Derivasi atau turunan langsung dari nasab Benny di Kopassus yang masih eksis sampai sekarang adalah: Agum Gumelar, Sintong Panjaitan, Luhut Panjaitan, dan sampai pada tingkatan tertentu adalah, Hendriopriyono. Cuma jenderal yang satu ini, tidak termasuk tim solid Benny seperti yang saya sebutkan sebelumnya.
Nahk, Sarwo Edhi, meskipun banyak pancangan kakinya juga di Kopassus, hanya saja karena kuatnya pengaruh Benny di Kopassus di era Suharto, kurang bisa memunculkan perwira perwira baret merahnya di Kopassus. Salah satu yang berhasil menonjol antara lain Feisal Tanjung. Yang kelak kita kenal sebagai Panglima ABRI di era Suharto dan Menkopolkam di era Habibie. Adapun Feisal Tanjung ini, termasuk salah satu komandan kompi yang menyerbu RRI ketika dduduki pasukannya Letkol Untung menyusul Gerakan 30 September 1965.
Ketika Feisal Tanjung dan Edi Sudrajat, semakin mendapat posisi strategis di jajaran Mabes ABRI, SBY dipandang oleh Tanjung dan Sudarajat sebagai perwira muda angkatan darat yang dipandang cemerlang berpotensi besat di masa depan. Makanya melalui Edi dan Feisal inilah, SBY mulai dibina bakat khususnya sebagai perwira staf sospol ABRI. Karena bakat khususnya dalam penyusunan rencana strategis (Renstra) dan penyusunan Scenario Building.
Hanya saja, karena SBY tidak tergabung dalam korps baret merah, nasabnya Pak Sarwo Edhy ini kemudian bertumpu pada korps baret hijau Kostrad, tempat di mana Pak Harto dibesarkan dan memulai langkah strategisnya menuju kursi kepresidenan. Maka tak heran, jika pada perkembangan selanjutnya, baret merah dan baret hijau terjadi pesaingan senyap untuk merebut pengaruh Pak Harto, agar memegang posisi-posisi kunci di kemilitran maupun pos-pos strategis di bidang politik.
Ketika masa kepemimmpinan Pak Harto mulai rapuh dan rawan adanya goncangann baik dari dalam maupun luar pemerintahan, nasab Benny dan Nasab Pak Sarwo ini kemudian bersepakat untuk menjalin persekutuan taktis. Yaitu bersepakat untuk menjalankan Skenario Pembusukan Rejim Suharto.
Kubu Benny, yang sudah mulai tersingkir dari pos-pos penting di pemerintahan Suharto terutama pos-pos strategis kemiliteran dan intelijen, menyusul tampilnya Prabowo Subianto menduduki posisi penting sebagai Danjen Kopasussus dan Pangkostrad, mulai melakukan aksi destabilisasi terhadap Suharto dari luar lingkar kekuasaan. Adapun Feisal Tanjung, Edi Sudrajat, SBY, dan kelompok2 di bawahnya, mematangkan situasi dan kondisi dari dalam pemerintahan sendiri.
Dalam skenario pembusukan Suharto ini, atas kesepakatan kedua nasab di TNI inilah, dimunculkan Megawati sebagai tokoh tandingan terhadap Suharto. Seluruh rangkaian kemunculan Mega sejak Munas PDI di Sukolilo Surabaya, Rapimnas Hotel Kemang, hingga penyerbuan kantor PDI yang kemudian kita kenal sebagai peristiwa 27 Juli 1996, sejatinya merupakan rangkaian skenario pembusukan Suharto seraya cipta kondisi untuk memanggungkan Mega sebagai pemimpin baru Indonesia pasca Suharto.
Perrsekutuan taktis kedua nasab yang berporoskan Benny dan SBY sebagai ahli waris Sarwo Edhy, berlanjut terus sejak era reformasi. Seraya menumbalkan Prabowo sebagai simbol orde baru, sehingga disingkirkan dari dunia kemiliteran.
Namun nampaknya sejak SBY mundur dari kabinet Megawati, dan SBY nyapres pada 2004, kedua nasab TNI ini pecah kongsi. Dan mencapai puncaknya di era Jokowi sekarang ini.
Pertanyaannya, ini pecah kongsi beneran atau sandiwara? Saatnya sekarang rakyat yang pegang komando.*** |PRS/RED