Surat Terbuka kepada Presiden RI
dari
Mukhtasor
Guru Besar ITS
Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014)
Pak Presiden, mohon Presiden berkenan menyelamatkan BUMN umumnya, dan Pertamina pada khususnya. Pada saat kita sadar adanya ancaman krisis energi 2020 yang makin parah, kita seharusnya memperkuat seluruh kemampuan nasional, termasuk BUMN Energi untuk mengantisipasi dan memitigasi ancaman tersebut.
Negeri kita tidak saja sedang didera persoalan net-impor minyak, sehingga produksi minyak tidak lagi mampu menjadi tulang punggung pendapatan APBN dan bahkan perekonomian kita sangat rentan terhadap kenaikan harga minyak dunia. Lebih dari itu, kita mendapat ancaman krisis energi secara umum, bukan sekedar masalah minyak. Neraca energi nasional akan defisit semakin parah pada 2020, sebagaimana hasil studi lembaga-lembaga terpercaya.
Pengelolaan BUMN Energi seharusnya sesuai dengan semangat menghadapi ancaman krisis energi. Kita semua harus mencegah keadaan tidak menentu ini berlangsung berlama-lama, yaitu keadaan yang memungkinkan Pertamina lumpuh.
Mengapa Pertamina bisa Lumpuh, karena selama sebulan atau 30 hari di dalam Pertamina tidak ada Direktur Utama definitif. Waktu sebulan tersebut adalah waktu yang amat berharga dan kritis untuk pengambilan keputusan penting di Pertamina, sebagai BUMN besar yang mengelola cabang produksi dan distribusi migas yang penting dan mengusai hajat hidup seluruh rakyat Indonesia.
Pertamina saat ini dipimpin oleh Pelaksana Tugas atau Plt. Dalam tata kelola yang baik, secara hukum korporasi yang wajar, Pelaksana Tugas itu terbatas menjalankan manajemen rutin sehari-hari dan tidak membuat Corporate action (atau aksi koporasi) atau corporate decision (keputusan korporasi).
Aksi korporasi mencakup tindakan yang mewakili perusahaan di luar atau dalam pengadilan, seperti membuat kontrak atau memutus kontrak dengan pihak lain atau mewakili korporasi di pengadilan.
Keputusan korporasi dalam hal ini berkaitan dengan tindakan membuat keputusan yang bersifat administratif dan mengikat secara internal perusahaan, misalnya menyusun tata aturan kerja yang baru, mengangkat dan memberhentikan orang pada suatu jabatan atau membuat keputusan atas masalah penting lainnya.
Pak Presiden, Pertamina sebulan ini lumpuh jika tidak ada sedikit pun ruang untuk melaksanakan aksi korporasi ataupun membuat keputusan korporasi.
Sebaliknya, jika Pelaksana Tugas diberi kewenangan menjalankan fungsi aksi korporasi dan membuat keputusan korporasi tersebut, berarti para pemangku kewenangan dalam hal ini Menteri BUMN dan Komisaris Pertamina telah membuat blunder baru dengan membuka ruang tata kelola korporasi yang buruk. Tata kelola yang menempatkan Pelaksana Tugas memiliki kewenangan yang sama persis dengan Direktur Utama definitif adalah produk keputusan yang tidak masuk akal.
Siapakah yang menjamin bahwa dalam sebulan kedepan tidak diperlukan aksi korporasi atau keputusan korporasi? Siapa yang menjamin tidak ada keputusan mengenai kontrak impor atau perubahan keputusan pembangunan kilang BBM yang semula dimaksudkan memperkuat kemandirian energi nasional? Siapa yang menjamin tidak ada persoalan di Pengadilan? Siapa yang menjamin tidak ada persoalan kelangkaan migas yang mengharuskan berurusan dengan kontrak dengan fihak lain? Siapa yang menjamin tidak ada persoalan berkenaan dengan kebutuhan pemberhentian atau pengangkatan pejabat baru di dalam Pertamina dan lain sebagainya?
Pak Presiden, mohon Bapak menyelamatkan keadaan ini demi bangsa dan negara. Kita cukupkan sampai disini keadaan tata kelola BUMN yang carut-marut ini. Kita harus mencegah keadaan ini menjadi budaya buruk dan menggeliding seperti bola salju yang membesar dan akhirnya menelan korban tidak saja kepada Pertamina namun juga kepada BUMN-BUMN lainnya.
Menyelamatkan keadaan ini adalah bentuk sensitifitas kita kepada persoalan BUMN. Ini sekaligus juga tanda sensitifitas kita kepada persoalan ketahanan energi nasional yang menghadapi parahnya ancaman krisis energi 2020.***