Oleh Ferdinand Hutahaean
Tampaknya rejim yang sedang berkuasa sekarang semakin hari semakin jauh dari cita rasa pemimpin sejati. Semakin tua umur pemerintahan, justru semakin jauh dari indikator-indikator kerakyatan dan nadionalisme.
Rejim memimpin dengan gaya manajemen suka-suka, dan lebih menyedihkan lagi ketika logika berpikir yang digunakan semakin tidak mencerminkan perlindungan kepada rakyat, bangsa dan negara, akan tetapi menggunakan logika yang menyesatkan.
Saya dan tentu banyak kalangan akan mengernyitkan dahi melihat realita kepemimpinan rejim sekarang. Terlalu banyak ketidak patutan yang terlontar ketengah publik tanpa dipikirkan dampak-dampaknya secara psikologis dan moral kepada masyarakat. Pertanyaan yang muncul, mengapa para pejabat rejim ini suka berbicara tidak patut bahkan merupakan bentuk kekerasan verbal terhadap rakyatnya? Perlukah pertanyaan ini kita jawab? Coba kita telisik beberapa kekonyolan yang terucap dari para pejabat kita.
Pertama, adalah pernyataan Presiden Jokowi yang semestinya sebelum diucapkan dipikirkan dulu dampaknya. Seorang presiden mestinya tidak boleh asal bicara.
Menanggapi mahalnya harga cabe rawit, Jokowi menyatakan agar rakyat mensiasatinya dengan tidak usah beli. Sedih mendengar presiden bicara seperti ini. Pernyataan ini mengandung makna lari atau menghindar dari masalah. Padahal Presiden tidak untuk menghindari masalah akan tetapi menyelesaikan masalah yang ada. Logika tidak sehat, apakah kemudian jika rakyat sakit dan tidak mampu bayar harus disuruh juga tidak usah berobat?
Pernyataan kedua dari Jokowi terkait penindakan tegas dan keras terhadap berita-berita yang dianggab pemerintah sebagai hoax. Bukankah kata tindak secara tegas dan keras itu bentuk kekerasan verbal kepada rakyatnya? Ahhh suka-suka kaulah presiden…
Selanjutnya kedua adalah pernyataan Menko Maritim Luhut Panjaitan yang dimuat beberapa media online terkait diijinkannya bangsa asing mengelola pulau Indonesia dan bahkan memberi nama pulau Indonesia. Mengapa logika seperti ini bisa lahir dari seorang purnawirawan Jenderal TNI? Bukankah pulau-pulau itu masuk domain kedaulatan bangsa? Apakah kedaulatan wilayah bangsa boleh diserahkan dikelola asing? Bahkan Luhut memperbolehkan pulau itu dinamai orang asing. Apakah ada yang rela ketika anaknya lahir tapi dinamai oleh orang lain? Ditambah lagi pernyataan yang membandingkan CEO BUMN dengan Pelatih bola asing. Di BUMN itu ada rahasia negara yang harus disimpan, dalam sepak bola itu tidak ada rahasia negara yang perlu ditutup. Apakah pak Menko tidak paham itu?
Ketiga pernyataan Kapolri tentang ketidak mampuan Bambang Tri menulis buku karena cuma lulusan SMA. Bukankah kita pernah punya presiden yang cuma lulus SMA? Bukankah kita punya menteri yang cuma lulus SMA? Dan apakah anggota Polri yang dari Bintara karena cuma lulus SMA tidak mampu menulis buku? Tidaklah elok mempermasalahkan pendidikan seseorang. Tegakkan saja hukum dengan koridor hukum yang ada. Itu baru namanya penegak hukum.
Masih banyak logika-logika berpikir yang salah dari para pemimpin bangsa ini. Haruskah bangsa ini terus didegradasi martabatnya oleh kesalahan-kesalahan logika berpikir para pejabatnya?
Bangsa besar ini dimerdekakan dan diisi kemerdekaannya dengan susah payah dan penuh pengorbanan. Nama besar bangsa dan kehormatan bangsa ini dibangun susah payah oleh para pemimpin sebelumnya. Tidaklah elok dan sangat tidak patut jika rejim yang berkuasa ini justru menjadi pihak yang mendegradasi dan menjatuhkan kehormatan dan martabat bangsa dengan merusak martabat dan kehormatan lembaga-lembaga negara seperti lembaga kepresidenan.
Sangat disayangkan, jika rejim ini tidak segera sadar diri dan mau menerima kritik sebagai bagian dari keseimbangan hidup. Bukan menilai kritik sebagai hoax kemudian mematikannya dengan cara-cara yang represif menggunakan tangan penegakan hukum. Sadarlah dan gunakan logika waras memimpin bangsa ini, karena Indonesia adalah bangsa pejuang dan bukan bangsa pecundang.
Jakarta, 11 Januari 2017