OELH HENDRAJIT *)
Ketika ngisi materi di Lemhanas, kebetulan salah satu yang jadi pembahas adalah mbak Jaleswari Pramowardhani. Deputi V bidang isu strategis Kantor Staf Kepresidenan.
Sebetulnya kita tidak bermaksud saling konfrontasi, karena selain sama sama alumni Unas, sudut pandang kita memang sudah beda dari awal. Namun ketika Dani mengangkat soal radikalisasi agama, terutama menyingung soal HTI. Apa boleh buat saya harus tanggapi balik.
Saya bilang selain harus fokus pada menghadapi Perang Asimetris pihak asing dan aseng, soal Islam politik ini sebaiknya harus tahu akar sejarahnya dulu.
Waktu perang dingin, Amerika dan Inggris, sebetulnya bukan takut pada para pemimpin komunis di negara negara berkembang. Tapi takut sama para pemimpin berhaluan nasionalis dan tahu benar para pemimpin nasionalis progresi seperti Suarno, Abdul Nasser dan Mossadeq, punya kontra skema untuk menghadapi dan mematahkan skema penjajahan gaya baru berbasis korporasi.
Maka, kalau kita mengambil kasus Sukarno dari Indonesia, Gamal Abdel Nasser dari Mesir, dan Mossadeq dari Iran, AS dan Inggris malah membuat perselingkuhan dengan yang kelompok-kelompok Islam garis keras, dengan memanfaatkan sentimen anti komunisnya yang begitu kuat.
Jadi politik devide et impera ala Barat kemudian menggoreng isu perhadapan antara Islam versus kaum nasionalis progresif yang dicitrakan sebagai komunis. Padahal AS dan Inggris tahu persis yang mereka takuti dari Sukarno, Mossadeq dan Naser kala itu bukan karena ketiganya komunis, tapi karena ketiganya kaum nasionalis progresif. Perkara komunis kemudian merapat pada ketiganya, ya karena komunis emang ga punya pilihan lain. Tapi kan faktanya ketiga tokoh tersebut tidak berhasil diperalat komunis atau negara-negara komunis. Buktinya waktu Nasser sedang ditekan Israel, Rusia ogah ogahan ngasih bantuan senjata.
Namun karena AS dan Inggris berhasil membangun opini kalau Nasser dan Mossadeq itu pro komunis, kedua adikuasa itu berhasil membujuk kelompok-kelompok Islam yang basis keulamaannya mengakar, agar bersedia melawan Nasser dan Mossadeq.
Misalnya Ihwanul Muslimin Mesir, yang waktu itu setelah Hasan al Bana wafat, diterusnya oleh Hasan Islmail Hidaybi, berhasil digalang oleh AS dan Inggris untuk membangun aliansi. Meskipun gagal menggulingkan Nasser.
Di Iran, CIA berhasil menggalang kerjasama dengan Ayatullah Kashani dari Fidayin Islam, yang waktu itu juga merupakan mentor dari Khomeini muda.
Dalam kasus Iran, badan intelijen MI-6 dan CIA memang berhasil menggulingkan Mossadeq melalui operasi senyap. Operasi intelijen kedua adikuasa itu berhasil membentuk opini di benak rakyat Iran bahwa Mossadeq itu pro Partai Tudeh yang pro Rusia.
Padahal kalau dibaca betul konstalasi timur tengah waktu itu, Rusia, apalagi Cina yang waktu belum lama jadi negara komunis, tidak pernah berhasil menanam pengaruh dan menyetir politik negara negara timur tengah. Jadi kalau Rusia melalui partai tudeh merapat ke Mossadeq yang pada dasarnya nasionalis progresif ya karena ga ada pilihan lain.
Dari cerita tadi, saya kemarin coba memberi pandangan lain dari analisisnya Dani yang Deputi V kantor kepresidenan, bahwa mengembangkan fenomena HTI atau Islam Islam yang berhaluan paralel dengan IM, HTI, dan varian varian Wahabi atau Salafi lainnya. Itu Ahistoris.
Kenapa? Sebab ketika AS dan Inggris membangun persekutuan dengan organ organ seperti IM di Mesir atau Fidayin Islam Iran, dikiranya kedua negara itu sekadar memperalat organ keislamannya saja. Tanpa mereka sadari, kedua adikuasa itu menghidupkan persaudaraan bayangan, lingkup pengaruh dan kekuatannya justru melebihi organ organ macam IM atau Fidayin Islam.
Dan yang lebih celaka lagi, pihak AS dan Inggris waktu itu karena terlalu fokus hendak mengganyang para pemimpin nasionalis progresif yang dipandang merupakan ancaman skema penjajahan gaya baru berbasis korporasi, mereka tidak menyadari bahwa arus utama dari masyarakat Muslim yang aspiratif pada IM dan Fidayin Islam, sejatinya juga punya aspirasi pembebasan nasional dan persatuan nasional. Hanya saja mereka anti komunis,
Jadi tidak heran ketika dalam Arab Spring Hosni Mobarak digulingkan, dan diadakan pemilu di Mesir, IM berhasil menang dan mendudukkan kadernya, Morsi sebagai presiden.
Di Iran, malah lebih ironis lagi. Dalam Revolusi Islam Iran menggulingkan Syah Iran Reza Pahlevi, motor penggerak dan pemimpin besar revolusinya adalah Ayatullah Khomeini, yang pada era 1950-an berguru pada Ayatullah Kashani, yang justru berperan besar menggulingkan Mossadeq.
Saya bisa bayangkan betapa terkejutnya AS dan Inggris ketika menyadari bahwa Khomeini yang memimpin Revolusi Islam Iran justru salah satu murid dari Ayatullah Kashani yang mana kedua negara tersebut justru menjalin persekutuan menggulingkan Mossadeq.
Yang AS dan Inggris tidak sadari, atau mungkin dengan sengaja mengabaikan, bahwa terlepas kelompok2 yang dibina tadi secara jangka pendek digunakan untuk kepentingan menyingkirkan pemimpin pemimpin nasionalis, arus utama keislaman dari organ maupun masyarakat muslim yang mendukungnya, juga punya aspirasi nasionalisme yang kuat.
Hanya sayangnya baik Nasser maupun Mosadeq, juga tidak membaca secara jeli bahwa arus besar di balik para tokoh seperti Ayatullah Kashani dan Hasan Ismail Hudaybi, juga kuat hasratnya pada arus pembebasan nasional dan persatuan nasional. Hanya saja karena baik Nasser maupun Mossadeq tidak menyadarinya, maka dua gelombang besar nasionalisme dan islam yang harusnya bersatu padu, malah berhasil dibenturkan untuk kemudian dilemahkan.
Maka itu saya ingatkan kemarin, betapa tidak tepat mengolah isu radikalisasi Islam sebagai ancaman. Pertama, radikalisasi Islam akan dijadikan salah satu tahapan pertama pola perang asimetris, yaitu olah isu. Sehingga pada perkembangannya radikalisasi islam akan dibenturkan dengan isu kebhinekaan. Lantas apa bedanya ketika Inggris dan AS sama sama berhasil mengadu domba antara kekuatan Islam pimpinan Hudaybi dan Kashani versus para pemimpin nasionalis progresif. Sehingga potensi nasional untuk membendung penjajahan ekonomi kedua adikuasa, gagal tercipta sebagai sebuah kekuatan. Pola pada perang dingin dulu, berarti masih diterapkan melalui cara yang sama. Hasilnya pasti sama juga. Terbelahnya gelombang nasionalisme dan islam, sehingga gagal menjadi satu kekuatan nasional yang utuh.
Kedua, ini menyangkut kerjaan dan sepak-terjang AS dan Inggris tempo dulu. Bukankah kemudian persaudaraan bayangan umat Islam yang berskala global saat ini sesungguhnya diciptakan oleh negara-negara adikuasa tersebut? Jadi, kenapa kita harus menyalahkan monster yang tercipta dan kemudian membesar, padahal yang harus disoal sebenarnya adalah dokter Frankenstein yang menciptakan monster tersebut?
Dengan kata lain, ketika kantor staf kepresidenan mengolah soal radikalisasi islam sebagai isu strategis, bukankah pemerintah kita justru melayani ketakutan pihal Barat yang coba diimpor ke negara lain termasuk Indonesia?
Sayang karena keterbatasan waktu di forum lemhanas kemarin, tidak sempat jadi interaksi timbal balik. Namun kalaupun mbak Dani tidak merespon pandangan saya secara positif, mudah-mudahan bapak bapak petinggi TNI, seperti Dirjen Strategi Pertahanan Kemhan maupun Asrenum Panglima TNI, serta para pimpinan Direktorat Kajian Strategis Lemhanas, bisa secara lebih tenang dan obyektif menyerap masukan dari saya.
*)Direktur Eksekutif Global Future Institut (GFI)