Naiknya Mohamed Morsi menjadi Presiden Mesir diiringi dengan Nahdha Project, sebuah program teknokratis-populis yang dirancang untuk pemulihan ekonomi Mesir. Setelah dilanda krisis beberapa tahun sebelumnya, walau tidak mirip, Nahdha Project mengingatkan kita pada Revolusi Mental ala Jokowi. Namun, sebagaimana dikritik oleh Khaled Fahmy di Ahram, ada satu agenda yang dilupakan oleh Mursi : reformasi kepolisian.
Selama bertahun-tahun di bawah Hosni Mubarak, polisi menjadi entitas —meminjam istilah Foucault— panoptik : memata-matai dan mengontrol semua aktivitas warga negara dengan kuasa yang mereka miliki. Mesir punya istilah khusus untuk ini : mabahits amn daulah (sebangsa intelijen). Polisi menjadi alat negara untuk merepresi musuh-musuh politiknya. Tak salah jika beberapa sastrawan Mesir menggambarkan bagaimana menakutkannya lembaga ini dalam beberapa novelnya : penangkapan, mata-mata, hingga fitnah bisa berlangsung kapan saja dan kepada siapa saja. Corak kepolisian yang sangat represif inilah yang kemudian, di masa Morsi, menjadi poin kunci untuk menjelaskan mengapa masa pemerintahannya tidak kondusif.
Jokowi mungkin bukan Morsi. Di awal, di sekeliling Presiden ada orang-orang semacam Andi Widjojanto atau Rizal Sukma yang pernah terlibat dengan proyek bernama Reformasi Sektor Keamanan. Pertanyaannya sekarang, reformasi sektor keamanan macam apa yang ingin ditampilkan di era Jokowi jika kepolisian —institusi yang sangat terkait dengan keamanan sipil— tak mampu mengendalikan dirinya dan tak lebih dari alat kekuasaan ? Tayangan ILC tadi malam menjawabnya secara tuntas.
Atau, jangan-jangan fenomena itu penanda awal keruntuhan kekuasaan Jokowi, sebagaimana halnya awal kejatuhan Mursi di Mesir. *** | PRIBUMINEWS.CO.ID