UJUNG DRAMA PULLMAN MOGOK
Agustus tahun lalu Presiden meminta agar operasi PT Semen Indonesia dihentikan sampai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) selesai dilakukan. Kajian diperkirakan akan memakan waktu satu tahun. Belakangan, kajian diperkirakan bisa selesai lebih cepat, yaitu April bulan depan.
Anehnya, sementara hasil kajiannya belum juga selesai, Menteri BUMN sepertinya sudah bisa menebak hasilnya, sehingga pekan lalu ia bisa sesumbar bahwa dalam bulan depan Presiden akan meresmikan pabrik semen di Rembang. Itu pernyataan ceroboh yang tidak bisa tidak membuat kita kini jadi mempertanyakan kualifikasi dan independensi kajian KLHS, yang secara teknis sebenarnya belum kelar tersebut.
Kalau ditarik mundur ke belakang, jadi apa sebenarnya maksud pemerintah pusat menghentikan operasi perusahaan BUMN tersebut pada Agustus tahun lalu? Sekadar buying time?!
Sejak awal Presiden memang sepertinya hanya sedang berusaha mengulur waktu dan menjadikan KLHS sebagai pengalih perhatian. Apalagi semua putusan pengadilan hingga tingkat kasasi sebelumnya selalu dimenangkan oleh PT Semen Indonesia, sehingga pemerintah, baik pusat maupun provinsi, sangat percaya diri jika gugatan PK (Peninjauan Kembali) hanya akan mengukuhkan putusan pengadilan sebelumnya.
Sayangnya, Oktober tahun lalu MA malah mengabulkan gugatan PK yang diajukan petani Kendeng dan Walhi. Ijin lingkungan PT Semen Indonesiapun dibatalkan!
Saya kira kemenangan gugatan petani Kendeng itulah yang telah “mempercepat” masa kerja KLHS. Apapun hasil kajian KLHS yang akan dirilis bulan depan, dalam kasus Kendeng pemerintah dengan jelas telah memilih akan mengedepankan supremasi kekuasaan dibandingkan supremasi hukum. Apa yang telah dilakukan oleh Gubernur Ganjar dengan penerbitan ijin lingkungan baru, dan pernyataan Menteri Rini pekan lalu ini, adalah penandanya.
Jadi, seandainya Presiden Joko Widodo bulan depan positif meresmikan pabrik semen di Rembang, kita doakan semoga mobil Pullman-nya tidak mogok di jalan. Bukan apa-apa. Sudah terlalu banyak drama tidak penting produksi Istana yang kemudian mengalihkan perhatian kita dari drama kehidupan sesama warga negara yang sebenarnya lebih perlu diberi simpati.
-TARLI NUGROHO