SEPATU PRESIDEN, DAN KEGILAAN TIADA UJUNG

0
580
Oleh  Ferdinand Hutahaean
RUMAH AMANAH RAKYAT
BELA TANAH AIR
Ramadhan telah memasuki pekan ke 3 dalam memberikan pelajaran hidup yang beragam, dari sekedar menahan lapar dan dahaga, menahan hawa nafsu dan menumbuhkan perasaan bahagia menjalani bulan penuh berkah tanpa menganggap Ramadhan sebagai sebuah penderitaan karena harus menahan lapar dan dahaga, namun Ramadhan ternyata adalah kebahagiaan menuju keteguhan iman, penuh rahmat dan berkah.
Terlepas dari Ramadhan bulan berpuasa, hari-hari belakangan ini, mata dan hati saya melihat bahwa kegilaan tak kunjung usai dipertontonkan di negeri yang indah dan di dirikan dengan kewarasan ini. Kegilaan bertambah gila hari demi hari.
Saya juga tak ingin menafikan dan menghilangkan kinerja rejim penerintahan ini seperti yang mereka lakukan menghilangkan kinerja para pendahulu pemimpin bangsa ini. Saya harus mengakui keberhasilan Presiden Jokowi membagi-bagi sembako, bagi-bagi sepeda, membagi berbagai macam kartu, meresmikan pasar, meresmikan proyek yang usai setelah dibangun mulai era SBY dan keberhasilan Jokowi membangun citra keberhasilannya meski berbeda fakta dengan yang dirasakan publik, karena publik (mungkin juga cuma saya) yang menyatakan Jokowi gagal memenuhi janji kampanye nya.
Dan akhirnyapun diantara keberhasilan rejim ini, ada begitu banyak kegilaan yang terjadi. Kegilaan paling besar salah satunya adalah, seolah bangsa ini baru ada, baru membangun setelah Jokowi jadi Presiden. Ini salah satu kegilaan yang dibangun lewat pemberitaan oleh media-media penyesat logika yang terafiliasi dan menjadi bagian dari rejim. Misalnya dengan mengatakan, SBY ngapain aja selama 10 tahun? Ini penyesatan logika dan upaya penghapusan sejarah atas kinerja SBY.
Padahal kalau dibandingkan 3 tahun SBY dengan 3 tahun Jokowi, apa yang dilakukan Jokowi ini tidak ada apa-apanya. Ingat sejarah, bangsa ini dalam keadaan bangkrut ketika estafet kepemimpinan diserahkan Megawati kepada SBY. Beda jauh dengan estafet kepemimpinan dari SBY kepada Jokowi, yang mana semua sudah serba ada. Ekonomi baik, politik baik, penegakan hukum baik, rakyat dipelihara dengan subsidi, listrik murah BBM murah meski harga minyak dunia diatas USD 100 / Barel. Kalimat yang tepat untuk rejim ini sesungguhnya adalah : Nikmat apa lagi yang kau dustakan wahai tuan Presiden?
Kegilaan nampaknya memang sengaja diciptakan sebagai upaya memberikan kesibukan kepada publik untuk larut dalam bantah lisan. Sehingga publik lupa masalah sesungguhnya yang terjadi atas ketidak mampuan rejim ini mengurus negara. Lihatlah 2 hari terakhir, betapa riuhnya publik dan pemberitaan media buzzer pemerintah yang memberitakan tentang sepatu sang presiden.
Sepatu mahal yang tak ingin saya sebut mereknya tersebut perkiraan saya berkisar 3 jutaan rupiah. Saya terenyuh melihat sepatu mahal presiden itu, karena tujuannya ke Tasikmalaya menggunakan sepatu mewah itu adalah untuk bagi-bagi sembako dan Kartu-kartuan kepada rakyat miskin. Ironi dan contrasting kemewahan dengan kemiskinan pun terjadi. Ditambah lagi ingatan saya kembali ke 2014 silam, ketika tag line sederhana menjadi jargon sakti Jokowi dengan baliho harga sepatu 160 ribu rupiah. Nampaknya mempertahankan kesederhanaan itupun Jokowi gagal, dan setelah jadi presiden menikmati kemewahan seperti sepatu mahal itu, dan dulu sempat juga jaket bomber yang mahal jadi aksesories tuan presiden. Publik pun (atau jangan-jangan hanya saya) sibuk komentar dan menjadi gila menyaksikan semua itu.
Kegilaan tidak sampai disitu saja. Adalah seorang bocah tengil, perempuan muda tukang contek, seorang plagiator yang ternyata bila melihat rekam jejak digital facebook dan twitternya menunjukkan bocah perempuan tukang contek ini adalah anak dengan kepribadian yang tidak baik. Namun lihatlah betapa bangganya para elit republik ini menjamu si plagiator atau tukang contek itu dan menjadikannya sosok simbolisasi kedamaian Pancasila.
Gila.., gila kalian, plagiator atau tukang contek kalian jamu seperti orang hebat? Ini penipuan logika, penyesatan kewarasan karena ternyata kalian bangga dengan perbuatan tercela dan hina. Plagiat itu adalah perbuatan hina dan tercela, namun kalian sanjung sang plagiator dengan sanjungan gila tiada ujung. Sementara kalian lupa dan tidak anggap penting bocah pintar dari Aceh penemu listrik dari pohon Kedondong, atau kalian lupa menyanjung anak – anak lainnya yang berprestasi mengharumkan nama bangsa. Ahh kalian gila tuan…!!!
Saya merenung, kenapa kegilaan ini kalian pertontonkan dengan masif bahkan menjadi berita besar di media-media. Saya jadi menduga-duga dengan sedikit pikiran yang hampir gila, jangan-jangan kalian produksi penulis hoax itu untuk menutupi keluhan rakyat atas harga Listrik yang terus naik, menutupi operasi pemerintah merubah skema subsidi gas elpiji, dan menutupi kenaikan harga-harga yang sudah mulai diluar kemampuan rakyat.
Masih banyak kegilaan lain yang terus diproduksi oleh rejim ini. Kegilaan penegakan hukum menjadi salah satu kegilaan yang belum tampak ujungnya. Lihatlah kasus pornografi atau chat sex salah satu Ulama besar itu. Barang buktinya saja didapatkan dengan cara ilegal dan tidak sesuai dengan KUHAP. Barang buktinya tidak diketahui dari mana sumbernya, tapi penegak hukum berani-beranian menetapkan sang Ulama jadi tersangka bermodal bukti yang tidak jelas sumbernya. Ahhh gila ini barang…!! aku jadi ingat memory hand phone ku yang penuh gambar-gambar sexy dari beberapa group whatsapp dan buru-buru kuhapus karena takut ada hantu anonymous yang tidak ketahuan dimana keberadaannya memproduksi barang bukti palsu yang akan membuat aku tambah gila.
Entah kapan kegilaan ini akan berakhir. Sesungguhnya kegilaan ini sudah membuat saya makin terasa gila menyaksikan kelakuan rejim ini mengurus negara semaunya. Ekonomi, maaf mungkin ini ekonomi pribadi saja atau mungkin juga ekonomi yang lain sedang terpukul dengan sulitnya mendapatkan penghasilan. Tapi pajak ugal-ugalan itu merampas sebagian hak saya bagai preman tukang palak pinggir jalan tikungan. Saya memang tidak punya rekening 1 Milyaran seperti yang tertulis disurat menteri keuangan itu, tapi saya melihat itu perilaku gila memajaki uang yang dicari rakyat dengan susah payah dan kemudian pemerintah tanpa merasa berat hati merasa punya hak atas jerih payah rakyatnya. Gila…!! Ini gila benaran.
Lebih gila lagi karena kebijakan itu hanya sebatas kebijakan seorang menteri bukan seorang kepala negara. Bolehkah itu? Bukankah pungutan dari publik itu harus persetujuan DPR? Bukankah seharusnya itu dengan keputusan Presiden? Ahhh.. saya bukan ahli tata negara apalagi ahli ekonomi. Tapi bagi saya ini semua kegilaan.
Sampai kapan kalian akan menyangjung kegilaan ini? Maaf saya hampir gila menulis kegilaan ini, makanya saya tidak ingin tulisan ini lebih panjang lagi, saya takut saya gila benaran karena menulis kegilaan rejim ini.
Jakarta, 11 Juni 2017

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.