“Kalau ada yang menyatakan, bahwa zaman Orde Baru lebih enak dari zaman sekarang, itu omong kosong dan gombal mukiyo. Ketika Soeharto berkuasa, yang enak hanya lingkaran keluarganya dan oligarki yang ia bangun lewat hubungan patron-klien. Pemerataan pembangunan melalui proses “menetes kebawah” (trickle down effect) atau “luberan” (spill over) tidak menyentuh seluruh lapisan masyarakat Indonesia,” tulisNugroho Prasetyo.
Ia menambahkan bahwa Sejak dihantam “Krisis 1997”, yang berlanjut dengan integrasi ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi global melalui ratifikasi dan harmonisasi UU ke dalam paket aturan WTO, kita seperti mengundang penjelmaan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) berikut hak octroi-nya berkuasa lagi. Kendati tidak persis sebagai satu kongsi kepentingan, konfigurasi praktek bisnis yang berlangsung jelas mempertontonkan hegemoni modal berkekuatan politik.
“Terdapat 14 sektor strategis yang terbuka bagi asing dengan rentang kepemilikan 49%-95. Berhadapan dengan laju investasi asing itu, seluruh kekuatan ekonomi nasional seperti inferior,”jelasnya soal ekonomi.
Nugroho Prasetyo juga menyoroti soal korupsi dengan data-data yang kuat bahwa sepanjang kurun waktu 2006-2014 sedikitnya 284 kepala daerah, 3.169 anggota DPRD dan 1.221 PNS terjerat kasus korupsi. Hanya 36% dari 543 pemda (2014) yang laporan keuangannya akuntabel. Fakta ini menggambarkan dengan lugas, bahwa bangsa ini punya bakat maling.
Menurutnya, Di era kepemimpinan SBY (2004-2014), struktur sosial-ekonomi yang timpang tak dikoreksi, bahkan kian akut. Ini terlihat dari kepemilikan lahan. Hanya 0,2% penduduk yang menguasai 56% aset nasional, dengan konsentrasi aset 87% diantaranya dalam bentuk tanah. Artinya, aset nasional hanya dikuasai oleh 400.000 orang. Bahkan, Rasio Gini lahan sebagai alat ukur ketimpangan dalam penguasaan lahan mencapai 0,536 (Joyo Winoto, 2010). Dengan kata lain, angka 0,536 ini sudah melampaui ambang batas psikologis “titik ledak” gejolak sosial di pedesaan.
“Sebaliknya, 49,5% petani di Jawa dan 18,7% petani di luar Jawa tuna tanah. Di sisi lain, 7,3 juta hektar tanah atau 133 kali luas negara Singapura yang dikuasai swasta dan BUMN terlantar. Sekitar 1,935 juta hektar diantaranya merupakan Hak Guna Usaha (Joyo Winoto, 2010),”paparnya.
Masih kata Nugroho Prasetyo bahwa kalkulasi Perkumpulan Prakarsa (2011), situasi di atas jauh lebih buruk ketimbang menjelang kejatuhan rezim Orde Baru (1997). Saat ini, konsentrasi kekayaan Indonesia 3 kali lebih tinggi dibanding Thailand, 4 kali lebih tinggi dibanding Malaysia dan 25 kali lebih tinggi dibanding Singapura (Jeffrey Winters, 2011).
Dari uraian singkat tersebut, tampak salah satu problem fundamental negeri ini adalah ketimpangan kepemilikan lahan. Ketimpangan ini membuat kesenjangan kaya-miskin kian lebar, seperti terlihat dari merosotnya Ratio Gini, dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2013).
“Celakanya, rezim pemerintahan sekarang juga tidak mengoreksi ketimpangan struktur sosial-ekonomi itu,” ujarnya.
Nugroho Prasetyo juga menyentil Janji SBY (2006) membagikan 8,15 juta hektar lahan untuk rakyat hanya tinggal janji. Angin surga yang ia tiupkan tak bermakna apa-apa. Padahal, landreform yang ditopang program penunjang, seperti fasilitas kredit, penyuluhan, latihan, pendidikan, teknologi, pemasaran, manajemen, dan infrastruktur, akan membuat rakyat lebih berdaya. Hal ini terbukti di Jepang (Hayami, 1997) dan Zimbabwe (Waeterloos dan Rutherford, 2004). Landreform bisa menjadi solusi soal-soal struktural, seperti pengangguran, kemiskinan, konsentrasi aset di segelintir orang, tingginya konflik lahan, rentannya ketahanan pangan dan energi, menurunnya kualitas lingkungan hidup, dan lemahnya akses sebagian besar masyarakat terhadap hak-hak dasar warga.
Kedaulatan energi kita benar-benar telah runtuh, katanya Pertamina dirombak menjadi perusahaan dengan skala terpecah-pecah, sementara perusahaan-perusahaan minyak asing semakin terintegrasi secara vertikal. Mereka mencapai efisiensi dengan menyatukan kegiatan sektor hulu dan hilir. Mereka menambang minyak sekaligus mengurus distribusi dan penjualan. Perusahaan minyak dunia yang dikenal sebagai “The New Seven Sisters” adalah perusahaan-perusahaan besar dan terpadu yang mengontrol langsung cadangan dan produksi minyak.
Seharusnya, mereka bertindak sebagai kontraktor di bawah kontrol manajemen Pertamina. Perusahan asing tidak boleh menentukan kebijakan produksi karena wilayah otoritas ini milik Pertamina yang bertindak sebagai kepala operator. Tapi, implikasi pemberlakuan UU No. 22/2001 justru memposisikan Pertamina tidak otomatis menjadi kepala operator setiap kegiatan produksi, namun hanya sebatas peserta biasa dalam tender wilayah kerja.
“Dalam konteks ini, Pertamina bukan lagi alat negara yang menguasai cadangan dan produksi minyak nasional. Liberalisasi yang menjadi napas UU tersebut telah mereduksi kontrol Pertamina terhadap cadangan minyak mentah, apalagi menentukan volume ekspor dan tingkat harga pada skala dunia,” pungkasnya. | AME/PRB