Masih dalam rangka mengenang KH Hasyim Muzadi, hari ini saya ingin membagi tulisan saya ketika masih menjadi Redaktur Nasional di Majalah Forum Keadilan, pada akhir November 1999. Saat itu berlangsung Muktamar NU ke-30, di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Dalam Muktamar ini, untuk pertama kalinya, Pak Hasyim Muzadi terpilih menjadi Ketua Umum PB NU. Yang menarik di dalam Muktamar ini pula NU menyatakan kembali berazaskan Islam.
Tulisan ini adalah tulisan pertama di rubrik Forum Utama, begitu sebutan laporan utama Majalah Forum Keadilan. Tulisan ini saya susun berdasarkan laporan sahabat saya Niniel Wda, dan Mochamad Toha. Kedua sahabat saya ini meliput langsung di Lirboyo, sementara saya menjaga gawang di Jakarta untuk mewawancarai beberapa sumber di Jakarta, dan membagi bahan tulisan kepada penulis tulisan kedua, ketiga, dan keempat, masing-masing sahabat saya, Lestantya Baskoro, Fahmi Imanullah, dan Johan Budi SP.
Dua jempol kami acungkan kepada Niniel yang meliput kenduri Kaum Nahdliyin ini penuh totalitas. Meski memeluk agama Katolik, Niniel cukup dekat dengan beberapa Kiai dan tokoh NU, termasuk Gus Dur, Pak Hasyim, Rozy Munir, dan beberapa tokoh muda. Karena itu pula alasan kantor memberangkatkan Niniel untuk meliput acara Kenduri Kaum Nahdliyin ini. Bahkan, kedekatan, lobby, dan unggah-ungguhnya yang nyantri banget kepada para Kiai –termasuk dengan selalu memakai kerudung di arena Muktamar– membuat kami mencandainya sebagai seorang Katolik yang NU. Adapun Toha adalah koresponden Forum Keadilan di Jawa Timur, jadi dia menguasai betul peta Nahdliyin di Jawa Timur.
Tulisan ini khas tulisan Forum Keadilan yang to the point, dengan bahasa yang tidak ndakik-ndakik dan jelas arahnya, namun kaya data. Anda akan dapat membaca bagaimana manuver para Kiai dan kaum Nahdliyin terjadi silih berganti, isu money politics dan dukung-mendukung diungkapkan, sementara kami memilih quote yang lugas, ekspresif serta gambaran langkah yang jelas, tanpa perlu dipoles dan dimanis-maniskan. Tak perlu berpanjang kata, silakan menikmati tulisan ini…
=====
Manuver Di Kenduri Kaum Nahdliyin
Persaingan keras antar kandidat mewarnai Muktamar NU ke-30. Selain Poros Tengah, konon konglomerat pun turut bermain. Tapi restu Gus Dur dan Forum Langitan tetap berpengaruh. Mengapa NU kembali berazas Islam?
Shalawat badar bergema di arena Muktamar Nahdlatul Ulama ke-30, kompleks Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, ketika perolehan suara KH Hasyim Muzadi makin jauh meninggalkan perolehan suara KH Said Aqil Siradj. Bahkan, meski penghitungan belum selesai, Kiai Aqil langsung menghampiri Kiai Hasyim, memeluk dan menciumnya. Tak pelak lagi, para peserta muktamar pun segera ikut menyerbu dan saling berebut untuk menyalami dan mengelu-elukan Ketua Umum Tanfidziah PB NU yang baru, KH Hasyim Muzadi.
Beberapa jam sebelumnya, telah terpilih pula pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Maslakul Huda, dari Kajen, Pati, Jawa Tengah KH Sahal Mahfudz sebagai Rais Aam Syuriah PB NU. Hadir tanpa saingan, Kiai Sahal berhasil menangguk 288 suara dari 306 suara. Sejak semula Kiai Sahal memang sudah diunggulkan untuk menduduki posisi itu.
Dalam penjaringan calon Ketua Umum PB NU yang berlangsung sejak dini hari itu sebenarnya muncul tujuh nama. Dari ketujuh nama itu hanya tiga yang memenuhi persyaratan. Mereka adalah Kiai Hasyim yang meraih 149 suara, Kiai Said yang mendapat 72 suara, dan Ir H Salahuddin Wahid yang diusulkan 56 cabang. Karena memperoleh kurang dari 40 kursi, empat nama lainnya H Achmad Bagdja memperoleh 22 suara, KH Mustofa Bisri, mendapat 21 suara, serta Drs M H Wahab dan H Husnan masing-masing satu suara. Sidang kemudian diskors untuk shalat subuh.
Sidang dibuka kembali pukul 06.00 dipimpin Drs H Husen Habibu dari Sulteng, setelah Rais ‘Aam KH Sahal Mahfudz hadir di arena muktamar. Sebenarnya mereka mengharapkan juga kehadiran Wakil Rais ‘Aam KH Fakhruddin Masturo. Soalnya dalam pasal 28 huruf b Peraturan Tatib menunjukkan bahwa, “Ketua Umum dipilih secara langsung setelah calon yang akan diajukan memperoleh persetujuan Rais ‘Aam dan Wakil Rais ‘Aam terpilih.” Tapi akhirnya, Kiai Sahal meminta izin untuk sekaligus bertindak “atas nama” Wakil Rais ‘Aam, memberikan persetujuan atas tiga orang calon yang memenuhi syarat untuk dipilih.
Sebelum kartu suara dibagikan, tiba-tiba Salahuddin yang juga adik Gus Dur itu mengundurkan diri. Selain masih baru dalam organisasi NU, “Saya merasa belum layak memimpin NU,” ujarnya. Pengunduran ini pun disambut dengan tepuk tangan meriah para muktamirin, sementara persaingan Kiai Hasyim dengan Kiai Said menjadi makin ketat.
Akhirnya, dalam penghitungan suara yang baru berakhir pukul 08.42 itu Kiai Hasyim menang. Ia meraih 205 dari 323 suara sedangkan Said meraih 105 suara, tiga suara tidak sah karena tertulis nama Salahuddin yang sudah mundur dan satu suara abstain. “Saya menjadi orang yang terpilih, tetapi bukan orang yang terbaik,” kata Hasyim. Maka selesailah persaingan ketat dan manuver para promotor kandidat selama seminggu itu.
Padahal, pertarungan sengit sudah terjadi sejak seminggu sebelum Muktmar. Di Jakarta, kubu Kiai Hasyim Muzadi meluncurkan buku “Membangun NU Pasca Gus Dur” yang antara lain berisi pemikiran-pemikiran Cak Hasyim — demikian ia biasa disapa — mengenai bagaimana membangun masa depan NU. Tampak sekali kesiapan Cak Hasyim untuk maju dalam pencalonan. Sebuah tim sukses juga dibentuk dari PW NU Jatim.
Uniknya, peluncuran buku itu dihadiri Fuad Bawazier, Ahmad Sumargono dan tokoh-tokoh Poros Tengah. Konon naiknya Hasyim Muzadi memang diinginkan poros tengah karena posisi Hasyim di Jatim sangat membantu tumbuh suburnya PKB. Diharapkan, jika Hasyim naik jadi ketua PBNU, aliansi antara NU — alias PKB dengan Poros Tengah kian menguat. Menurut sumber FORUM, mantan Gubernur Jatim Basofi Sudirman ikut memback up Hasyim. Dukungan Fuad Bawazier yang dikenal sebagai lobbyist Poros Tengah juga kuat.
Sementara itu Said konon diback up kalangan muda NU, misalnya PMII, IPNU, IPPNU dan lain-lain. Malah ketika nama Gus Mus belum mengerucut, panitia nasional Muktamar dari Jakarta juga disebut sebagai tim sukss Agiel Siradj. Sedangkan tim sukses Sholahudin Wahid terdiri dari Slamet Effendy Yusuf, Lukman Hakim dan Arif Mudatsir.
Tim sukses yang kerjanya tergolong rapi adalah tim Achmad Bagja dan Hasyim Muzadi. Keduanya punya tim sukses yang kerjanya cukup intens. Hasyim misalnya punya tim sukses seperti Matori Abdul Djalil, Effendy Choiri, dan Deny Daruri dari poros tengah yang juga orang dekat Fuad Bawazier dan Amien Rais.
Di Kediri, para pendukung masing-masing kandidat punya markas sendiri-sendiri. Misalnya Kiai Hasyim di Hotel Safari dan jalan Welirang 19, sedangkan markas Kiai Said Aqil di jalan Sahardjo 10. Tim sukses Gus Mus sendiri bermarkas di Hotel Merdeka dan jalan Mojoroto 5/2.
Awalnya, perang kandidat pra muktamar dilakukan dengan gaya klasik dan sederhana, misalnya menggelar acara bagi-bagi buku, kaos dan lain-lain. Tapi ketika memasuki hari pertama muktamar persaingan makin santer, manuver kontra manuver makin menguat. Bahkan belakangan rumor money poltics bermunculan. Persaingan makin sengit ketika masing-masing kandidat mencari dukungan ke Kiai Langitan atau mencari klaim dukungan.
Tak hanya sampai disitu. Selebaran pun berseliweran. Selebaran yang sifatnya mengejek dan menghina ditempelkan di sejumlah dinding di lingkungan PP Lirboyo. ”Pilihlah pimpinan yang tidak pernah masuk gereja dan tidak pernah berbau Wahabi,” begitu bunyi salah satu selebaran lengkap dengan foto Said Aqiel. Di bagian lain diatas karton biru berukuran 10 kali 20 cm terpampang tanda tangan pembina PP Lirboyo, KH Maksum Jauhari. “Said Aqil itu murid terkutuk itu di sini,” kata Kiai Maksum. Hal itu tentu saja membuat pendukung Said mencak-mencak.
Bahkan akhirnya pertarungan itu merembet ke soal-soal teknis administratif muktamar. Panitia lokal dan maupun pusat tak beres karena sibuk menjadi tim sukses masing-masing kandidat. Misalnya ID Card dibuat dengan dua versi, press center pun dibuat dua versi. Satu milik PW NU Jatim yang juga pendukung Hasyim sedangkan satu lagi di drop dari pusat yang disebut-sebut buatan tim sukses Aqiel.
Hal itu akhirnya memancing emosi peserta. Apalagi pada hari pertama muktamar itu, usai pembukaan banyak pekerjaan panitia yang terbengkalai. Malah acara pengarahan dari Menkopolkam Wiranto batal dan pembahasan tatib gagal karena materi belum datang. Terlihat panitia pusat dan daerah tidak ada koordinasi.
Ketidakberesan, isu politik uang, dan persaingan antar kandidat yang tak sehat itu tentu saja membuat prihatin para Kiai sepuh. Buntutnya, muncullah gerakan poros tengah NU. Hal ini muncul setelah sejumlah pertemuan tertutup dilakukan untuk membahas manuver masing-masing kandidat. Gus Mus dipikirkan sebagai salah satu kuda hitam jika terjadi manuver diantara dua kandidat yang bisa membahayakan NU.
Hari kedua muktamar, agenda acara jadi tersedot ke arena dukung mendukung kandidat. Upaya klaim-klaim pun terjadi. Tim sukses Hasyim mengklaim telah mendapat dukungan dari 156 cabang. Sedangkan tim sukses Said hanya mengemukakan dalam bentuk prosentase.
Tarik menarik kepentingan para kandidat kian seru. Rumor masing-masing melakukan money politics kian kencang. Salah satunya mempersoalkan tentang stand mobil Timor. Pasalnya stand Timor di belakang arena Muktamar itu menghadiahi 18 mobil Timor untuk dipakai para kiai selama Muktamar dengan nomor khusus. Tapi Hasyim yang dituding mengelak. ” Bukan saya” ujarnya.
Tapi konon memang ada beberapa perusahaan yang ikut bermain dalam dukung mendukung itu. Hasyim juga dituduh santer mendapat dukungan dana dari PT Maspion, dan mengggalang cabang-cabang hingga bisa jadi ketua. Selain itu panitia di Lirboyo pun mendapat sumbangan yang begitu besar dari pabrik rokok kretek Gudang Garam.
Kerasnya persaingan itu akhirya memaksa 12 ulama sepuh melakukan pertemuan tertutup. Dalam pertemuan di rumah Kiai Idris, mereka membahas secara intensif trik politik yang dimainkan oleh para tim sukses Hasyim dan Aaid Agiel. Salah satu keputusan dalam pertemuan itu adalah mengajak para kandidat dan muktamirin untuk kembali kepada yang haq serta bertidak sesuai dengan akhlaqul karimah dengan ikhlas.
Kiai sepuh pun mengajukan tokoh alternatif yaitu Gus Mus. Tapi Gus Mus sendiri tidak tegas memilih atau menolak. Namun tim sukses Gus Mus terus berusaha. Tapi kiai satu ini malah memilih diam dan tidur pada saat pemilihan. Gus Mus, yang sebetulnya banyak diharapkan sebagai calon alternatif, yang diharapkan sejumlah kubu diantaranya DKI dan DIY, tak jadi maju, karena jumlahnya kurang dari 40, tak memenuhi prasarat pencalonan.
Sejumlah utusan yang ingin Gus Mus maju, bahkan mencoba menggunakan jalur orang-orang tua, kiai sepuh. Tapi, toh gagal, karena pada akhirnya, para orang tua itu, merestui semua calon yang dipilih para peserta muktamar, meskipun mengritik kasak-kusuk yang dilakukan sejumlah calon, diantara soal money politics.
Kubu DKI akhirnya, yang mencoba ‘memaksa’ Gus Mus, dengan mematok harga mati untuk Gus Mus. “Hanya Gus Mus yang layak, karena dialah yang masih mencerminkan sebagai pribadi NU yang berakhlakul karimah,” ujar KH Abdul Wahid Aziz Bisri, ketua PWNU DKI didampingi sejumlah ketua Cabang di DKI.
Namun, usaha itu gagal. Gagalnya Gus Mus sebetulnya lebih karena ia tak didukung tim sukses yang memadai. Meskipun sejumlah kiai sepuh lebih senang padanya, namun, keinginan sejumlah pihak mengegolkan Gus Mus tak berhasil karena memang dari segi pengalangan suara, mereka benar-benar payah. Gus Mus, tak mampu menangguk banyak suara.
Gus Mus bukannya tak tahu. Karena itu dalam pertemuan di Hotel Merdeka, Kediri, 24 November lalu, selain mengatakan tak hendak mencalonkan diri, ia juga mengatakan bahwa sudah saatnya organisasi NU dikembalikan ke bentuk semula. NU secara organiasi harus lebih kuat di Syuriahnya, karena NU memang organisasinya para ulama. “Sudah saatnya NU kembali ke bentuk semula, diamana Tanfidziah hanyalah pelaksana saja,” ujar Gus Mus.
Sikap Gus Mus makin menguatkan Hasyim. Malah, menurut sumber FORUM, Sholahudin, Ahmad Bagja dan Hasyim telah membuat kesepakatan soal komposisi kepengurusan PB NU. Hal ini merujuk pada sikap Kiai Abdullah Faqih Langitan yang marah terhadap sikap beberapa kiai yang terlibat dalam proses pendukungan. ” Mbah Faqih marah-marah. Kiai kok ikut-ikutan dukung mendukung” kata sumber tadi. Akhirya kiai Faqih memilih menyendiri dan pulang ke Tuban sampai akhirnya ketua GP Ansor dipanggil ke Langitan.
Soalnya sebelum masalah ini muncul, sebenarnya sudah ada pertemuan pendahuluan antara Gus Dur, Kiai Faqih dan Hasyim Muzadi setelah Gus Dur menjadi presiden di Langitan, Tuban, akhir Oktober lalu. Konon waktu itu sudah disepakati tentang komposisi ketua dan wakil Rois Aam dan tanfidziahnya. “Kiai Sahal dan Kiai Hasyim sudah diplot sejak disitu,” kata sebuah sumber Forum.
Selain soal-soal “warna akhlakul karimah ke-NU-an, diajukannya Gus Mus sebagai alternatif, sebetulnya berkaitan dengan kekhawatiran terhadap Cak Hasyim. Soalnya di bawah kepemimpinannya, NU dikhatirkan akan menjadi gerbongnya pemerintah, dan tidak lagi bisa menjadi organisasi rakyat yang kritis terhadap pemerintah. “Jika mengharapkan NU kritis terhadap Gus Dur, maka tak mungkin pribadi seperti Hazim Muzadi, bisa mengatakan ‘tidak’ pada Gus Dur,” kata KH Malik Madani dari PW NU DIY kepada M Faried Cahyono dari FORUM.
Namun, menurut pengamat NU Andree Feillard, terpilihnya Cak Hasyim, ada juga keuntungannya buat NU sebagai organisasi. Menurutnya, kelemahan Gus Dur selama ini karena ia adalah seorang visionis dan gagal dalam membina cabang-cabang NU sebagai organisasi. “Jika Hasyim pindah ke Jakarta dan jadi ketua PBNU, maka ia akan mengoperasikan NU dan bisa membuat NU sukses secara organisatoris. Cabang-cabang akan terurus sebagaimana sudah dibuktikan Hasyim di Jatim,” kata Feillard.
Selain soal ketua, masalah lain yang seru dibicarakan di arena muktamar adalah soal perubahan azas di komisi Organisasi. Inilah untuk pertama kalinya masalah asas kembali diperdebatkan setelah NU mengubah asas Islam menjadi Pancasila dalam Muktamar NU ke 27 di Situbondo, 1984.
Dalam sidang yang dipimpin KH Hafidz Utsman sejumlah pendapat muncul misalnya dari Effendy Yasid, dari PCNU Magelang. Menurutnya penerapan asas Islam di NU pada Muktamar Situbondo adalah paksaan Orde Baru. “Setelah rezim Orba hilang mestinya direvisi lagi,” ujarnya. Penerapan asas Pancasila dinilai tidak sesuai dengan khittah 1926.
Memang, sejak berdiri tahun 1926, asas NU adalah Islam. Tapi keharusan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam pemerintahan Soeharto telah menekannya. NU akhirnya menganti asas itu di Muktamar itu. Saat itu Kiai Achmad Siddiq yang berhasil mencarikan argumentasi untuk menerima asas tunggal Pancasila bagi ormas ini. Saat itu NU menjadi ormas Islam pertama yang menerima asas tunggal.
Pada sidang komisi, sebagian peserta menginginkan NU kembali ke asas Islam seperti waktu NU pertama kali didirikan di Surabaya, 16 Rajab 1344 atau 31 Januari 1926. Alasannya, KH Hasyim Asyari telah melakukan istikharah untuk menentukan asas NU. Tapi pendapat itu tak diamini seluruh peserta. “Menggunakan asas Pancasila tak akan merugikan kepentingan Islam,” kata seorang peserta. Dalam pleno Sidang Komisi, gagasan itu ditolak.
Pemimpin Sidang pleno, Rozy Munir akhirnya memberikan kesempatan kepada 5 muktamirin untuk menyampaikan pandangannya. Empat dari lima orang yang mendapatkan kesempatan berbicara menolak digunakannya Pancasila sebagai asas organisasi. Tetapi saat itu KH Sahal memberi isyarat dengan acungan jempol, maka Rozy pun mengetok palu, sebagai tanda disetujuinya Pancasila tetap sebagai asas NU.
Pengesahan itu menimbulkan protes. Mereka berebut mikrofon untuk menyampaikan pendapatnya. Bahkan banyak peserta yang teriak-teriak histeris minta muktamar mengembalikan NU kepada prinsipnya semula yaitu berasaskan Islam. Shalawat dan Al Fatihah terdenar sayup-sayup untuk mendinginkan suasana.Tapi ketika ditanyakan apakah alotnya sikap NU mempertahankan Pancasila karena titah Gus Dur Kiai Sahal menolak. “Nggak ada titah-titahan,” ujar KH Sahal.
Beberapa jam kemudia, setelah pleno selesai, 14 kiai sepuh melakukan sidang kilat yaitu KH Abdullah Faqih, KH Turmudzi Badrudin, KH Imron Hamzah, KH Idris Marzuki, KH Subadar, KH Nurul Huda Jazuli, KH Sahal Mahfudz, KH Abdullah Abbas, KH Ma’ruf Amin , KH Fuad Hasyim, KH Imam Yahya Machrus, KH Zainnudin Jazuli dan KH Fachrudin Masturo.
Mereka lalu memutuskan untuk melakukan sidang khusus guna membahas masalah itu. Melalui sidang kilat itu diputuskan bahwa kedua kubu harus diadopsi. Maka keluarlah rumusan yang disampaikan Rozy dalam sidang XI itu. “Sidang para kiai ini berkaitan dengan kemungkinan ketidakberesan jika masalah ini berkembang dalam sidang komisi tidak ditindaklanjuti,” ujar Rozy.
Akhirnya NU mengubah Pancasila sebagai asas organisasi yag sudah diberlakukan sejak muktamar ke 27 di Situbondo menjadi berasaskan Islam menurut Ahlussunnah wal jamaah dan menganut salah satu madhzab empat. Sedangkan dalam prinsip bernegara mereka tetap memakai Pancasila. “Jadi tidak ada yang dikalahkan dan tidak ada yang dimenangkan,” kata Kiai Sahal.
Hanibal W Y Wijayanta, M Toha dan Widiarsi Agustina (Lirboyo)