Musuh Umat Islam: Jokowi dan PDIP

0
2144

Oleh: M. Sembodo*

Dalam kongres ke 8 PRD baru-baru ini, terlihat wajah Ajianto Dwi Nugroho, kader Kasebul [Kaderisasi Sebulan] lulusan Fisipol UGM, berada di arena kongres. Memang itu kongres terbuka sehingga siapa saja bisa hadir. Tapi pertanyaan perlu diajukan: mengapa ia sampai mengusahakan dirinya muncul di arena kongres PRD? Sebatas kebetulan? Atau ada tujuan lain?

Sepertinya kader-kader fundamentalis Katolik didikan Pater Beek seperti Ajianto mulai resah. PRD [Partai Rakyat Demokratik] yang selama ini anggotanya ada dari kalangan Kasebul, mulai berdekatan dengan Islam politik seperti PKS. Ini tentu tidak mereka inginkan. Mereka berharap PRD tetap menjadi partai liberal sekuler. Sementara itu, keresahan juga ditunjukkan kalangan fundamendalis Kristen seperti Weby Warouw [faksi PRD dari unsur fundamentalis Kristen]. Sampai-sampai ia meminjam mulut Wibowo Arif– yang dilabelinya sebagai budayawan. kita tak pernah tahu dia budayawan apa– untuk menyerang posisi PRD yang berdekatan dengan PKS. Sementara dari kalangan anarko Pajeksan juga tak terima dengan langkah PRD tersebut.

Pengantar tulisan saya di muka untuk memperlihatkan kekhawatiran kalangan fundamentalis Katolik dan Kristen terhadap bangkitnya Islam politik. Secara lebih luas, mereka sekarang berkumpul di sekitar PDIP dan Jokowi. Ini tentu berbahaya karena PDIP dan Jokowi sekarang sedang berkuasa. Dengan begitu mereka akan dengan gampang menebaskan pedang kekuasaan untuk memenggal umat Islam.

Kedekatan PDIP [dulu PDI] dengan kalangan fundamentalis Katolik sudah lama. Dalam memoar Jusuf Wanandi [hlm. 327] disebutkan hubungan dekat Jendral Benny Moerdani dengan keluarga Sukarno. Tertulis di situ: “Benny menikah dengan Hartini pada tahun 1964. Hartini adalah kemenakan kawan dekat Soekarno di Bandung Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung). Perkawinan ini dilaksanakan di Istana Bogor dengan Bung Karno sebagai wali.”

Kedekatan itulah yang membuat Benny, seperti tulisan saya sebelumnya “Jokowi dan Politik Anti Islam”, melindungi Megawati dari serangan Suharto pada tahun 1996. Benny berharap bahwa PDIP bisa menjadi rumah bangi kader-kader Kasebul setelah mereka tersingkir dari Golkar.

Perlu dijelaskan sekilas, pada awal Orde Baru, kader-kader Kasebul banyak terdapat di Golkar. Bahkan Ali Moertopo adalah orang penting di balik Golkar. Dan, CSIS merupakan lembaga pemikir yang ikut merumuskan strategi Golkar untuk memenangkan Pemilu. Banyaknya kader fundamentalis Katolik sempat diprotes tokoh-tokoh Islam. Salah satu kritik berasal dari K.H. Hasbullah Bakry yang menulis kritiknya di “Harian Kami” edisi 9 dan 17 Agustus 1973 [Hadiz&Bourchier: 189-90]. Menurutnya, sepertiga dari pengurus pusat Golkar beragama Katolik dan Kristen. Sementara, kalangan Islam tak diberi tempat. Padahal pemilih Golkar hampir 95 persen adalah umat Islam.

Kedekatan Golkar dengan fundamentalis Katolik mulai retak mendekati tahun 90-an. Pada periode ini ada dua peristiwa penting. Pertama, Alamsjah Ratuprawiranegara dkk, merintis berdirinya ICMI [Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia]. Inilah yang menandai bangkitnya Islam politik. Kedua, dalam Pemilu 1987, PDI mampu memobilisasi satu juta massa di hari kampanye terakhir di Jakarta. Gambar Sukarno diarak keliling Jakarta oleh simpatisan PDI. Ketua Golkar saat itu, Sudharmono, mencium keberhasilan PDI mengerahkan massa yang besar karena dukungan Benny yang saat itu Panglima ABRI [Wanandi:326-7]. Dari dua peristiwa inilah hubungan Golkar dan kalangan fundamentalis Katolik mulai renggang. Dalam perkembangan berikutnya, Golkar kemudian banyak diisi oleh aktivis Islam, terutama dari HMI dan PMII.

Setelah Golkar dirasakan tidak lagi enak dijadikan rumah, pelan-pelan kader fundamentalis Katolik hijarah ke PDIP. Hijrah ini semakin memuncak pasca Peristiwa 27 Juli 1996. Secara terang-terangan Jendral Benny dan kliknya [Hendropriyono, Agum Gumelar, Sutiyoso, Theo Syafii, dll], mendukung Megawati.

Situasi PDIP yang didominasi oleh kaum fundamentalis Katolik disadari oleh kalangan tokoh-tokoh Islam. Peristiwa ini terjadi pada pemilihan presiden pada tahun 1999. Pada waktu itu PDIP menang Pemilu. Megawati kandidat kuat presiden. Inilah yang menjadi kekhawatiran tokoh-tokoh Islam bahwa Megawati akan menjalankan nasionalisme sekuler yang akan mengorbankan umat Islam [Hadiz&Bourchier: 29]. Maka dibentuklah Poros Tengah, suatu aliansi politik gabungan antara partai-partai Islam dan Golkar. Pada saat itu Ketua Golkar adalah Akbar Tanjung, mantan Ketua HMI. Pada akhirnya Poros Tengah berhasil mengganjal Megawati. Dari sinilah dendam Mega/PDIP terhadap partai-partai Islam dan Golkar.

Tentu Mega butuh waktu lama untuk membalas dendam. Ketika ia jadi presiden, posisinya belum kuat sehingga masih membutuhkan dukungan partai Islam dan Golkar. Setelah SBY jadi presiden, dendam Mega sementara diarahkan pada SBY yang dianggap telah mempermalukan dirinya. Dendam itu masih diperam sampai sekarang. Nah, setelah sekarang berkuasa lagi dengan Jokowi sebagai bonekanya, Mega mulai melancarkan balas dendamnya terhadap partai-partai Islam dan Golkar.

PDIP sekarang memang kental aroma kader-kader fundamentalis Katolik dan Kristen. Hasto Kristianto, pjs Sekjen, merupakan kader Kasebul lulusan Fakultas Teknik UGM, senior Ajianto. Orang banyak mengira dia alumnus GMNi, padahal ia dulunya aktivis PMKRI. Ia digembleng di PMKRI [Pergerakan Mahasiswa Kantolik Republik Indonesia] selama mahasiswa. PMKRI didirikan pada tanggal 25 Mei 1947. Hari itu dipilih karena bertepatan dengan hari Pantekosta, yaitu hari turunnya Roh Kudus ke muka bumi. Inilah yang dijadikan simbol bahwa Roh Kudus turun ke bumi guna merestui mahasiswa Katolik yang sedang berkumpul untuk berjuang berlandaskan ajaran Katolik. Pimpinan PMKRI yang menonjol antara lain Jusuf Wanandi dan Sofian Wanandi. Di PDIP, Hasto berhasil menyingkirkan kader-kader yang berasal dari GMNI [Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia]. Hasto pula yang digunakan untuk menyerang pimpinan KPK yang berasal dari aktivis Islam, Abraham Samad. Sebelum jadi Ketua KPK, Samad merupakan pengacara yang dekat dengan aktivis Islam yang digolongkan radikal.

Juga menguat di PDIP anggota yang berasal dari kalangan Kristen fundamentalis. Mereka merupakan didikan Parkindo [Partai Kristen Indonesia]. Parkindo merupakan salah satu partai selain PNI dan Murba yang berfusi membentuk PDI. Kader Parkindo yang menonjol sekarang adalah Maruar Sirait, setelah bapaknya, Sabam Sirait, mulai mundur dari politik. Dikabarkan dia dekat dengan Puan Maharani, salah satu orang terkuat di PDIP setelah Megawati. Sementara kader Parkindo yang baru muncul adalah Adian Napitupulu. Sayang kiprahnya tercoreng gara-gara bobok siang di ruang sidang.

Dengan anatomi seperti itu tak mengherankan kalau Mega/PDIP lewat tangan Jokowi berusaha menghancurkan umat Islam. Pas sekali, Jokowi sendiri dikelilingi orang-orang yang anti Islam. Sebut saja di antaranya Luhut Panjaitan. Walaupun sering berseberangan dengan Hendropriyono, Luhut merupakan salah satu kader terbaik Benny. Ia sudah lama dipersiapkan untuk menduduki jabatan strategis. Seandainya Luhut Islam, kata Sintong Panjaitan, ia bisa jadi presiden. Ada Andi Wijayanto, anak Theo Sayii. Seperti yang telah diungkapkan tadi, Theo termasuk orang Benny. Awalnya, Theo beragama Katolik, agar tak mencurugikan ketika menyusup ke PDIP, ia pindah beragama Islam. Bagi kader-kader fundamentalis Katolik, guna menjalankan tugas penyusupan, tak masalah kemudian pindah agam. Kalau mereka ditanya mereka akan bilang, “lihat KTP saya Islam.” Persis yang sering dikatakan Ajianto ketika didesak apakah dia kader Kasebul.

Bila mencermati perpecahan PPP, maka ada kesamaan modus dengan perpecahan Parmusi [Partai Muslim Indonesia] pada tahun 1973. Saat itu Ali Moertopo, seorang intelejen didikan Pater Beek, memunculkan D.J. Naro untuk mempekeruh Parmusi sehingga memunculkan kepemimpinan ganda. Taktik ini dipakai dalam memecah PPP. Romy dijadikan bidak agar PPP terbelah. Dan, berhasil. Sampai sekarang PPP masih dilanda kisruh yang belum jelas ujung penyelesaiannya.

Pembelahan Golkar serupa. Kenapa Golkar ikut dibelah padahal bukan partai Islam? Selain kedekatannya dengan Prabowo, Golkar sekarang didominasi aktivis Islam. Ketua Fraksi Golkar, Ade Komarudin, adalah aktivis HMI, sementara sekretarin fraksi, Bamsoet, juga aktivis HMI. Sekjen Golkar, Idrus Marhan, merupakan alumni PMII. Pengurus Golkar yang lain seperti Ali Mochtar Ngabalin menduduki jabatan sebagai Ketua BKPRMI, sebuah wadah bagi remaja masjid. Bahkan ketua DPR, Setyo Novanto, kini telah memeluk agama Islam. Dengan kondisi seperti itu, tentu Golkar merupakan ancaman bagi kaum fundamentalis Katolik. Maka diperlukan Yorrys Raweyai, seorang Katolik, untuk mengacak-ngacak Golkar.

Memecah partai Islam dan Golkar merupakan target jangka panjang Mega/PDIP, khususnya dalam menghadapi Pilkada. Fakta yang ada selama ini, banyak kepala daerah yang berasal dari kalangan partai Islam dan Golar. Seringkali PDIP kesulitan bila berhadapan dengan gabungan partai Islam dan Golkar dalam Pilkada. Sebagai contoh di Jabar dan Sumut, PDIP kalah dengan PKS dan koalisinya. Sementara ketika unsur-unsur Islam dan Golkar yang menjadi kepala daerah, mereka pro terhadap umat Islam. Ini tentu dianggap mengkhawatirkan oleh rezim Jokowi yang didukung PDIP, fundamentalis Katolik/Kristen, serta jendral-jendral yang anti Islam. Guna mematahkan dominasi partai Islam dan Golkar, maka soliditas partai-partai tersebut harus dihancurkan. Dan, usaha itu sekarang telah dimulai.

Sekali mendayung dua tiga pulai terlampau. Itulah yang sekarang dilakukan rezim Jokowi dan PDIP. Saat wadah umat Islam berupa parpol diacak-acak, rezim Jokowi sekaligus juga menebarkan Islam phobia. Islam dimunculkan kembali sebagai ancaman terhadap keamananan. Maka, didukung kaum fundamentalis Katolik/Kristen, jendral anti Islam dan sekolompok Islam liberal yang bernaung dalam JIL/Salihara, melakukan pembrokiran terhadap situs-situs Islam. Dalih-dalih klise dipakai oleh rezim Jokowi, PDIP dan pendukungnya untuk memenggal kebebasan bicara umat Islam. Tentu tujuan jangka panjangnya adalah membuat umat Islam demoralisasi. Ketika sudah demoralisasi maka akan dengan mudah dikendalikan oleh rezim Jokowi.

Sekarang pertanyaannya, mampukah umat Islam di Indonesia menumbangkan dua musuh pokoknya itu: Jokowi dan PDIP? Kalau mampu, umat Islam akan selamat. Kalau tidak mampu, tinggal tunggu waktu umat Islam diinjak-injak seperti zaman Orba dan Benny Moerdani***

*) Penulis buku “Pater Beek, Freemason dan CIA”. Tinggal di Malang, Jawa Timur. Sedang menempuh S2 bidang sosiologi di salah satu universitas Islam di Malang.

Daftar Bacaan:

Harolad Crouch, “Militer dan Politik di Indonesia”, Sinar Harapan, 1999.

David Bourchier dan Vedi R. Hadiz [editor], “Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965-1999″, Grafiti & Freedom Institute, 2006.

Jusuf Wanandi, “Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998″, Penerbit Kompas, 2014.

M. Sembodo, “Pater Beek, Freemason dan CIA”, Galan, 2009.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.