Kenapa Presiden Jokowi Seperti Tak ‘Berdaulat’ ?
JAKARTA – Walaupun terasa menyakitkan, bila tulisan ini terbaca oleh Yang Mulia Bapak Presiden Joko Widodo, ataupun penasehat kepercayaannya, tetapi penilaian ini mau tak mau harus diutarakan.
Yang penting niat menyampaikannya untuk masukan ; tanpa pamrih. Selain itu masukan ini didasarkan pada kejujuran hati nurani.
Dan kalau tak berkenan, dari lubuk hati yang dalam, disaksikan mereka yang membaca tulisan ini, saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Intinya, walaupun Pak De Jokowi memiliki kemampuan, kelebihan dan disenangi oleh rakyat banyak, tetapi faktor itu tidak menjadi penentu keberhasilan – sebagai modal untuk memimpin Indonesia, sebuah negara besar.
Oleh sebab itu jangan heran kalau di awal-awal pemerintahan Pak De Jokowi – sudah ada semacam sikap yang ‘menganggap remeh’ atas kemampuannya.
Sikap yang paling kentara, datang dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden ke-6 RI.
SBY yang berstatus jenderal, punya sederet gelar akademi dan selama 10 tahun memimpin Indonesia dengan dukungan penuh negara adidaya seperti Amerika Serikat, seakan keberatan kepada bangsa Indonesia yang jadi penggantinya seorang sipil yang kurang kiprahnya di panggung nasional.
Bahkan mungkin juga kepada Sang Maha Pencipta, SBY mengeluh.
Mengapa sosok yang dipilih menggantikannya harus seorang Jokowi yang hanya bermodalkan pengalaman dua tahun memimpin Jakarta ? Kota yang nota bene merupakan tempat berkumpulnya manusia-manusia terbaik dan mahluk-mahluk pemangsa.
Jokowi yang belum teruji kemampuannya, sudah berlaga di panggung politik nasional ?
Sebagai referensi, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, sebelum menjadi Presiden, semuanya memiliki rekam jejak yang jelas dalam pertarungan politik nasional. Mereka teruji, dan hal ini yang tidak dimiliki oleh Pak De Jokowi.
Keterpilihan Jokowi sebagai Presiden ke-7 RI, pada Pilpres 9 Juli 2014, di saat dia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jaya, bukanlah karena Indonesia sangat membutuhkannya. Tetapi lebih karena faktor yang tidak terlihat dengan mata telanjang orang biasa,
Ada kekuatan dalam negeri yang didukung asing, kekuatan mana memerlukan figur seperti Jokowi. Seorang sosok yang tidak akan melawan, bila dipaksa menjalankan sebuah agenda.
Tentu saja ditambah dengan faktor PDIP sebagai partai pengusung utama.
Partai ini memiliki “kartu joker” yang bisa mencalonkan siapa saja dalam Pilpres Juli 2014 lalu – berkat raihan suaranya di Pemilu Legislatif April 2014.
Partai nasionalis penerus Soekoarnoisme ini, tidak ingin kehilangan momentum. Sebab tahun 2014 itu dilihat oleh PDIP sebagai kesempatan emas mengembalikan marwah Soekarnoisme, di bumi Nusantara. Melalui pemerintahan resmi Jokowi, usaha mengembalikan marwah nasioalisme itu, diharapkan tercapai..
Sehingga ketika PDIP melihat adanya sinyal dukungan dari internasional, PDIP dibawah kepemimpinan Megawati langsung bersikap. Sinyal dimaksud konkritnya datang dari Amerika, melalui Dubesnya di Jakarta Robert Blake.
Bagi PDIP, sinyal dari Washington ini penting. Sebab selama ini politik luar negeri AS tidak pernah mau mendukung politisi papan atas di Indonesia menjadi Presiden, jika yang bersangkutan masih mengandalkan nasionalisme Soekarno.
Pilihan PDIP sudah benar. Sebab ditambah popularitas Jokowi sebagai calon presiden –semua lembaga survei, yang rata-rata bermuara pada metode Amerika – menyatakan bekas Walikota Solo itu tak terkalahkan.
Yang keliru, ketika PDIP memilih Jusuf Kalla (JK), sebagai pasangan Jokowi.
Wong Solo yang terkenal merakyat, sederhana dan usianya masih 52 tahun, tidak cocok dipasangkan dengan JK – orang Celebes yang usianya terpaut jauh lebih tua. Orang yang lebih tua seperti JK cenderung tidak mau diatur oleh yang lebih muda seperti Jokowi. Maunya, dia mengatur.
“Malapetaka” sebetulnya sudah dimulai di sini – dari keputusan menjodohkan dengan JK. Saudagar ini bukanlah pasangan yang ideal bagi Jokowi.
Di sini Jokowi seperti ‘dipaksa kawin’ dengan JK. Dan yang berperan besar sebagai “mak comblang” atau pelobi, seorang sosok yang masuk kategori “Peng Peng”. Istilah Rizal Ramli bagi yang berperan sebagai PENGusaha tapi juga menjalankan aktifitas selaku PENGuasa. Dia adalah Sofyan Wanandi.
Sofyan dari CSIS, lembaga “think tank” rezim Orde Baru diakui sangat hebat. Sampai-sampai, dia bicara nonsense saja, orang masih tetap percaya. Apalagi kalau dia bicara benar.
PDIP lupa akan rekam jejak JK maupun Sofyan Wanandi. Karena sejatinya, kedua tokoh ini tidak bisa berkemistri dengan PDIP termasuk Jokowi.
Sebelum penetapan pasangan, JK secara eksplisit sudah menyatakan bahwa negara ini akan hancur, bila dipimpin oleh seorang Jokowi.
JK di tahun 2004 juga tercatat sebagai Menteri yang “menyepelekan” Megawati, bosnya Jokowi.
Tatkala JK masih menjabat sebagai Menko Kesra di Kabinet Megawati 2001 – 2004. JK secara enteng mengundurkan diri dari jabatan Menko, untuk bergabung dengan SBY, yang juga mantan Menteri di kabinet Mega.
Mereka berdua lalu membentuk koalisi di Pilpres 2004 dan menang atas pasangan Mega – Hasyim Muzadi.
Lantas Sofyan Wanandi yang merupakan anggota Angkatan 66, tercatat sebagai aktifis mahasiswa yang anti-Soekarno. Dia agaresif menentang Presiden Soekarno, mendiang ayahanda Megawati Soekarnoputri, di tauun 1966.
Jika latar belakang ini dijadikan bahan kajian, masuk akalkah kalau Sofyan tidak memiliki kepentingan yang sama dengan Megawati – untuk menghidupkan kembali paham nasionalisme ala Soekarno.
Termasuk penegakan UUD 45 dan Pancasila, versi 1 Juni 1945, bukan 18 Agustus 1945 seperti yang ditegaskan oleh rezim Soeharto.
Dan tahu sendirilah resiko dari sebuah ‘perkawinan paksa’. Sudah pasti rentan terhadap perpecahan. Sudah bersyukur bisa berusia sampai dua setengah tahun seperti saat ini.
Bulan madu pun nampaknya tak sempat dinikmati Jokowi dengan JK pasangannya. Sebab JK langsung sibuk dengan kepentingannya.
Bahkan yang termonitor, belum lagi menjalankan pemerintahannya, Jokowi sudah “diganjal” oleh Wapres Jusuf Kalla – yang tidak ingin menjadi sekedar menjadi “ban serep”.
Latar belakang ini semua, boleh saja dianggap sebagai cerita masa lalu saja. Atau dongeng politik untuk yang tertarik pada kisah politik Indonesiana. Tetapi, latar belakang ini memiliki kaitan dengan keterkinian.
Nah kalau belakangan ini terlihat, Presiden Jokowi seperti tidak punya kedaulatan penuh, tak lain karena faktor sejarah atau latar belakang di atas. .
Ditambah lagi kecuali Menteri Sekretaris Negara Pratiknyo, hampir semua pejabat penting yang mengelilinginya, seperti direkrut bukan berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan membantu Presiden Jokowi sampai titik dari penghabisan.
Sangat berbeda misalnya dengan para Presiden sebelumnya. Soeharto, Habibie, Gus Dur dan SBY khususnya.
Sebelum menjadi Presiden, di belakang mereka sudah tersedia SDM yang siap pakai.
SBY khususnya, begitu rapih persiapannya menjadi Presiden. Bahkan hingga saat ini sebetulnya masih banyak “Orang SBY” yang bekerja untuk Jokowi, tanpa Jokowi sadari.
Orang-orang SBY ini kata beberapa teman, menempati posisi-posisi strategis seperti di BUMN dan lembaga pemerintah lainnya.; Mereka tidak punya kepentingan membantu suskesnya semua program Jokowi. Sejauh mana kebenarannya, walahualam.
Tapi Jokowi mau bilang apa ? Dia tak punta stok SDM. Bahkan seluruh PNS Kodya Solo – direkrutnya masuk Jakarta, tak akan bisa menolongnya.
Ketika Pak Harto mulai berkuasa, misalnya, tidak semua anggota kabinetnya merupakan pilihannya sendiri. Di bidang ekonomi misalnya ada sejumlah Menteri yang merupakan “titipan” Amerika Serikat. Mereke dikenal sebagai anggota “Mafia Berkeley”. Mereka merupakan ahli ekonomi dan konseptor berbagai model untuk negara berkembang.
Kebetulan Pak Harto, bukan ekonom. Jadi dia membutuhkan mereka.
Kendati begitu, kuda-kuda politik dan militer diperkuatnya. Pak Harto tetap berdaulat memilih tiga orang kuat yang jadi andalannya sebagai Asisten Pribadi (Aspri). Semuanya jenderal, dan tidak masuk dalam kabinet.
Ketiganya adalah Ali Murtopo, Sudjono Humardani dan Tjokropranolo.
Ketiga jenderal ini memiliki kewenangan dan kekuasaan absolut untuk dijalankan, dengan satu tujuan : memagari dan melindungi kepentingan Presiden yang belum berpengalaman.
Ini yang tidak ada pada Jokowi. Bahkan PDIP yang mengusungnya, lebih para lagi. Selain tidak menyumbang SDM berkualitas, terdapat anggota penentang berat Jokowi seperti Effendi Simbolon. Terdengar aneh, tapi itulah realita kepresidenan Jokowi.
Di sekitar Presiden Jokowi disebut-sebut ada dua atau lebih jenderal pensiunan dari Kopassus yang dianggap membantu Jokowi. Sebutlah seperti Luhut Panjaitan dan AM Hendropriyono.
Tetapi “gereget” mereka terkesan tidak sekuat trio Ali Murtopo – Sudjono Humardani dan Tjokropranolo di pemerintahan Pak Harto
.
LBP dan Hendro yang sekalipun alumni Orde Baru, rezim Soeharto, tetapi nampaknya tidak bisa berduet solid. Kurang kuat untuk mengimbangi kelompok yang ingin melihat Jokowi gagal.
Sementara para menteri lainnya yang direkrut, sejak awal, tidak mengesankan sebagai pembantu presiden yang loyal. Mereka bukanlah seperti sebuah tim impian (dream team) layaknya di film McGiver. Dimana hanya dengan intuisi saja, mereka mampu berkoordinasi untuk memyelesaikan pekerjaan berat.
Sudah dua kali dilakukan perombakan kabinet, tapi perasaan berubah, seperti tak ada. Mengapa ? Mungkin karena dasar perombakan itu lebih karena pertimbangan keseimbangan antara apa yang dimaui “The Real President” dan “The Shadow President”.
Efektifitas perombakan kabinet itu tidak terasa.
Bahkan terakhir, tersiar kabar seperti yang diungkapkan Ketua MPR RI Zulfkifli Hasan, menghadapi Pilkada DKI,. JK secara tegas berpihak ke Anies-Sandi, membela lawannya Ahok-Djarot. Secara matematika politik, hal ini menunjukan adanya perpecahan antara JK dan Jokowi.
Sebuah sikap yang harus dibaca, JK tetap tidak berubah manuver politiknya, seperti di masa SBY.
Jadilah Presiden Jokowi seperti Orang No.1 yang “dipermainkan” oleh Orang Nomor 2.
Hal mana terjadi mungkin karena si Nomor Dua, yakin si Nomor Satu tak akan berani bersikap tegas.
Jadilah Jokowi seperti pemimpin yang tidak memiliki kedaulatan penuh. Sesuatu yang menyedihkan dan memprihatinkan. ****
Catatan Tengah by Derek Manangka