Persoalan maraknya pekerja (buruh) ilegal asal China bukan kali ini saja. Di awal abad ke 17 pendatang haram tersebut sudah bikin pusing pemerintah kolonial Belanda.
Lembaga Vereenigne Oostindische Compagnie (VOC), atau lebih dikenal Dewan Hindia (Raad van Indie), terus menerus menangkapi mereka.
Kini, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, para buruh kasar asal China kembali menyerbu. Secara ilegal mereka bekerja dibanyak perusahaan yang notabene milik warga Thionghoa. Belakangan diketahui menguasai tambang emas di Bogor, dan bikin Kampung Tiongkok di tengah hutan. Edan! Selasa pagi (10/1) Kantor Imigrasi Bogor, Jawa Barat, dibantu aparat kepolisian setempat menciduk 18 tenaga kerja asing (TKA) ilegal asal Tiongkok di kawasan tambang emas dan galena, Cigudeg, Kabupaten Bogor. Di wilayah perbukitan itu sekitar 80 orang China mendirikan puluhan barak yang disulap menjadi Kampung Tiongkok.
Dari 18 orang yang ditangkap, tiga di antaranya wanita. Sementara puluhan lainnya, ketika aparat melakukan penggrebekan, berhasil melarikan diri ke dalam hutan. Hingga berita ini ditulis, polisi dan pihak Imigrasi Bogor masih menyisir keberadaan mereka yang bersembunyi.
Mereka yang digelandang itu, enam orang dinyatakan memiliki paspor dengan visa kunjungan wisata, sedangkan 12 lainnya pendatang gelap tanpa surat-surat. Petugas mencurigai puluhan orang China yang kabur tersebut tidak memiliki dokumen resmi.
Lokasi tersebut merupakan tambang emas PT Bintang Sindai Mineral Geologi (BCMG) milik Mr Chan asal Tiongkok, sebagaimana izin yang dikeluarkan dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemkab Bogor, sejak 14 Juni 2010. Masa berlaku izin tambang seluas 102,90 hektar sampai 2020. Sementara komoditasnya berupa mineral logam.
Menurut juru bicara PT BCMG, Fredi, keberadaan pekerja asal Tiongkok di Cigudeg sudah lima buan terakhir ini. Mereka diakui merupakan tenaga ahli untuk urusan mineral dan logam. Tapi faktanya, ketika ditanya petugas Imigrasi, mereka tak mengerti soal mineral dan logam.
“Saya disuruh bekerja di tambang emas, tak tahu soal logam,” kata salah satu pekerja haram tersebut.
Kepala Imigrasi Bogor Herman Lukman mengatakan, sebagian para TKA masuk dari jalur resmi, namun diketahui menyalagunakan izin tinggal. Mereka yang melanggar dapat dikenai pelanggaran pidana atau dideportasi ke negara asal.
“Ada belasan tanpa paspor, sisanya punya kelengkapan. Rata– rata pekerja tambang. Yang melanggar dikenai Pasal 116 UU Keimigrasian, yakni tentang penyalagunaan dokumen,” kata Herman kepada wartawan di lokasi tambang, Selasa (10/1).
Ditambahkan, keberadaan TKA Tiongkok ini tidak terendus karena lokasi tambang di tengah hutan. Diharapkan penggerebekan di tambang emas Cigudeg itu akan dikembangkan untuk menjaring TKA ilegal lainnya.
Data Tak Valid
Masalah TKA ilegal asal China yang berhasil diberangus Kantor Imigrasi bukan kali ini saja. Puluhan buruh gelap Tiongkok diketahui bekerja di banyak perusahaan swasta di Kalimantan, Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Bahkan ada pula dilibatkan di proyek pemerintah. Ironis, memang.
Sejauh ini jumlah TKA asal Tiongkok di Indonesia masih simpang siur. Bahkan data jumlah yang disodorkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri kepada Presiden Joko Widodo, menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal juga kurang valid.
“Menaker selalu dari dulu selalu mengadu data-data dan menyangkal fakta-fakta di lapangan,” ungkap Said kepada wartawan dalam forum diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Menurut dia, keberadaan TKA asal China sudah sangat meresahkan tenaga kerja Indonesia. Apalagi pekerjaan yang mereka kerjakan tidak memerlukan keterampilan khusus, yang seyogianya bisa dikerjakan oleh buruh lokal.
“Data kami sejak Januari sampai Maret 2016, ada sekitar 46 ribu, tetapi Menaker menyangkal dan menyatakan bahwa hanya 2.700 orang saja,” bebernya.
Data Kemenaker, lanjut dia, merupakan data pasif yang bersumber dari Dinas Tenaga Kerja Kota/Kabupaten dan Provinsi yang hanya menyangkut TKA asing yang memiliki keterampilan.
“Disnaker hanya menunggu. Jadi nggak mungkin perusahaan yang mempekerjaan TKA mau melapor. Yang membuat data dan fakta Menaker itu berbeda. Jauh berbeda 10 kali lipat. Yang ilegal mana mungkin dilaporkan,” tegas Said.
Pada bagian lain Said Iqbal berharap Menaker Hanif Dhakiri me-lakukan inspeksi mendadak (Si-dak) ke daerah-daerah yang dicurigai banyak TKA ilegal China. Misalnya, di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur. Di salah satunya pabrik peleburan baja disinyalir banyak mempekerjakan buruh kasar asal Tiongkok.
Di pabrik itu, menurut dia, setiap pekerja asal Tiongkok nominal gajinya amat fantastis. Pengemudi forklift saja, mendapat upah Rp 10 juta perbulan. “TKA China tidak ada yang dibayar UMR. Kalau dibayar UMR ya, bisa double gajinya. Mereka itu kan jago soal dagang,” ujarnya.
Buruh Tauchang
Ketika era colonial, VOC Belanda dibuat pusing para pendatang Tiongkok berambut tauchang (kepang), yang umumnya bekerja di pabrik gula di Batavia (Jakarta), Bekasi, Tangerang, Kerawang dan kota-kota di Jawa lainnya. Mereka memang sengaja diselundupkan oleh para pemilik pabrik yang juga berasal dari China.
Yang membuat pemerintah kolonial gerah, pekerja Tiongkok kerap bikin gaduh. Tak jarang mereka melakukan tawuran masal antar pabrik. Dan yang tak dapat pekerjaan, secara berkelompok berbuat kejahatan. Merampok orang-orang kaya.
Situasi itu membuat geram Gubernur Jenderal Johanes Camphuijs. Sejak tahun 1690 pemerintahnya membatasi imigran Tionghoa diBatavia. Yang dating dari Tiongkok langsung ditangkap, dibuang ke Maluku, Irian (Papua). Bahkan tak sedikit dari mereka dikirim ke Cylon (Sri Lanka).
Lebih kejam lagi dilakukan Gubernur Jenderal Adrian Valckenier, pengganti Johanes Camphuijs. Pendatang Tiongkok itu bukan dibuang, tapi dibantai di tengah laut. Bahkan sanksi itu diterapkan pula kepada pemilik pabrik yang mempekerjakannya. Ironisnya, setiap merazia pendatang Tiongkok dari rumah ke rumah, tak jarang pemerintah colonial Belanda melakukan pelecehan terhadap para pendatang wanita.
Kini, pendatang asal Tiongkok tak lagi berambut tauchang, umumnya berambut pendek dan pelontos. Memang tidak mengganggu kepentingan umum, namun keberadaan mereka tetap saja telah merampok pekerjaan buruh lokal. Apalagi mayoritas dari mereka buruh kasar, bukan tenaga ahli.
Mereka yang melanggar, sesuai ketentuan UU Keimigrasian, sanksi yang dikenakan berupa deportasi atau kurungan badan dan denda materi. Tidak dibuang atau dibantai sebagaimana sanksi yang diberikan VOC Belanda.
Karena sanksi UU Keimigrasian tak begitu berat, jangan heran apabila pekerja asal Tiongkok tidak khawatir atas hukuman yang bakal diterima jika keberadaannya diketahui. Sepertinya pemerintah harus merevisi ketentuan bagi pendatang gelap tersebut. tim/hsinanoesha/dra/AMNS