Ada Tali Temali Alimin, Muso dan Amir Syarifuddin Dengan Pemerintah Kolonial Belanda
Saya kurang sreg dengan Istilah radikal, entah itu sosialis radikal, Islam radikal, bahkan nasionalis radikal. Karena istilah radikal dalam konteks suatu pergerakan, apalagi pergerakan politik, mengesankan adanya suatu idealisasi revolusioner, namun tanpa yang tidak jelas dan tidak terarah. Memberi ruang para pihak dari luar lingkaran, untuk mengatur permainan ke dalam lingkar dalam.
Dari penelisikan secara singkat terhadap sejarah kegagalan Partai Komunis Indonesia (PKI) baik pada 1926, Pemberontakan Madiun 1948 maupun Gerakan September 1965, di situlah akar soalnya. Adanya radikalisasi dalam pengertian idealisasi tanpa kejelasan arah dan tujuan, sebagai akar penyebab gagaalnya pergerakan mereka.
Kalau kita telelusur beberapa tokoh pentingnya misalnya, salah satunya tentu saja Muso. Gimana gambaran sekilas biografi Muso? Muso lahir di Kediri, pada 1897. Menempuh pendidikan sekolah guru di Jakarta. Di Jakarta, Muso berteman dengan Alimin, yang memang lebih ideologis untuk disebut kader tulen PKI.
Namun sebuah studi mendalam yang dilakukan alm Soe Hok Gie, dalam skripsi S-1 yang kemudian dibukukan berjudul Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, saya menemukan sebuah fakta penting, meskipun orang lain mungkin anggap ini tidak substansial. Ternyata selama masa pendidikan sekolah guru di Jakarta, Muso sempat menjadi “anak kesayangan” Dr Hazeu, penasehat urusan bumiputera, dan seorang theosifist D van Hinloopen Labbterton.
Mengapa ini merupakan sebuah data penting? Sebab sejak satu dua abad masa penjajahan Belanda di Indonesia, kantor urusan bumputera sejatinya merupakan organ tersamar dari pemerintah kolonial Belanda untuk melancarkan operasi-operasi intelijen di Indonesia. Seperti Snock Horgronje, Dr Drewes, dan Dr Hazeu di era 1920-an ketika Muso mulai berkiprah dalam pergerakan politik.
Sedangkan keterkaitan Muso dengan theosofist D van Hinloopen Labberton, juga tidak kalah menarik. Karena Theosofi, termasuk yang ada di Indonesia, sejatinya merupakan sarangnya kaum pagan dari Iluminati dan Freemason.
Bisa jadi, gara-gara kedekatan Labbterton dengan Muso, kemudian ada arahan dari Dr Hazeu dan Labbterton agar Muso membangun pengaruhnya di lingkaran Sarikat Islam yang waktu itu HOS Cokroaminoto merupakan salah satu tokoh sentralnya selain Haji Agus Salim, Abdul Muis, dan lain-lain. Apalagi sewaktu sekolah di Jakarta Muso berkawan akrab dengan Alimin.
Kecenderungan Muso yang lebih merupakan sosok radikal ketimbang benar-benar mendalami Marxisme secara ideologis, nampaknya sama sekali luput dalam penilaian Amir Syarifuddin, ketika bergabung dengan Fron Demokrasi Rakyat (FDR). Yang kemudian bermuara pada meletusnya Pemberontakan Madiun 1948.
Kecenderungan Muso sebagai radikalis ketimbang Marxis-ideologis atau sosialis, membuat kesetiaan politiknya pun cenderung melebar dan menyebar, ketimbang terpusat pada satu basis politik atau partai tertentu. Dan ketelibatannya di PKI pun, hanya salah satunya. Dia dekat dengan HOS Cokro di SI, tapi juga dekat dengan Darsono dan Alimin yang pada perkembangannya merintis PKI yang kebetulan juga awalnya binaan orang Belanda yang bernama Snevleet.
Lantas bagaimana dengan Alimin, tokoh sentral PKI yang terlibat dalam pemberontakan Madiun? Alimin Prawirodirjo dilahirkan di Surakarta pada 1889, dari keluarga yang amat miskin. Nah di sini pula sebuah temuan menarik muncul, juga dari gambaran biografis Soe Hok Gie dalam buku yang saya sebut tadi. Ternyata Alimin pun ada tali temali dengan Dr GA Hazeu.
Bahkan buikan sekadar “anak kesayangan” Hazeu seperti halnya Muso. Alimin bahkan pernah dipungut anak oleh Dr Hazeu sehingga Alimin berkesempatan untuk bersekolah setinggi-tingginya. Pada perkembangannya Alimin terjun ke dunia jurnalistik, perburuhan dan akhirnya politik.
Yang tak kalah misterius adalah Amir Syarifuddin, Perdana Menteri kedua Indonesia, yang mana karir politikmya tamat pada 1948 karena harus bertanggungjawwab terhadap gagalnya diplomasi Indonesia terhadap Belanda melalui Perjanjian Renvile. Gara-gara perjanjian Renvile ini, wilayah kedaulatan Indonesia semakin menyempit sekadar Jawa dan Sumatera.
Kalau menelisik riwayat hidupnya, kecenderungannya pada sosialisme radikal, pada perkembangannya Amir menjadi sangat tidak skematik dalam menjabarkan paham sosialisme-nya. Sehingga dalam menjabarkan kepada siapa harus bersekutu pun, lebih dipengaruhi oleh kecenderungan psikologisnya yang gampang berubah-ubah, tidak stabil dan impulsif. Misalnya ketika Jepang masuk Indonesia, Amir secara naif hanya melihat fenomena itu sekadar sebagai wujud fasisme yang hadir di Indonesia. Bukan sebagai gejala iimperialisme dan kolonialisme yang merupakan konsekwensi logis dan titik puncak dari praktek-praktek kapitalisme global. Yang mana kalau Amir mendalami Marxisme secara kritis, fasisme sebenarnya merupakan upaya para kapitalis untuk mencegah krisis kapitalisme mengarah pada bangkitnya kaum proletar yang bersatu dengan berbagai elemen masyarakat lainnya yang juga korban dari kapitalisme dan imperialisme.
AKibatnya, Amir malah masuk skema para kapitalis global, dengan ikut serta bergabung dengan gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang. Celakanya, mentor Amir dalam menyusun dan menggalang aksi anti fasisme itu, justru adalah seorang pejabat pemerintah kolonial Belanda, yaitu Van der Plas, yang pada saat jelang Jepang masuk Indonesia, merupakan Gubernur Jawa Timur.
Namun para aparat intelijen Jepang di Indonesia waktu itu cukup canggih untuk mengendus adanya kerjasama senyap antara Amir dan Van der Plas. Maka Kempetai (polisi militer Jepang) menangkap Amir, dan menjatuhkan hukuman mati pada putra kelahiran Sumatera Utara ini.
Untunglah Amir masih beruntung, karena Bung Karno dan Bung Hatta yang kala itu sangat berpengaruh di lingkar dalam pemerintahan kolonial Jepang, berhasil membujuk Jepang agar mengurungkan hukuman mati terhadap Amir.
Yang mau saya sampaikan dari tulisan singkat ini, betapa para pentolan PKI angkatan 1926 seperti Muso dan Alimin, maupun dari lapisan yang lebih muda yang berkiprah di pentas politik nasional sejak 1945-1948 seperti Ami Syarifuddin, ternyata ada jejak-jejak pengaruh Belanda terhadap mereka melalui para pemain kunci pemerintah kolonial Belanda seperti Dr GA Hazeu dan Van der Plas.***
dari FB Hendrajit