PRIBUMIIND0NESIA – Memang lidah tak bertulang. Begitu petikan lirik sebuah lagu. Alkisah, pada 20 Januari lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengaku kecewa terhadap PT Freeport Indonesia yang hingga jelang nota kesepahaman (MoU) berakhir, 24 Januari 2015, Freeport belum juga menunjukkan perkembangan pembangunan fasilitas pemurnian bijih mineral (smelter).
Atas dasar itulah, Sudirman mengeluakan ancaman:pemerintah akan mencabut rekomendasi ekspor konsentrat jika pada tenggat tersebut, Freeport belum juga menentukan lokasi smelter. “Jadi, silakan mencari jalan,” katanya.

Gertak Sambel di Smelter
Tenggat waktu sampai 24 Januari 2015 itu sendiri adalah kelonggaran yang diberikan pemerintahan masa Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga Freeport diperbolehkan ekspor konsentrat lagi setelah sebelumnya sempat dihentikan karena Freeport belum membangun smelter. Kelonggaran diberikan pemerintah SBY karena Freeport berjanji akan membangun smelter sebelum tenggat waktu yang diberikan itu dan perjanjian itu dituangkan dalam nota kesepahaman yang dibuat 24 Juli 2014. Itulah sebabnya Sudirman Said berani menggertak.
Tapi, kenyataannya, Kementerian ESDM yang dipimpin sang Sudirman Said itu dan PT Freeport Indonesia memperpanjang nota kesepahaman (MoU) terkait renegosiasi kontrak kerjasama selama 6 bulan ke depan pada Jumat (23/1/2015). Freeport diperbolehkan ekspor mineral mentah dalam enam bulan ke depan. Perusahaan tambang itu diberi waktu lagi untuk menyiapkan smelter.
Padahal, pada Jumat itu juga sebelumnya pemerintah mengungkapkan belum melihat adanya kejelasan smelter PT Freeport Indonesia. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM R Sukhyar menuturkan, sejauh informasi yang disampaikan ke pemerintah, Freeport telah menunjukkan lahan untuk pembangunan smelter di sebelah PT Petrokimia dan di dekat PT Smelting Gresik, Jawa Timur.
“Petrokimia Gresik akan mengambil side product, seperti asam sulfat untuk pupuk, dan juga untuk gypsum, mungkin ada industri yang di sana. Kemudian juga, kita juga enggak tahu apakah dalam konteks smelter itu akan ada ekspansi dari PT Smelting Gresik. Ini juga menjadi concern Freeport juga yang mereka harus sampaikan pada waktunya,” kata Sukhyar di Jakarta, Jumat itu.
Menurut Sukhyar, PT Smelting Gresik saat ini telah memproduksi copper catoda dananoda slime. Pemerintah mempertanyakan, apakah pihak Freeport akan melakukan ekspansi PT Smelting Gresik. Kepemilkan Freeport atas PT Smelting Gresik saat ini sekitar 25%. Padahal, lanjut Sukhyar, Freeport wajib memproduksi tambahan smelter baru sebesar dua juta ton konsentrat per tahun, sementara PT Smelting Gresik sudah memproduksi satu juta ton konsentrat per tahun.
“Pertanyaannya, apakah itu akan ada keikutsertaan Smelting Gresik atau tidak? Karena ini kan memakai teknologi Mitsubishi, Smelting Gresik juga miliknya Mitsubishi,” kata Sukhyar.
Jadi, tambahnya, bisa terjadi kerja sama ini terjadi antara PT Freeport dengan Smelting Gresik di dalam ekspansi. “Tapi, saya juga belum tahu, apakah itu juga yang menjadi concern Freeport. Bisa saja nanti Freeport yang membangun smelter baru,” ujarnya.
Tapi, sebelumnya, pada Kamis malamnya (22/1/2015), bos besar Freeport nan sepuh, James Robert Moffett, datang menemui Sudirman Said di kantornya. Moffett datang ditemani Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Mereka mengadakan pertemuan sekita tiga jam. Dalam pertemuan tersebut, kata kata Sukhyar, Freeport dalam pertemuan tersebut meyakinkan pemerintah bahwa mereka masih berkomitmen membangun smelter. Tapi, Sukhyar kemudian dengan gagah perkasa bahwa belum ada keputusan dari pertemuan tersebut. “Dari pertemuan itu belum ada keputusan,” kata Sukhyar setelah usai pertemuan.
Dikisahkan Sukhyar, Freeport dalam pertemuan tersebut menunjukkan mereka sudah melakukan kerja sama dengan PT Petrokimia Gresik soal sewa lahan untuk lokasi pabrik smelter yang baru. Selain itu, Freeport juga memaparkan soal pergantian teknologi dari awalnya menggunakan Autotech menjadi Mitsubishi. Dengan teknologi itu, Freeport mengklaim bisa menambah kapasitas produksi dari 1,6 juta ton menjadi 2 juta ton per tahun.
Sukhyar juga menilai, pemaparan Freeport itu tidak meyakinkan karena kurang detail. “Mau bangun di Gresik, di mana lokasi pastinya? Bagaimana status lahannya? Apakah beli atau leasing? Kalau hanya MoU, itu tidak terlalu kuat,” katanya.
Lalu, pada hari Jumat itu, setelah sebelumnya Sukhyar menyatakan belum melihat adanya kejelasan smelter PT Freeport Indonesia, tiba-tiba Sukhyar mengatakan pemerintah memberikan kelonggaran setelah Freeport menunjukkan kepastian lokasi fasiltas pemurnian bijih mineral (smelter).
“Lokasi lahan sudah ada di lahan milik PT Petrokimia Gresik. Dengan begitu, rekomendasi Surat Persetujuan Ekspor segera kami kirim ke Kementerian Perdagangan,” kata Sukhyar.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara waktu itu pun menjadi berang dengan keputusan pemerintah memperpanjang nota kesepahaman (MoU) terkait renegosiasi kontrak kerjasama selama 6 bulan ke depan pada Jumat lalu itu(23/1/2015). Freeport diperbolehkan ekspor mineral mentah dalam enam bulan ke depan. Perusahaan tambang itu diberi waktu lagi untuk menyiapkan smelter.
“Saya berharap pemerintah bersikap konsisten. Sikap Freeport belum membangun smelter itu bentuk pengabaian kesepakatan. Mereka sudah terlalu banyak diberikan kelonggaran. Padahal, sejak 2009, mereka sudah tahu kalau membangun smelter itu hukumnya wajib,” kata Marwan.
Apalagi, tambahnya, Freeport juga belum melaksanakan kewajiban divestasi saham. Saat ini, Freeport baru melepas sahamnya 9,36%. Padahal, berdasarkan peraturan pemerintah, perusahaan tambang yang tidak terintegrasi dengan smelter harus melepas saham sebanyak 51%.
Kalau terintegrasi, kewajiban divestasinya hanya 40%. Dan apabila mengembangkan tambang bawah tanah, kewajiban divestasi saham hanya 30%.
Rencana Freeport membangun smelter di Gresik itu dipertanyakan banyak pihak. Apalagi, smelter yang katanya akan dibangun di Gresik itu ternyata di lokasi PT Petrokimia Gresik persis di lokasi PT Smelter Gresik untuk perusahaan tersebut, yang sempat membuat Sukhyar tampak kebingungan.
Tambahan pula, sejumlah elemen masyarakat Papua yang terdiri dari gubernur, Majelis Rakyat, dan anggota DPR asal daerah pemiliah Papua menolak keras rencana pembangunan smelter di Gresik. Mereka tidak mau dibohongi lagi.
Menurut tokoh Papua, Lukas Enembe, rakyat Papua selama ini miskin dan tertinggal akibat kekayaan alamnya terus dikeruk PT Freeport dan dibawa ke luar negeri, khususnya Amerika Serikat.
“Pendiri bangsa ini telah berjanji agar bumi, air, dan kekayaan alam ini digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan prinsip kebersamaan, keadilan, berkelanjutan, kemandirian, dan keseimbangan ekonomi nasional. Namun, masyarakat Papua tidak merasakannya,” kata Lukas di Gedung DPR, Jakarta, didampingi Ketua MPRP, Ketua DPRP, Ketua Adat, dan Tony Wardoyo dari Fraksi PDIP DPR, Jumat itu juga
Yang lebih parah, lanjut Lukas Enembe, eksploitasi kekayaan alam Papua telah berlangsung sejak tahun 1967 dan selama itu kontribusi Freeport McMoran sangat rendah dalam kapasitas fiskal daerah. Demikian pula orang asli di sekitar kawasan penambangan mengalami ketersisihan. Di samping rusaknya aliran sungai dan kawasan berburu.
“Jadi, kami mendesak Freeport Indonesia dan Freeport McMoran Inc untuk taat dan patuh dengan platform dasar ekonomi Indonesia, yang wajib melakukan hilirisasi pengolahan tambang di Indonesia dan melarang bahan mentah yang tidak bernilai tambah bagi Indonesia, khususnya untuk tanah Papua,” tutur Lukas Enembe. Karena itu, tambahnya, rakyat Papua menolak keras rencana Freeport Indonesia untuk membangun smelter di luar Provinsi Papua.
Perwakilan masyarakat Papua itu menilai, Freeport selama hampir 50 tahun hanya mengekspor bahan mentah dan tidak memiliki iktikad baik untuk membangun integrasi industri pengolaan di tanah Papua. “Alasan ketidakadaan infrastruktur di Papua sangat tidak beralasan, karena selama ini Freeport tidak memiliki komitmen yang serius dan setengah hati untuk membangun rakyat Papua,” kata Lukas.
Mereka juga meminta pemerintah pusat agar wajib mengikutsertakan rakyat Papua, khususnya Pemda Papua, DPRD, dan MRP dalam proses renegosiasi PT Freeport Indonesia sehingga terwujud jalan tengah atau win-win solution bagi semuanya.
Agar integrasi industri smelter di wilayah Papua tersebut terwujud, Lukas Enembe meminta pemerintah pusat menerbitkan paket kebijakan khusus untuk Papua, yang berisi kemudahan investasi, insentif fiskal dan nonfiskal, akses permodalan, terobosan peraturan kementerian yang menghambat, dan dukungan infrastruktur dasar dari kementerian-kementerian dalam APBN dan dukungan BUMN teknis terkait.
“Kami meminta dukungan sosial politik dari DPR RI dan DPD RI agar mengawal para kementerian teknis dan Freeport Indonesia di dalam mewujudkan integrasi industri smelter di tanah Papua. Itu bagian dari realisasi dari janji para pendiri bangsa agar bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, khususnya rakyat Papua dalam wadah NKRI,” tutur Lukas.
Menteri Jonan
Lalu kisah belum usai ternyata, dua tahun kemudian Menteri ESDM sudah diganti dari Sudirman Said dilengserkan tersandung perombakan diduga kisrus Masela dengan Rizal Ramli. Lalu tergadang nama Archandra Tahar (AT) lagi-lagi apes menteri ESDM yang satu ini berkasus dan hanya menjabat 20 hari, karena berkasus dengan dwi kewarganegaraan alias berpasport ganda, lalu AT pun dilengserkan dan menteri dieganag Lt elh Luhut Binsar Pandjaitan, selama 3 bulan lama juga belum diangkat menteri ESDM, dan yang mengejutkan diangkatnya daur ulang menteri yaitu mantan menhub Ignatius Jonan dan wakilnya AT. Eh sudah dijabat Jonan ada cerita lagi tentang Minerba untuk ekspor. Tepat 11 Januari 2017, Jonan menerbitkan dua Peraturan Menteri ESDM, yaitu Permen ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017. Kedua Permen ESDM ini, mengatur ketentuan antara lain:
Pertama, pemberian izin ekspor terhadap nikel dan bauksit yang belum dimurnikan atau berkadar rendah. Dalam Permen Nomor 6 Tahun 2017 memang disebutkan bahwa pemerintah memberikan izin ekspor nikel jika memiliki kadar di bawah 1,7 persen. Selain itu, terdapat pula aturan soal ekspor bauksit yang telah dilakukan pencucian.
Kedua, terkait perubahan status perusahaan tambang dari Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK). Padahal, perubahan status tersebut seharusnya melalui sejumlah rangkaian terlebih dahulu atau tidak semudah yang ditetapkan oleh Jonan dalam Permen barunya.
Ketiga, terkait pelonggaran atau relaksasi ekspor minerba yang diberikan kepada perusahaan yang telah berstatus IUPK. Padahal, menurut UU Minerba, pemerintah seharusnya tak lagi memberi izin ekspor minerba kepada perusahaan tambang yang tak kunjung membangun pemurnian dan pengolahan mineral (smelter).
“Ketiga materi muatan tersebut tentu sangat tidak memihak pada kepentingan nasional. Bisnis jual beli tanah air akan terus berlangsung sampai lima tahun ke depan. Mineral mentah dan konsentrat di bumi Indonesia akan diekspor tanpa memberikan nilai tambah bagi sebesar-sebesar rakyat Indonesia, padahal dengan adanya pelaksanaan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri maka alan ada peningkatan penerimaan negara, peningkatan nilai tambah produk, penyerapan tenaga kerja, tersedianya mineral di dalam negeri sebagai modal dasar pembangunan bukan hanya sebagai komoditas ekspor, dan lain-lain,” ujar Ahmad Redi dari koalisi masyarakat Sipil yang akan mengugat Jonan ke MA .
Masih kata Redi bahwa belum lagi mengenai ketentuan perubahan KK menjadi IUPK yang menyalahi ketentuan dalam UU Minerba. Melalui skema IUPK maka PT Freeport akan memiliki masa waktu tambahan untuk melakulan operasi produksinya, padahal wilayah operasi PT Freeport setelah berakhir kontraknya maka dapat diambil alih negara menjadi WPN untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Saat ini sedang dibahas strategi uji materi Permen ESDM No.5 Tahun 2017 dan Permen ESDM No.6 Tahun 2017 ke Mahkamah Agung,”katanya Ahad 15 Januari 2017, di kawasan Tebet Jakarta,
Pengamat Energi dari UGM Fahmy Radhi menilai bahwa itu telah berkhianat dan menajdikan perampokaan legal.
“Jika tidak di halau maka akan berbahaya dan merugikan bangsa Indonesia dan Freeport tetap berjaya. Sebenarnya kita sanggup kelola tambang emas di Timika itu, kalau semua elemen BUMN Minerba dibuat saja sama negara Konsorsium dan pasti bisa, jangan kata Jonan kalau tidak diperpanjang siapa yang mengelola? itu pertanyaan salah besar,” jelas Fahmi kepada ENERGYWORLD.
Saat ini Menteri Jonan Akan Digugat Koalisi Masyarakat Sipil, karena Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017 yang telah dikeluarkannya menyusul kedua aturan turunan baru Jonan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang merupakan perubahan ke 4 dari PP 23 tahun 2010 tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 tentang Hasil Uji Materil terhadap Pasal 102 dan Pasal 103 pada UU Minerba.
Beberapa kesepakatan diperoleh dari pertemuan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Ekspor Mineral yang belum diolah dan murnikan di dalam negeri, 15 Januari 2017 berlangsung di Kawasan Tebet, mereka adalah:
1. Koalisi yang dihadiri oleh KAHMI, KAKAMMI, PYWP, Jatam, Walhi NTB, LBH Bogor, LBH Depok, PUSHEP, EWINDO DATA CENTRE (Energy World Indonesia DC), Ahmad Redi, Fahmy Radhi, Marwan Batubara dan Yusri Usman, dan semua telah bersepakat akan mengajukan gugatan dan bersedia menjadi para Pemohon uji materil Permen ESDM No. 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 ke Makamah Agung ( MA) ;
2. Selambat-lambatnya permohonan uji materil akan didaftarkan ke MA pada pekan depan;
3. Sebelum pendaftaran uji materil ke MA, Koalisi Masyarakat Sipil akan gelar konferensi pers pada Rabu, 18 Januari 2017 di Sekretariat KAHMI yang akan menghadirkan beberapa tokoh nasional yang mendukung gerakan ini;
Seperti diketahui Pemohon uji materil ini akan diajukan menyusul Permen ESDM No. 5/2017 dan Permen ESDM No. 6/2017 yang dinilai merupakan turunan aturan yang tertuang dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang merupakan perubahan Ke empat terhadap PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta aturan turunannya, terkesan semua kebijakan tersebut hanyalah mengakomodir kepentingan PT Freeport Indonesia semata.
Ahmad Redi, menambahkan aturan baru yang digagas oleh pemerintah tersebut, hanyalah upaya untuk memberikan perpanjangan kontrak kepada Freeport melalui syarat perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tanpa melalui aturan sesuai tahapan UU Minerba.
Pasalnya, Freeport akan habis masa kontraknya di Indonesia pada 2021 mendatang. dengan perubahan statsus KK menjadi IUP atau IUPK, Freeport dapat memperpanjang kontraknya setidaknya sampai 20 tahun ke depan , dan lebih anehnya bisa tetap diberikan izin ekspor konsentrat walaupun pembangunan smelternya belum ada pada saat ketentuan ini diterbitkan .
“Ini jelas satu pelanggaran terhadap UU Minerba atas pemberian kelonggaran atas kepentingan sepihak ini menunjukkan bahwa selama ini pemerintah tak benar-benar menegakkan aturan yang telah dibuatnya, ini presenden buruk bagi iklim investasi ditanah air ” jelasnya.
Kita tahu selama ini Freeport menjadi salah satu perusahaan tambang yang tak itikat baik terhadap UU Minerba dan Kontrak Karya itu sendiri , faktanya sudah 8 tahun waktu diberikan kemudahan , tetapi hasil pembangunan smelter masih sebatas studi AMDAL saja , sehingga seharusnya tak diberikan kelonggaran apalagi terkait perpanjangan kontrak.
“Ini buntut panjang dari kebijakan pemurnian yang tak terlaksana dari mekanisme yang tidak konsisten terhadap UU, tidak adanya pengawasan, seperti skema pemberian insentif dan penindakan tegas bila tak menjalankan aturan,” tegas Ahmad.
Dan kini apa sebenarnya terjadi? Apakah Freeport & Pemerintah Seperti sedang berkolaborasi? Silakan simpulkan sendiri.
sumber energyworld.co.id [AMD]