yang masuk ke AS akan dikenakan pajak 35-40 persen, dan itu mengancam produk RRC (China) yang selama ini menyerbu pasar AS dan menjadi topangan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Meskipun Trump menyatakan kebijakan ekonominya tidak ada hubungannya dengan China, tidak ada urusan dengan RRC, namun Trump mencurigai RRC menjadi biang kemerosotan ekonomi AS. Kepada China, Trump pun mengekspresikan kekesalannya. Trump menilai, sejak China masuk dalam World Trade Organisation (WTO), ada lebih dari 50 ribu pabrik di Amerika tutup dan puluhan juta pekerja dirumahkan. Trump mencurigai China sebagai negara yang terlalu ambil keuntungan bahkan menjadi manipulator ekonomi, yang merugikan AS.
Hariman mengingatkan bahwa Trump berkali-kali menyatakan ketidakpuasannya terhadap kondisi perekonomian AS saat ini dan kebijakan proteksionisme merupakan jalan keluar. Perdagangan bebas yang telah berlangsung selama puluhan tahun merupakan sumber kehancuran industri manufaktur AS. Kepada masyarakat Amerika, Trump menjelaskan, globalisasi lebih banyak mendatangkan duka ketimbang suka. Misalnya, impor barang konsumsi yang murah telah menyebabkan rendahnya gaji pekerja domestik di AS. Selain itu, yang juga menjadi perhatiannya adalah pengalihan bisnis atau outsourcing ke negara-negara yang berbiaya rendah.
Hampir pasti Trump melakukan renegosiasi, atau bahkan keluar dari pakta perdagangan North American Free Trade Agreement (Nafta). Selama ini, Nafta telah menekan hambatan perdagangan antara AS, Kanada, dan Meksiko. Kebijakan tersebut merupakan buah negosiasi Presiden George H.W. Bush yang diterapkan pada tahun 1990an oleh Bill Clinton.
Langkah Trump untuk melindungi Amerika Serikat dari Meksiko dalam hal perdagangan tidak berhenti sampai di situ. Dalam kampanyenya, ia menjanjikan untuk membangun tembok pemisah bernilai miliaran dolar di wilayah selatan AS yang berbatasan dengan Meksiko. Rencana ini telah membuat mata uang Meksiko terpuruk, bahkan sebelum Trump meraih kemenangan.
Dengan dukungan kaum populisme AS yang memberikan suara kepada Trump, maka hampir pasti Trump pada 20 Januari 2017 dilantik jadi Presiden AS dan kepemimpinan Trump sangat berisiko dan cenderung membangun pemikiran anti-globalisasi, sehingga membentuk gelombang proteksionisme di seluruh dunia.
Pakta perdagangan yang menjadi sorotan selain NAFTA adalah Trans Pacific Partnership (TPP), yang berlaku di antara 12 negara Pasifik, selain China serta kesepakatan Transatlantic Trade and Investment Partnership (TTIP). Saat ini Amerika Serikat dan Eropa sedang melakukan pembahasan terhadap TTIP.
Hariman Siregar menambahkan, pemerintahan Jokowi harus memfokuskan perdagangan dalam negeri, antarpulau,antarwilayah domesik untuk antisipasi kalau ‘Trump effect” berjalan jauh karena hampir pasti Asia dirugikan sebab ekspor negara-negara Asean dan Asia akan dihambat masuk ke AS dan itu bisa menyebabkan ekonomi Asia merosot tajam. ”Oleh sebab itu rakyat jadi penting dan berarti bagi pemerintah karena tanpa partisipasi dan peran rakyat, ekonomi dan stabilitas bakal guncang, dan prediksi saya Trump akan mengubah ekonomi dunia menuju hal-hal yang memburuk dan melemahkan negara berkembang akibat proteksionisme AS. Itulah sebabnya rakyat jadi penting dan berarti, tak cuma modal atau akumulasi kapital. Pertumbuhan bukan lagi yang terpenting melainkan kebersamaan, pemerataan , keadilan sosial dan peran serta rakyat dalam membangun dan menjaga integrasi nasional bersama pemerintah agar NKRI tidak terancam dan retak,” kata Hariman. (Sayangi/konf)