BERHENTILAH MELUKAI INDONESIA
Oleh Ferdinand Hutahaean, RUMAH AMANAH RAKYAT, BELA TANAH AIR
Situasi politik Indonesia sejak Pergantian kekuasaan dari Presiden RI Ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono ke tangan Presiden RI Ke 7 Joko Widodo tampaknya belum menemukan titik kondusifnya atau bahkan sangat mungkin tidak akan menemukan titik tentram. 2,5 tahun sudah terlampui kekuasaan ini terus disibukkan oleh ketidak stabilan pemerintahan baik secara ekonomi, politik, hukum dan keamanan. Pemerintahan yang pada awalnya cukup berat dihadapi oleh Presiden Jokowi karena berhadapan sendiri dengan Partai dan elit pendukungnya sebagai akibat rasa tidak puas dan rasa tidak menerima kenyataan bahwa Jokowi adalah Presiden dengan segala kelebihan dan kekurangannya meski sang Ketum Partai melabeli Jokowi dengan sebutan Petugas Partai. Hingga pada akhirnya, atas kepiawaian Jokowi atau memang karena sudah menemukan bentuk kesepakatan, akhirnya kemelut internal perlahan terselesaikan meski harus berukangkali melakukan resufle menteri sebagai jawaban dan tuntutan atas kemelut yang ada.
Memasuki tahun ke 3 penerintahan Jokowi, seujung berakhirnya kemelut dan konflik internal, situasi kemudian dihadapkan pada konflik antara pemerintah dengan sebagian rakyatnya. Konflik yang terus mengerucut menuju perpecahan dan konflik sosial berbau SARA. Sentimen primordialisme dan perilaku rasis serta debat tafsir agama justru semakin kuat isunya dan merajai isu-isu yang muncul setiap hari dibanding isu membangun bangsa yang tampak jadi retorika semata.
Adalah Pilkada Jakarta yang semakin menyengat bau konfliknya. Pilkada Jakarta semakin tajam potensi kemelutnya karena semua kehilangan kepercayaan satu dengan yang lain. Rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan sebaliknya penerintahpun curiga dan tidak percaya terhadap rakyatnya. Akhirnya ketidak percayaan menular dan merasuki bangsa bagai virus yang mematikan dan menakutkan. Agama, suku dan Ras yang selama ini sudah terbungkus baik dalam bingkai Bineka Tunggal Ika mulai tercabik bahkan terluka. Kita harus jujur mengakui bahwa bingkai kebinekaan itu terganggu diawali oleh perbuatan Ahok yang bicara tentang ajaran agama Islam yang tidak dianutnya dan tidak dipahaminya. Meski akhirnya perbuatan itu membawa Ahok ke kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Atas ketidak puasan dan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam kasus Ahok, kemudian semakin membangkitkan semangat perlawanan dari tengah masyarakat. Perlawanan untuk mengalahkan kekuasaan, begitulah semangatnya. Namun semangat yang terus membara dan terbakar tersebut menjadi over dosis dalam isu primordialisme. Aksi dan reaksi kemudian bersahutan. Yang merasa dirinya Kristen, etnis Cina dan sebagian Islam yang terajut dalam tajuk toleransi merapatkan barisan dikubu Ahok. Barisan yang disebut juga sebagai barisan perlawanan terhadap perusak kebinekaan. Dan dikubu Anis juga barisan dirapatkan dengan semangat perlawanan yang juga disebut barisan perlawanan terhadap perusak kebinekaan.
Publik yang tidak ingin melihat Agama berbenturan dalam isu politik akhirnya menjadi bingung, pertanyaan menyeruak, siapa sesungguhnya perusak kebinekan?
Terlepas dari itu semua, terlepas dari siapa sesungguhnya perusak kebinekaan, mengapa kita sebagai anak bangsa tidak kembali kepada bingkai kebinekaan dalam Pancasila? Mengapa kita tidak berhenti melukai bangsa yang kita akui kita cintai ini? Sungguh menjadi seperti lelucon yang yang tidak lucu ketika kita melukai sesuatu yang kita cintai.
Dan kepada pemerintah juga kita minta dan kita harapkan untuk bertindak adil, tidak mensiasati penegakan hukum, tidak bertindak tidak adil atas masyarakat, tidak melindungi dan berpihak kepada siapapun yang merusak kebinekaan terlebih tidak melakukan intervensi terhadap kasus Ahok. Ahok didakwa oleh negara dengan tuduhan penodaan agama, maka sudah selayaknya pemerintah mengamankan kebijakan negara bukan memperalat kewenangan dan hak yang diberikan negara untuk melindungi seseorang yang didakwa negara.
Sudah saatnya kita semua berhenti melukai negara, berhenti melukai bangsa, berhenti melukai Indonesia. Pemerintah harus adil dan bekerja untuk memakmurkan rakyat, maka rakyat akan melaksanakan kewajibannya kepada negara dengan semangat nasionalisme.
Proses hukum Ahok seadil-adilnya dengan memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan masyarakat harus berhenti menggunakan isu primordialisme dalam demokrasi, karena yang terluka adalah bangsa dan kita semua yang akan merasakan perihnya luka itu kelak.
Jakarta, 13 Maret 2017