PRIBUMI – Kepala adat 7 (tujuh) suku di area tambang PT Freeport Indonesia di Provinsi Papua mendesak pemerintah segera memberikan kepastian terkait kelanjutan megaproyek tersebut. Ini ditujukan agar perekonomian masyarakat pedalaman kembali normal.
Demikian diungkapkan Koordinator Kepala Adat 7 Suku, Silas Markime usai bertemu dengan Staf Khusus Presiden RI Lenis Kogoya, S.Th., M. Hum., di Gedung Sekretariat Negara Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, dalam rilisnya Jumat (3/2).
Pertemuan dengan SKP Lenis Kogoya dalam rangka menyampaikan aspirasi masyarakat pedalaman kepada pemerintah pusat terkait kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Kata Silas, pihaknya memahami kepentingan Pemerintah Indonesia dalam melakukan kajian dan pemenuhan sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi Freeport. Namun, jika Freeport tidak beroperasi sebagai mana mestinya, dirinya khawatir akan berdampak domino yang sangat panjang.
“Perlu ada jaminan dari pemerintah agar masyarakat pedalaman tidak terganggu akibat dari persoalan kontrak karya yang berlarut-larut. Saya percaya pemerintah punya solusi terbaik. Masyarakat mengharapkan kontrak karya kembali normal,” kata Silas.
Pada pertemuan dengan SKP Lenis Kogoya, ada beberapa poin yang disampaikan, antara lain, diharapkan pemerintah membentuk tim independen terkait kajian kontrak karya yang terkait dengan masyarakat adat.
Selain itu, SKP juga harus datang langsung ke Timika untuk melihat secara langsung kehidupan masyarakat saat ini di areal tambang Freeport untuk mendapatkan masukan dari masyarakat lokal.
“Kami juga berharap, perwakilan 7 Suku Papua ini juga dapat diterima langsung oleh Presiden Jokowi,” kata Silas.
Sekadar diketahui, 7 Suku Papua tersebut antalain Suku Amungme, Kamoro, Moni, Dani, Nduga, Damar dan Mee.
Suku-suku tersebut mendiami sejumlah wilayah yang berlokasi di sekitar tambang Freeport. Kelangsungan hidup suku-suku tersebut tergantung dari pembagian kontrak karya dari Freeport.|DRY