Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi memastikan pihaknya siap memanggil perwakilan Google untuk klarifikasi data laporan penghasilan yang diperoleh dari Indonesia.
“Saya yang punya data, minta penjelasan sama dia, benar atau tidak (datanya),” kata Ken di Jakarta, Rabu (18/1).
Ken tidak menyebutkan secara jelas waktu pemanggilan tersebut, namun agenda itu dilakukan karena selama ini Google selalu berkelit apabila otoritas pajak meminta data file elektronik terkait pendapatan yang diterima dari iklan.
Untuk itu, ia mengharapkan Google mau memenuhi undangan dari DJP tersebut, agar proses pemungutan pajak penghasilan yang selama ini tertunda cukup lama, bisa terselesaikan dengan cepat.
Ken juga memastikan setiap perusahaan yang beroperasi dan memperoleh penghasilan di Indonesia, wajib memenuhi ketentuan perpajakan dan memberikan kontribusi berupa setoran pajak kepada kas negara.
“Semua harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kalau ketentuan sudah ada, saya tinggal menyesuaikan. Bukan saya memaksa terus mengancam,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus Muhammad Haniv mengatakan Google hingga saat ini belum menyerahkan laporan pembukuan tambahan terkait penghasilan yang diterima di Indonesia.
“Kita belum begitu percaya dengan statement mereka. Kita masih menunggusupporting documentnya. Karena banyak sumber penghasilan mereka, ada pay per click dan aplikasi lainnya,” ujarnya.
Selain itu, ia mempertanyakan keengganan Google yang tidak mau ditetapkan sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT), padahal perusahaan teknologi informasi asal AS ini memiliki server pendukung yang beroperasi di Indonesia.
“Mereka ini punya server di Indonesia. Itu merupakan bukti fisik, karena definisi BUT mengharuskan adanya kehadiran fisik. Kita masih menggunakan ketentuan yang lama terkait hal itu,” kata Haniv.
Menurut catatan DJP, Google di Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd. di Singapura.
Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (5) Huruf N Undang-Undang Pajak Penghasilan, Google seharusnya berstatus sebagai BUT sehingga setiap pendapatan maupun penerimaan yang bersumber dari Indonesia dikenai pajak penghasilan.
Namun, Google menolak adanya pemeriksaan pajak lebih lanjut dari otoritas pajak Indonesia dan tidak mau adanya penetapan status sebagai BUT, padahal pendapatan Google dari Indonesia mencapai triliunan rupiah, terutama dari iklan.|ant