ANTARA KRITIK, SARAN DAN SINDIRAN SERTA HOAX
Oleh : Ferdinand Hutahaean
Benarkah Presiden Jokowi saling sindir dengan SBY Presiden RI Ke 6? Banyak yang menganalogikan bahwa keduanya saling sindir terbuka dimedia sosial bahkan dalam realitas kebijakan.
Sepertinya ada analogi maupun opini yang salah bahkan cenderung menyesatkan tentang situasi tersebut. Upaya membangun opini salah tersebut terlihat dari pemilihan kata dimedia terutama media main stream yang memang selama ini menjadi media partisan dan pendukung rejim berkuasa.
Adalah kewajiban dan hak bagi setiap warga negara untuk memberikan kritik kepada rejim berkuasa apabila ada hal-hal yang memang layak dikritik. Kritik adalah koreksi yang sangat bermamfaat bagi pemerintah untuk menguji kebijakanya apakah diterima publik atau ditolak publik. Kritik adalah penting bagi pemerintah untuk mengetahui sejauh mana kebijakannya sudah tepat atau apakah perlu perbaikan.
Dalam rangka turut serta memberikan masukan bagi pemerintah inilah, Presiden RI Ke 6 Soesilo Bambang Yudhoyono sering berkomentar baik melalui artikel di media maupun lewat tulisan pendek atau cuitan di twitter. Adalah hal yang wajar bagi siapapun yang merasa perlu meluruskan sebuah kebijakan karena itu adalah bagian dari peran serta masyarakat dalam mengawal perjalanan negara. Pemerintah tentu tidak boleh dibiarkan tanpa kritik maupun koreksi.
Sehingga rejim berkuasa ini semestinya berterimakasih kepada SBY maupun kepada semua pihak yang telah memberikan koreksi setiap kebijakan yang ada. Tidak sepatutnyalah rejim berkuasa dan para pendukungnya menganalogikan kritik dan koreksi sebagai gangguan pada kekuasaan dan mengganti kata kritik dengan sindiran apalagi dicap hoax. Sindiran itu terlalu berkonotasi negatif dan mendegradasi makna kritik yang postif menjadi seolah negatif. Tuduhan hoax itu seolah kritik menjadi fitnah.
SBY dan siapapun tentu bukan orang yang kurang kerjaan hingga harus menyindir-nyindir pemerintah atau menyebar fitnah.
Rejim berkuasa atau pemerintah, akan lebih bijak jika merespon kritik yang ada baik secara terbuka maupun tertutup dengan apresiasi maupun ucapan terimakasih. Tidak justru merespon kritik dengan sebuah aksi yang justru jadi sindiran kepada pihak yang mengkritik.
Coba kita lihat reaksi Presiden Jokowi merespon kritik SBY saat melakukan perjalanan dengan tajuk tour the java. Presiden memberikan respon dengan mengunjungi proyek Hambalang yang memang hingga kini tidak kunjung usai. Respon yang kekanakan karena ternyata sejak Presiden mengunjungi proyek tersebut tidak kunjung menghasilkan sebuah rencana penyelesaian proyek yang memang terhenti itu.
Dengan demikian, respon tersebut terkesan hanya untuk menyindir SBY yang mana oknum kader Partai Demokrat memang menjadi terpidana atas proyek tersebut. Pantaskan Presiden merespon kritik dengan sindiran? Terserah jawaban setiap orang menilainya, tapi bagi saya sangat tidak pantas seorang Presiden merespon kritik dengan sindiran.
Terbaru adalah respon kekanakan kedua yang ditunjukkan dalam cuitan Presiden Jokowi kemarin. Jokowi tampak sedang berlagak bahagia saat tertawa terbahak menyaksikan lakon hiburan pada acara HUT Megawati Ketum PDIP. Twit yang sedang tertawa itu seolah merespon twit SBY yang mengkritik kondisi saat ini.
Ada kesan dan pesan yang ingin disampaikan lewat cuitan Presiden Jokowi tersebut bahwa seolah-olah negara sedang sejahtera dan baik-baik saja sehingga presiden banyak waktu untuk tertawa dan tidak perlu menghiraukan kritik SBY lewat cuitan di twitternya.
Inilah respon lucu dan sedikit kekanakan yang semestinya tidak patut dilakukan. Mestinya, Presiden Jokowi melakukan koreksi internal dan memperbaiki pemerintahannya agar kemudian bisa menyelesaikan masalah-masalah bangsa daripada merespon kritik dengan sindiran atau memvonisnya dengan tuduhan hoax serta mengancam menindak tegas serta keras para pemberi informasi yang memberi kritik kepada pemerintah.
Bukankah kalimat menindak dengan tegas dan keras itu bentuk kekerasan verbal kepada publik? Semestinya cukup menyatakan agar pihak berwenang menindak sesuai aturan hukum yang berlaku.
Jakarta, 25 Januari 2017