Rakyat Merdeka Online KAMIS, 05 JANUARI 2017, 15:30:00 WIB menurunkan tulisan Jaya Suprana “Memperkokoh Ketahanan Nasional-MENUJU PERADABAN sesuai judul diatas dan kami memcoba memuatnya kembali. Atas hal ini redaksi melihat tulisan sangat baik dan penting. Dan Jaya Suprana juga sudah mengijinkannya. -redaksi
Memperkokoh Ketahanan Nasional
MENUJU PERADABAN
OLEH JAYA SUPRANA*)
New York Times, 4 Januari 2017 memuat sebuah artikel berjudul “Indonesia Halts Military Ties to Australia Over Material It Deems Offensive”.
Selazimnya artikel tentang politik apalagi politik internasional, judul kerap sengaja direkayasa “mengambang” agar tidak terlalu jelas sehingga bisa leluasa ditafsirkan ke berbagai penjuru.
Tanpa kejelasan tentang kata kerja halts dan kata sifat offensive , sementara kata deem yang berasal dari abad XVI kini jarang digunakan, saya pribadi memfokuskan perhatian pada dua kalimat di dalam artikel NYT : “ Officials would not describe the material, but reports in the Indonesian news media said a laminated paper found at an Australian special forces base had insulted Pancasila, a state ideology that mandates belief in monotheism and unity among Indonesia’s 250 million people. Indonesia is the world’s most populous Muslim nation, and blasphemy is illegal there“.
Berdasar dua kalimat tersebut, saya setuju terhadap pernyataan Mayor Jenderal Wuryanto bahwa TNI untuk sementara membekukan kerja sama dengan TNA (Tentara Nasional Australia) sebagai protes terhadap penghinaan terhadap Indonesia.
Dalam kunjungan awal November 2016 ke Australia untuk mempergelar musik kolintang dan batik di Sydney Opera House , saya sudah merasakan pengaruh negatif akibat pemberitaan negatif per asing terhadap Indonesia terkait kasus pengadilan dugaan penistaan agama. Mayoritas masyarakat Australia akibat “cuci-otak” pemberitaan pers asing terhadap kasus pengadilan dugaan penistaan agama, memvonis bangsa Indonesia sebagai bangsa penindas minoritas, rasis, Islam radikal bahkan pendukung teroris.
Doa bersama 212 yang dihadiri presiden dan wapres ditafsirkan sebagai konspirasi demi membuka peluang bagi kaum Islam radikal makin mengumbar angkara murka terorisme di Indonesia.
Bahkan Indonesia yang secara hukum tidak membenarkan penistaan agama dinilai sebagai negara terbelakang dalam menegakkan HAM seolah di dalam HAM memang termasuk hak asasi untuk bebas menista agama! Teman-teman saya di mancanegara yang terlanjur dogmatis meyakini kebenaran pemberitaan pers asing terhadap Indonesia tentu saja mentah-mentah menolak pembelaan saya terhadap negara, bangsa, rakyat serta Tanah-Air-Udara saya.
Bahkan seorang teman saya sesama Nasrani namun warga negara asing berusaha menyadarkan saya untuk tidak membenarkan doa bersama 212 sambil mencemooh kenapa saya merasa terharu akibat para peserta doa bersama 212 melakukan long march berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta.
Akibat saya tidak berkeyakinan sama dengan keyakinan teman saya itu maka kita sempat sengit berdebat secara mubazir sebab alhasil kita berdua tetap bersikeras tetap bertahan yakin pada keyakinan diri masing-masing.
Terbukti bahwa dua insan bersahabat telah terpecah-belah akibat pemberitaan pers. Namun saya memetik hikmah kesadaran dari kemelut pemberitaan pers asing terhadap Indonesia yaitu bangsa Indonesia harus hukumnya wajib memperkokoh landasan persatuan bangsa demi bersatupadu, bergotongroyong, bahu membahu, saling melengkapi demi memperkokoh pilar-pilar Ketanahan Nasional dalam menghadapi angkara murka bangsa asing yang ingin memecah-belah bangsa Indonesia dengan mengejawantahkan semangat divide et empera menjajah bangsa, negara, rakyat dan bumi Indonesia yang memang luar biasa mahakayaraya maka memang sangat layak untuk dijajah demi dihisap habis sampai butir pasir dan tetes darah terakhir !
*)Jaya Suprana, Penulis pendiri Pusat Studi Kelirumologi, sumber Rakyat Merdeka Online KAMIS, 05 JANUARI 2017