Oleh : Johan O Silalahi – Pendiri Perhimpunan Negarawan Indonesia
Ketika sedang berjalan kaki bersama Istri dan anak-anak Saya menuju salah satu restoran terkenal di pusat kota Philadelphia (Pennsylvania) saat hari pertama tahun baru 2017 lalu, Saya tertegun menyaksikan dialog antara seorang Petugas Keamanan dengan dua orang gadis Amerika didepan pintu masuk sebuah bar (klub malam) yang Kami lewati. Sang petugas menanyakan usia serta meminta kartu identitas pengenal untuk membuktikan kebenaran pengakuan kedua gadis itu tentang usianya. Amerika memang sangat ketat membatasi usia pengunjung yang boleh memasuki bar atau klub malam disana. Saya semakin diingatkan lagi tentang ketatnya aturan ini saat mendengarkan dialog keponakan perempuan Saya dengan kedua orangtuanya di rumahnya di Pennsylvania. Dalam konteks bercanda, Keponakan Saya itu mengatakan ingin merayakan ulang tahunnya yang ke-17 dengan teman-temannya pada akhir bulan Januari di Indonesia. Ia berangan-angan bisa merayakan ulang tahunnya ke-17 di diskotik di Indonesia, karena bisa bebas masuk bagi siapapun tanpa melalui pemeriksaan yang ketat terhadap usia pengunjung. Hingga akhirnya kemarin, ada lagi kejadian terbaru saat hendak menonton film pada salah satu bioskop di gedung megah Twin Tower di Kuala Lumpur. Saya tertegun saat berdialog dengan petugas tiket yang menanyakan usia dan bukti identitas untuk kedua putri Saya yang dianggap masih belum memenuhi usia dewasa agar bisa menonton film yang Kami pilih. Untuk mematuhi aturan itu, Kami putuskan merubah rencana. Istri dan kedua putri Saya akhirnya menonton film yang membebaskan usia penontonnya. Saya bersama putra Saya tetap menonton film semula. Seusai menonton, baru Saya sadari bahwa badan sensor film Malaysia telah melakukan tugasnya dengan menyensor habis-habisan film tersebut. Walaupun film tersebut sudah disensor, tapi aturan yang ketat terkait pembatasan umur tetap diberlakukan oleh pemerintah Malaysia kepada warganya. Seluruh fenomena yang terjadi di Amerika dan Malaysia ini membawa konsekuensi perang batin dalam diri Saya. Bagaimana sesungguhnya nasib dan masa depan bangsa Kita paska era reformasi ini?
Bangsa Kita sekarang ini sangat suka dininabobokan dengan pencitraan. Bangsa Kita sangat menikmati segala hal yang berbau artifisial dan formalitas. Mengesankan seolah-olah sudah memperoleh substansi yang sebenar-benarnya, padahal sesungguhnya semua itu hanyalah ilusi atau kamuflase saja. Sangat sulit menemukan kebenaran sejati sekarang ini di Indonesia. Kekuatan sakti dari kalimat ‘Tan Hana Dharma Mangrwa’ atau ‘Tiada Kebenaran Yang Mendua’ sepertinya sirna sudah di negeri Kita. Jika Kita menerima ideologi Pancasila serta semboyan hidup Bhinneka Tunggal Ika sepenuhnya sebagai pedoman hidup bangsa Kita, maka seharusnya bangsa Kita juga selalu berpedoman hidup kepada kebenaran yang mutlak dan hakiki yang terkandung dalam suatu kesatuan. Ironisnya justru bangsa Kita menjadi sangat mudah untuk berbohong atau sebaliknya sangat mudah untuk dibohongi. Para elite pemimpin Kita yang seharusnya bisa menjadi contoh dan teladan dalam menyampaikan kebenaran, sekarang menjadi fenomena yang langka. Kampanye pencitraan yang penuh dengan kebohongan dan kamuflase menjadi industri yang baku sekarang di Indonesia. Sejak dimulainya era demokrasi liberal di Indonesia dengan dipilihnya secara langsung para pemimpin mulai dari tingkat Presiden dan Wakil Presiden, hingga Gubernur, Bupati dan Walikota, berbagai permasalahan bangsa yang kompleks dan laten bukannya terurai, justru semakin kusut dan bertambah parah. Ayo Kita berani jujur dan terbuka. Kita inventarisasi seluruh permasalahan bangsa dan negara Kita, paska runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru hingga era reformasi sekarang ini. Apa yang sesungguhnya menjadi keunggulan bangsa dan negara Kita sekarang ini? Apakah lebih banyak kemajuan atau malah sebaliknya yang lebih dominan kemunduran yang Kita alami sekarang ini?
Mari Kita bedah dan analisis secara holistik dan komprehensif seluruh gatra yang terkandung dalam doktrin Ketahanan Nasional (Tannas) yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum serta pertahanan dan keamanan. Aspek ideologi menjadi kunci pembuka karena tanpa ideologi maka setiap bangsa sesungguhnya kehilangan rohnya. Yang menjadi tali pengikat setiap bangsa di dunia adalah ideologi pemersatu bangsa itu, yang memang digali dari identitas dan jati diri bangsa itu sendiri. Ideologi bagi sebuah bangsa tidak bisa seketika muncul begitu saja, apalagi sembarangan dicaplok dari bangsa lainnya. Harus juga bisa dipisahkan konsepsi ideologi dengan agama. Karena ideologi adalah pengikat dari suatu bangsa yang terdiri dari bermacam ragam agama, suku, etnis dan ras. Artinya jelas dan tegas bahwa ideologi itu berbeda dengan agama. Ideologi Kita adalah Pancasila yang mengandung lima sila dan sila pertamanya menyatakan pengakuan dan kesadaran Kita akan keesaan Tuhan Sang Pencipta. Pertanyaannya, seperti apa situasi dan realitas ideologi Kita Pancasila paska reformasi sekarang ini? Masihkah Pancasila memiliki kesaktiannya? Apakah Pancasila masih menjadi ideologi tunggal bagi Kita seluruh bangsa Indonesia? Atau adakah ideologi lain yang berkembang di negara Kita saat ini? Kebangkitan dan kesadaran umat Islam saat ini di Indonesia harus dijadikan peluang, bukan sebaliknya malah dianggap ancaman. Kebangkitan dan kesadaran umat Islam harus menjadi kekuatan bangsa, bukan sebaliknya dianggap menjadi kelemahan. Tentunya umat Islam sebagai kaum mayoritas tidak boleh jadi lupa diri dan merasa jumawa. Sebaliknya umat agama lain sebagai kaum minoritas jangan selalu serba curiga, serta tidak boleh menjadi paranoid. Merebaknya isu dan wacana Komunis di Indonesia, harus dituntaskan apakah benar-benar fakta dan realita atau hanya sekedar isu belaka. Semuanya Kita kembalikan pada hati nurani Kita untuk menjawabnya, dengan catatan jangan sampai ada dusta diantara Kita.
Aspek politik membawa bangsa Indonesia mundur kembali ke dalam sistim multi partai yang sudah terbukti gagal dalam catatan sejarah di negara Kita. Bangsa Indonesia masih harus terus berputar dan berputar dalam putaran sentrifugal. Energi Kita habis terbuang percuma dan sia-sia. Berapa banyak sudah dana dan seluruh sumber daya bangsa Kita yang dihabiskan sia-sia hanya untuk politik yang seharusnya bukan menjadi tujuan utama, melainkan hanya sekedar sarana untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Untuk selama-lamanya politik tidak boleh menjadi panglima di negeri Kita. Jika Kita sungguh-sungguh ingin Indonesia bisa menjadi negara maju, maka hanya hukumlah yang bisa menjadi panglima tertinggi di negara Kita. Secepatnya bangsa Indonesia harus berani memutuskan rantai ketergantungan Kita kepada sistim politik multi partai yang sudah terbukti tidak memberi kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa dan negara Kita. Solusinya bisa dengan segera memberlakukan pembatasan ‘parliamentary threshold’ pada ambang batas minimal 7,5 atau 10 persen sebagai syarat partai politik bisa eksis di DPR RI. Jadi kebebasan berserikat dan berkumpul untuk membentuk partai politik tetap diakomodasi oleh negara sesuai konstitusi, tetapi pembatasannya berjalan secara natural melalui mekanisme seleksi alam.
Aspek ekonomi tetap harus menjadi perhatian utama Kita. Jatuh bangunnya seluruh negara dan pemerintahan di dunia ditentukan oleh faktor ekonomi ini. Harus diingat oleh siapapun yang menjadi Presiden Republik Indonesia, agar jangan sampai terjebak dalam ‘ekonomi pencitraan’. Yakni perekonomian negara yang direkayasa dan dipersepsikan seolah-olah secara fundamental sehat dan kuat, padahal sesungguhnya lemah dan rapuh. Sejarah mencatat bahwa rezim Orde Baru yang pernah berkuasa selama 32 tahun akhirnya jatuh dan tumbang karena ternyata fondasi perekonomian yang dibangunnya keropos dan rapuh. Ancaman nyata bangsa Kita sekarang ini adalah kerakusan dan ketamakan yang melanda kaum elitenya. Yang kaya ingin semakin kaya dan yang miskin justru semakin dimiskinkan. Jurang pemisah kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin menganga di negeri Kita. Para konglomerat dan orang kaya di Indonesia perlu disadarkan, untuk apa menimbun kekayaan hingga 7 (tujuh) turunan jika pada akhirnya anak cucunya tetap tidak akan bisa menikmatinya. Karena bangsa dan negara Kita terancam masa depannya akibat bahaya laten kesenjangan sosial ini.
Aspek sosial budaya menjadi cermin dari peradaban bangsa Kita saat ini. Revolusi mental dan revolusi karakter bangsa Kita harus sungguh-sungguh diwujudkan jangan hanya sekedar menjadi retorika, jika Kita berharap Indonesia bisa menjadi bangsa dan negara yang maju. Jangan sampai terjadi wacana revolusi mental dan revolusi karakter bangsa yang dulu digulirkan, hanya sekedar menjadi janji kampanye belaka. Presiden Jokowi sudah tepat menggulirkan wacana ini, tapi harus bersungguh-sungguh serta konsisten mengawal dan mewujudkannya.
Aspek hukum serta pertahanan dan keamanan menjadi kunci penting pertaruhan masa depan bangsa dan negara Kita. Hukum harus selalu menjadi panglima, tidak boleh politik malah yang menjadi panglima. Masalah pelecehan terhadap hukum, kedaulatan dan wibawa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan oleh imigran gelap dari China (Tiongkok) yang berani masuk ke Indonesia tanpa melalui pintu Imigrasi di bandara adalah kejadian yang sangat melecehkan dan mempermalukan Kita seluruh bangsa Indonesia. Bahkan mereka sampai bisa dan berani memalsukan berbagai dokumen resmi dan sah yang hanya boleh dikeluarkan oleh instansi pemerintah seperti Paspor, KTP, Kartu Keluarga dan identitas lainnya. Kita harus merapatkan barisan, melindungi seluruh wilayah nusantara sebagai suatu kesatuan yang utuh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Doktrin sistim pertahanan Kita adalah Sishankamrata. Artinya seluruh rakyat Indonesia harus proaktif dan turut serta mengamankan seluruh wilayah NKRI, bahu membahu bersama saudara-saudara Kita seluruh aparatur penegak hukum dan keamanan dari TNI dan Polri.
Kita seluruh bangsa Indonesia bertanggung jawab bersama untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan negara Kita. Presiden Republik Indonesia sebagai pemimpin tertinggi, harus bisa menjadi nakhoda kapal yang menggerakkan seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Cukuplah sudah bangsa Kita hidup dalam fatamorgana, kepalsuan dan kebohongan. Kita harus bangkit dan kembali kepada jati diri sejati Kita. Sebagai bangsa yang selalu hidup berlandaskan pada kebenaran yang sejati dan hakiki. Seperti semboyan hidup yang digali dari kehidupan nenek moyang Kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Semangat untuk menegakkan kebenaran dengan penuh kejujuran harus dimotori oleh Presiden Republik Indonesia dan diikuti oleh seluruh kaum elite bangsa Kita. Tidak ada bangsa yang bisa maju, jika bukan karena bangsa itu sendiri yang bangun, bangkit dan bekerja keras menyelamatkan dirinya. Kemerdekaan bangsa Indonesia yang Kita nikmati sekarang ini adalah hasil perjuangan tidak kenal menyerah dari Kakek Nenek Kita para pejuang kemerdekaan dahulu. Mereka pada masa perjuangan dulu telah hidup menderita. Rela dan ikhlas berkorban harta dan nyawa, dengan harapan kelak anak cucunya bisa merasakan kemerdekaan dan kehidupan yang lebih baik darinya. Cukuplah sudah Kita hidup dalam kebohongan dan kemunafikan. Sekarang sudah tiba saatnya Kita mengantarkan bangsa Indonesia menuju pintu gerbang kejayaan bangsa dan negara Kita. Dalam realitas yang sebenar-benarnya, bukan hanya sekedar imajinasi apalagi fatamorgana.
Jakarta, 12 Januari 2017