INTROSPEKSI DIRI untuk para Penegak Hukum : ” Kabid Humas Polda Metro meminta masyarakat untuk legowo atas kelakuan JPU yang menuntut Ahok hukuman percobaan. Saran yang memperlakukan publik bodoh dan dungu ” .
Saya berbeda pendapat dengan saran Pak Kadiv ini. Jika keadilan tidak terpenuhi menurut Thomas Hobbes, rakyat memiliki hak untuk memberontak. Pandangan yang sama dari Al Mawardi dan Al Maudhudi.
JPU melanggar dua kata adil dalam Pancasila, pada Sila Kedua dan Sila Kelima. Tak ada kata atau pun hukum yang menyatakan legowo terhadap ketidakadilan, apalagi akibat kesewenang-wenangan, abuse of power.
Pelanggaran kepada rasa keadilan harus dilawan, bukan legowo. Lakukan apa saja untuk melawan ketidakadilan. Saran dari Argo itu, adalah saran orang yang tak kunjung duduk di kursi di bangku sekolah. Kalau pun pernah, pasti sedang mendengkur, jadi tak paham.
Saran itu melawan hukum positif, melawan kontitusi, melawan filsafat hukum, melawan konvensi penafsiran hukum, melanggar Peraturan Jaksa Agung No 28 Tahun 2014, melanggar hukum acara, sbb:
1. Sejak kapan dakwaan primer boleh diganti dakwaan subsider, yang bukti-buktinya terbukti di persidangan?
2. Sejak kapan tuntutan boleh membuang yurisprudensi hukum di mana tak seorang pun terpidana blasphemi yang tidak masuk penjara?
3. Sejak kapan tuntutan hukum boleh tak mengambil bukti materil buku blasphemi Ahok, kampanye gubernur Babel Ahok?
4. Sejak kapan tuntutan hukum diperboleh hukum tak mengambil bukti bahwa terdakwa mengulangi perbuatannya di Al Jazeera, Wifi berpasword kafir?
5. Sejak kapan JPU boleh melanggar kode etik profesi?
Tak perlu dijawab Pak Polisi. Yang dibutuhkan adalah polisinya kode etik profesi.
DARI FB WAWAT KURNIAWAN