PRIBUMINEWS.CO.ID – “Tuhan telah mempertemukan kita, Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir…”. Kalimat tadi adalah penggalan surat Bung Karno —-yang menggunakan nama samaran ‘Srihana’—- yang ditujukan kepada Hartini, perempuan berparas ayu beranak lima yang “ditemukan” Bung Karno saat kunjungan ke Salatiga tahun 1952, yang dinikahi oleh Presiden RI pertama itu pada tanggal 7 Juli 1954 di Bogor.
Selama -+ 2 tahun, kisah cinta dua insan itu terekam jelas dalam lalu-lintas korespondensi rahasia yang difasilitasi oleh jenderal bintang dua kawan karib Tuan Presiden.
Hartini pula yang menjadi sosok terakhir yang dimintai pertimbangan oleh Bung Karno sebelum keesokan harinya membacakan Dekrit Presiden. Sedari sore gerimis menimpa ibukota. Istana berselimut sunyi dan lengang. Sabtu malam itu, 4 Juli 1959, setelah menerima kedatangan trio Roeslan Abdulgani, A.H. Nasution dan Soebandrio yang membantu menyempurnakan draft Dekrit Presiden, Bung Karno beranjak ke peraduan. Saat itu sudah menjelang pukul 24.00 WIB. Melihat wajah suaminya dibalut kelelahan, perempuan kelahiran Ponorogo berusia 35 tahun itu menyarankan, “Kangmas kelihatan sayah (bahasa Jawa halus/kromo inggil untuk ‘capek’), saya pijitin njih, agar badan Kangmas segar, agar Kangmas bisa tidur nyenyak”.
Bung Karno tersenyum, mengangguk mengiyakan, lalu ia menimpali, “Sayangku, suamimu ini lagi berada di bawah tekanan besar. Apa yang Kangmas putuskan besok akan menentukan kehidupan bangsa kita”.
“Apa yang harus kulakukan, Tien ?”
“Apapun yang Kangmas lakukan, tempuh dan putuskan, yakinlah, yakinlah, yakinlah Kangmas, itu adalah yang terbaik buat bangsa ini. Saya akan menjadi orang pertama yang berada di samping Kangmas dalam keadaan apapun”, jawab Hartini. Kelak waktu membuktikan, Hartini setia mendampingi Bung Karno sampai ia dipanggil menghadap Sang Khalik.
Sebagaimana diketahui umum, Dekrit Presiden itu harus dikeluarkan oleh Bung Karno karena hampir tiga tahun (1956-1959) Majelis Konstituante bersidang untuk merumuskan UUD, tidak mencapai kata sepakat atau kuorum dalam pengambilan keputusan.
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kekuasaan dipusatkan di tangan Presiden, kemudian lahirlah Demokrasi Terpimpin sebagai sebuah perjalanan sejarah yang tak terelakkan. Dalam komentar panjangnya tentang buku Herbert Feith, “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia” (1962), Harry Benda beranggapan, bahwa lahirnya Demokrasi Terpimpin bisa dilihat sebagai momentum kembalinya Indonesia ke jalur sejarahnya yang otentik.
Dengan mengatakan begitu, secara tersirat, sebenarnya Benda ingin menyodorkan tesis, bahwa demokrasi bukanlah ciri dari kebudayaan Indonesia. Beberapa kalangan peneliti asing menyebut Demokrasi Terpimpin sebagai “Mataram Baru”. Namun demikian, banyak pihak yang lebih suka melihat peristiwa itu sesuai dengan judul pidato Bung Karno saat perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI (17/8/1959). “Kembali ke UUD 1945 adalah pertanda dari “the rediscovery of our revolution”, kata Bung Karno.
Hari ini, keadaan negara ini tak beda jauh dengan Indonesia di masa-masa itu. Bangsa ini sedang berada di dalam persimpangan paling berbahaya menuju masa depannya. Jika doeloe Bung Karno menyatakan kembali ke UUD 1945 adalah perjalanan kembali dari Revolusi, kini saya menegaskan, kembali ke UUD 1945 adalah awal perjalanan dari Rekonstruksi.
Seperti halnya peran Gayatri Rajapatni di zaman Majapahit, Hartini telah mewarnai sejarah besar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan caranya, dari balik layar, dari belakang panggung kekuasaan. Mungkin, diperlukan Hartini Kecil-Hartini Kecil untuk mendorong keberanian seorang presiden mengeluarkan dekrit serupa. Jika kita mampu menangkap kearifan sejarah, sesungguhnya signifikansi catatan masa lalu itu mengirim pesan lain : masa depan bangsa ini butuh aktor-aktor sejarah seperti Soekarno dan Hartini.
Apakah kau adalah Hartini yang disusun ulang oleh waktu ?